Sragi, sebuah wilayah di Lampung Selatan, adalah ladang emas hijau yang membentang sejauh mata memandang. Lumbung padi ini menjadi sumber kehidupan ribuan keluarga. Di antara mereka, ada seorang pria bernama Pak Fulan. Bukan hanya seorang petani, Pak Fulan juga guru olahraga di dua sekolah berbeda: sebuah SMP dan sebuah SMK. Ia dihormati, tak hanya karena prestasinya di bidang pendidikan, tetapi juga kemampuannya dalam bertani. Di kampungnya, ia adalah panutan, seorang yang tekun di dua dunia yang sangat berbeda—pendidikan dan pertanian.
Setiap pagi, Pak Fulan mengajar dengan semangat yang seolah tak pernah padam. Lapangan olahraga di sekolah-sekolah tempatnya mengajar menjadi saksi bisu dedikasi yang ia tanamkan kepada para siswanya. Tim-tim olahraga yang ia bimbing sering memenangkan berbagai kejuaraan, bahkan hingga tingkat provinsi. Di waktu senggang, ketika para murid pulang, Pak Fulan kembali ke sawahnya, di mana keringatnya jatuh bersama butir-butir padi yang tumbuh subur.
Namun, di balik kesibukannya yang padat, Pak Fulan tetap seorang suami yang setia dan ayah yang penyayang. Istrinya, Siti, seorang perawat yang berdedikasi, bekerja di puskesmas kecamatan. Bersama dua anak mereka, Aisyah dan Dani, keluarga ini hidup dalam kebahagiaan sederhana. Di balik pintu rumah yang hangat, suara tawa anak-anak sering terdengar, menciptakan kenangan manis yang tak ternilai.
Tiap sore, selepas pulang dari ladang, Pak Fulan dan istrinya duduk di teras rumah. Mereka bercengkerama tentang masa depan anak-anak, tentang bagaimana mereka ingin Aisyah menjadi dokter dan Dani menjadi insinyur. Kedua orang tua ini begitu perhatian pada pendidikan anak-anaknya, meski hidup mereka sederhana. Cinta mereka adalah cahaya yang tak pernah padam di dalam keluarga kecil itu.
Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Takdir selalu menyimpan cerita yang tak terduga. Malam takbiran Idul Fitri itu, langit di atas Sragi dipenuhi gemerlap bintang. Suara takbir menggema di desa, menyentuh hati setiap orang dengan rasa damai. Tapi, di rumah Pak Fulan, malam itu berubah menjadi malam yang tak pernah ingin ia ingat. Istrinya, Siti, tiba-tiba jatuh sakit. Awalnya hanya kelelahan biasa setelah bekerja seharian di puskesmas, namun menjelang tengah malam, kondisinya memburuk.
Dengan panik, Pak Fulan membawa istrinya ke puskesmas tempat ia bekerja. Namun, apa daya, takdir sudah berkata lain. Di malam penuh takbir itu, Siti dipanggil pulang ke pangkuan-Nya. Di saat orang-orang bersiap merayakan kemenangan, Pak Fulan justru harus menghadapi kesedihan yang tak terbayangkan. Istrinya, belahan jiwanya, sosok yang selama ini selalu mendampinginya, pergi untuk selamanya.
Pagi itu, ketika rumah-rumah lain dipenuhi dengan tawa dan silaturahmi, rumah Pak Fulan dibanjiri pelayat. Orang-orang datang tak hanya untuk berbela sungkawa, tetapi juga untuk memberikan dukungan. Isak tangis memenuhi udara. Aisyah dan Dani, yang masih terlalu kecil untuk mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, duduk di sudut ruangan dengan wajah bingung. Mereka tahu ibu mereka tidak akan kembali, tetapi terlalu muda untuk memahami arti kehilangan ini.
Pak Fulan, di tengah-tengah kesedihannya, mencoba tegar. Namun di dalam hatinya, ia hancur. Tatapan kosongnya terus tertuju pada kedua anaknya. Setiap kali ia melihat Aisyah memeluk boneka kesayangan yang biasanya ditemani ibunya sebelum tidur, hatinya terasa dicabik-cabik. Dani, yang selama ini selalu manja dengan ibunya, hanya bisa duduk termenung di pangkuan neneknya. Mereka berdua masih membutuhkan sosok ibu, dan Pak Fulan tahu, tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan itu.
Hari-hari setelah kepergian Siti adalah ujian berat bagi Pak Fulan. Sawah yang dulu ia urus dengan semangat, kini terasa sepi. Meski ia tetap pergi mengajar, banyak hal yang kini terasa berbeda. Setiap langkah yang ia ambil menuju sekolah atau sawahnya, selalu diiringi bayangan istrinya. Namun, Pak Fulan tidak bisa berlama-lama terlarut dalam duka. Ada masa depan dua anak yang harus ia perjuangkan. Ia tidak bisa menyerah.
Pak Fulan memutuskan untuk fokus pada dua hal: membesarkan Aisyah dan Dani serta melanjutkan pekerjaan yang ia cintai. Setiap pagi, ia tetap berangkat mengajar, dengan senyum yang ia paksakan. Ia tetap melatih tim-tim olahraganya dengan penuh dedikasi. Setiap sore, ia kembali ke sawah, memastikan padi-padi yang ia tanam tumbuh subur. Kini, ladang padi bukan hanya tempat ia mencari penghasilan, tetapi juga tempat ia berbicara dengan kenangan-kenangan tentang istrinya.
Pak Fulan menjadi lebih kuat, bukan karena ia ingin, tetapi karena ia harus. Tetangga dan rekan-rekannya melihat ketegaran itu dengan rasa hormat. Mereka tahu bahwa di balik senyumnya yang tegar, ada luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Namun, Pak Fulan tahu satu hal: hidup harus terus berjalan. Aisyah dan Dani harus tumbuh besar, harus meraih mimpi-mimpi yang dulu ia dan istrinya rencanakan bersama.
Musim panen tiba. Sawah-sawah di Sragi kembali menguning. Di tengah hamparan padi yang siap dipanen, Pak Fulan berdiri dengan anak-anaknya. Mereka menatap hasil kerja keras selama berbulan-bulan. Kali ini, padi yang menguning itu bukan hanya lambang keberhasilan sebagai petani, tetapi juga simbol perjuangan hidup. Di tengah-tengah ladang yang subur itu, Pak Fulan berjanji dalam hati: meskipun Siti sudah tiada, ia akan terus memperjuangkan masa depan anak-anaknya, mengajarkan mereka bahwa di balik setiap kehilangan, selalu ada harapan yang bisa tumbuh, seperti padi yang terus tumbuh meski badai sekalipun.
Di atas hamparan sawah yang tenang, Sragi tetap menjadi lumbung padi yang tak pernah kering, dan kisah Pak Fulan adalah salah satu dari ribuan cerita tentang cinta, kehilangan, dan keteguhan hati yang tersembunyi di balik setiap butir padi yang tumbuh di sana.