Dina duduk di dekat jendela, menatap hujan yang mulai mereda di luar. Tetes-tetes air yang jatuh membentuk simfoni lembut di atap rumah, membuat sore itu terasa tenang. Namun, hatinya justru tak seirama dengan suasana. Pikirannya berkecamuk sejak Bayu, kekasihnya, mengatakan sesuatu yang aneh dan tak masuk akal.
“Aku nggak ngerti, Bayu,” ucap Dina, memecah keheningan yang mencekam di antara mereka. “Bagaimana bisa ada pajak untuk cinta? Apa maksudmu sebenarnya?”
Bayu, yang duduk di seberang meja, hanya mengangguk pelan. Dia tampak lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. “Aku juga nggak percaya, Din. Tapi ini kenyataan. Pemerintah baru saja menetapkan aturan baru. Mereka bilang, demi kesejahteraan bersama, semua ekspresi cinta akan dikenai pajak sebesar 11 persen.”
Dina mengernyit, tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Tunggu, Yu. Ekspresi cinta? Maksudnya setiap kali kamu bilang kamu mencintaiku, itu akan dihitung pajak?”
“Iya. Seperti itulah yang mereka katakan.”
Dia mengeluarkan selembar kertas dari tas kerjanya dan menyerahkannya kepada Dina. Kertas itu adalah dokumen resmi dari pemerintah, lengkap dengan tanda tangan dan cap. Dina membacanya dengan saksama, dan matanya terbelalak ketika sampai di bagian yang berbunyi:
“Setiap ungkapan cinta, baik verbal, tertulis, maupun non-verbal, yang disampaikan antar pasangan atau dalam ikatan emosional, dikenai pajak sebesar 11 persen. Pajak ini dihitung berdasarkan jumlah ekspresi yang diberikan, dengan ketentuan bahwa pemotongan akan diambil dari jumlah total cinta yang diberikan.“
Dina menggelengkan kepalanya. “Ini gila, Bayu. Ini nggak masuk akal. Cinta itu perasaan, bukan barang yang bisa dihitung-hitung seperti uang atau properti.”
Bayu mengangguk lagi. “Aku tahu. Tapi ini sudah ditetapkan. Aku bahkan sudah bertanya ke bagian pajak, dan mereka bilang kita nggak bisa menghindarinya. Setiap kali aku bilang ‘Aku mencintaimu’, 11 persennya langsung ditarik untuk pajak negara.”
“Jadi…,” Dina berhenti sejenak, mencoba memahami logikanya. “Kalau kamu bilang kamu mencintaiku 100 persen, aku cuma dapat 89 persen? Dan sisanya pergi ke… negara?”
“Betul,” jawab Bayu dengan nada serius. “Dan lebih parahnya lagi, kalau aku nggak bayar pajak itu, ada denda. Bisa sampai dipenjara.”
Dina terdiam. Pandangannya beralih kembali ke jendela, melihat hujan yang kini hanya tersisa gerimis. Bagaimana mungkin cinta mereka yang selalu ia anggap murni kini dihargai oleh negara, bahkan dikenakan pajak? Apakah ini lelucon semesta yang keterlaluan?
“Kamu tahu,” Dina berbicara lagi dengan suara yang lebih pelan. “Dari dulu aku selalu percaya bahwa cinta itu harus tulus, tanpa syarat. Kalau sekarang cinta kita dihitung, dipotong, diukur seperti ini, apa yang tersisa?”
Bayu meraih tangan Dina dan menggenggamnya erat. “Dina, aku tahu ini sulit dimengerti. Aku juga merasa begitu. Tapi cinta kita lebih dari sekadar angka-angka itu. Meskipun negara mengambil 11 persen, aku akan mencintaimu lebih dari yang bisa dihitung. Kalau perlu, aku akan memberikan 120 persen cinta untukmu, biar setelah dipotong, kamu tetap mendapatkan 100 persen.”
Dina tersenyum kecil mendengar janji Bayu, meskipun hatinya masih terasa berat. “Bayu, cinta bukan matematika. Kamu nggak bisa begitu saja menambah angkanya untuk mengimbanginya. Yang aku takutkan, kalau kita terus begini, nanti cinta kita malah jadi beban.”
Bayu terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Dina. “Aku paham apa yang kamu rasakan. Aku juga merasa tertekan dengan semua ini. Tapi, Din, cinta kita ini kuat. Pajak apapun nggak akan bisa mengurangi apa yang aku rasakan untukmu.”
“Pajak apapun, ya?” Dina tersenyum, meski dengan nada getir. “Tapi bagaimana kalau suatu saat, cintamu sudah habis dipotong oleh semua pajak ini? Bagaimana kalau suatu hari nanti, yang tersisa hanya 50 persen, atau bahkan 0?”
Bayu terdiam, wajahnya menunjukkan keraguan sesaat. Namun, dia kemudian menggeleng dengan tegas. “Tidak akan. Cintaku untukmu nggak akan pernah habis, Din. Bahkan kalau negara memutuskan untuk memotong lebih besar lagi, aku akan selalu menemukan cara untuk memberikan yang terbaik buatmu.”
Dina menarik napas panjang. Meskipun absurd, di balik seluruh pembicaraan ini ada kebenaran yang menyakitkan. Kehidupan mereka kini penuh dengan perhitungan; setiap ekspresi cinta harus dihitung, dan apa yang tadinya spontan kini terasa terbebani. Tapi Dina juga tahu, Bayu adalah pria yang tulus. Bagaimanapun, dia selalu berusaha memberikan yang terbaik.
“Tapi, Bayu,” Dina akhirnya berkata dengan suara lembut. “Aku nggak butuh kamu mencintaiku lebih dari 100 persen. Aku nggak butuh kamu berjuang melawan sistem atau menambah angka-angka yang nggak masuk akal itu. Yang aku butuh, adalah kamu tetap ada di sini, bersamaku. Pajak atau tidak, aku cuma ingin kamu tetap mencintaiku seperti dulu. Tanpa perhitungan.”
Bayu menatapnya dalam-dalam. Mata mereka saling bertemu, dan seketika, ada keheningan yang menenangkan di antara mereka. Seolah-olah, kata-kata Dina berhasil menyingkirkan semua ketakutan yang Bayu rasakan.
“Aku janji, Din,” ucap Bayu dengan suara yang dalam. “Aku akan selalu mencintaimu. Pajak, denda, atau apapun itu, nggak akan mengubah perasaanku. Kita akan melewati ini bersama.”
Dina tersenyum tipis, meskipun hatinya masih merasa sedikit khawatir. Tapi setidaknya, dia tahu satu hal pasti: cinta mereka, seaneh apapun dunia ini menjadi, masih punya kesempatan untuk bertahan.
Mereka berdua duduk diam, menikmati keheningan yang penuh makna. Hujan telah berhenti, dan di luar, langit mulai memperlihatkan sedikit warna oranye dari matahari yang hampir terbenam. Pajak mungkin bisa mengambil sebagian cinta mereka, tapi perasaan itu sendiri—yang tulus dan penuh kasih—tak akan pernah bisa sepenuhnya diambil oleh siapapun.