Malam itu terasa begitu lengang. Udara dingin perlahan merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menyentuh kulit dengan lembut, seolah ingin memberi isyarat bahwa malam ini tak ada yang perlu dikejar. Dari luar, hanya terdengar detak jarum jam yang monoton, mengiringi keheningan di ruangan itu. Namun, di dalam benak Rony, semuanya jauh dari kata tenang. Ada keramaian yang tak kasat mata, suara-suara yang tak pernah berhenti mengisi kepalanya.
Rony duduk di ujung ranjang, memandang dinding putih yang kosong. Matanya tak fokus, tapi pikirannya berkecamuk. “Apa yang sebenarnya aku cari?” tanyanya lirih pada diri sendiri. Pertanyaan itu seakan terpantul kembali, bergaung di kepalanya. Tapi seperti biasanya, jawaban itu tak pernah jelas, seperti bayangan yang terus mengabur saat ia coba mendekat.
Di luar, hidup Rony tampak baik-baik saja. Ia memiliki pekerjaan yang cukup, keluarga yang selalu ada, dan sahabat-sahabat yang peduli. Namun entah mengapa, perasaan hampa itu tetap hadir, mengisi ruang hatinya dengan kegelisahan yang tak terjelaskan. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum ia temukan. Dan semakin ia mencari, semakin jauh rasanya.
Dengan langkah pelan, Rony menuju jendela. Ia menatap langit malam yang sepi, hitam pekat, hanya dihiasi sinar redup bulan. Segalanya terlihat begitu tenang di luar sana, kontras dengan gejolak yang ia rasakan di dalam dirinya. Dalam diam malam, pikirannya berteriak, seakan menuntut jawaban dari hal-hal yang bahkan tak ia mengerti.
Setiap malam selalu terasa sama. Pikiran-pikiran itu tak pernah berhenti, mengulang pertanyaan yang sama: “Sudahkah aku cukup? Apakah ini semua sudah cukup?” Rony merasa terjebak dalam labirin harapan dan kekhawatiran. Ia selalu merasa harus berlari, mengejar sesuatu yang ia sendiri tak tahu apa wujudnya.
Rony menutup matanya, mencoba merasakan kedamaian dalam kesunyian malam. Tapi, semakin ia berusaha tenang, semakin kencang suara-suara itu muncul. Kegelisahan itu seperti derak ranting yang patah, memecah keheningan tanpa henti. Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri, dari sudut-sudut hati yang belum sepenuhnya ia pahami.
Di tengah segala keramaian batin yang tak terlihat, Rony mulai menyadari sesuatu. Mungkin, bukan ketenangan sempurna yang ia butuhkan. Mungkin, ia hanya harus belajar berdamai dengan suara-suara itu—suara keraguan, rasa takut, dan harapan yang sering kali tak terucapkan. Suara-suara itu, meski mengganggu, adalah bagian dari perjalanan hidupnya, bagian dari proses pencarian diri.
Malam semakin larut, dan Rony tahu bahwa kegelisahan ini tak akan langsung pergi. Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda. Ia mulai menerima bahwa mungkin ia tak perlu terus mencari jawaban. Mungkin, kebisingan dalam sunyi ini adalah pelajaran untuk menerima bahwa hidup tak selalu menawarkan ketenangan. Dan dalam kegelisahan yang hadir, Rony perlahan belajar untuk mendengarkan dirinya sendiri, dengan lebih lembut dan penuh pengertian.
Di dalam keheningan malam, Rony akhirnya berdamai—bukan dengan sunyi di sekelilingnya, tetapi dengan bising di dalam hatinya.
Pagi datang, tapi bagi Rony, rasa lelah dari malam panjang yang tak pernah benar-benar tidur masih menggantung di tubuhnya. Matahari mulai menyusup ke dalam kamar melalui celah-celah tirai, tetapi cahayanya terasa samar, nyaris tak berarti. Ia duduk di tepi tempat tidur, merasakan keheningan yang sama seperti semalam, namun dengan keletihan yang lebih dalam.
Hari itu, seperti banyak hari sebelumnya, terasa kabur. Rony melangkah keluar kamar dengan gerakan otomatis, menyiapkan sarapan seadanya, memaksa diri untuk menjalani rutinitas tanpa semangat. Di dalam dirinya, perasaan hampa itu tetap ada—seolah-olah hidup berjalan tanpa tujuan yang jelas, dan ia hanya mengikuti arus tanpa tahu kemana ia akan sampai.
Saat keluar rumah, udara pagi menyapa dengan lembut, sejenak memberi harapan bahwa mungkin hari ini akan berbeda. Tapi harapan itu segera memudar begitu ia menyadari bahwa kegelisahan tak pernah benar-benar hilang. Rony berjalan ke tempat kerja, melewati jalan-jalan yang sudah begitu akrab, namun tetap terasa asing. Setiap langkah terasa ringan, tapi pikirannya berat, penuh keraguan dan pertanyaan yang tak terjawab.
Di tempat kerja, Rony duduk di meja yang sama, dikelilingi rekan-rekan yang sibuk. Mereka berbicara, tertawa, dan saling bertukar cerita tentang hidup mereka. Namun bagi Rony, semua itu seperti latar belakang yang samar. Ia mendengar suara mereka, tetapi tak bisa benar-benar memahami. Semuanya terasa jauh, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkannya dari dunia di sekelilingnya.
“Rony, kamu baik-baik saja?” suara rekan kerjanya, Bayu, tiba-tiba terdengar, membuyarkan lamunannya.
Rony tersentak, berusaha tersenyum. “Iya, baik kok. Cuma agak capek aja,” jawabnya singkat.
Bayu menatapnya dengan penuh perhatian, tapi tak mendesak lebih lanjut. Mereka sudah lama bekerja bersama, dan Bayu tahu, ada hal-hal yang tak bisa diutarakan dengan mudah. Namun perhatian itu cukup membuat Rony sedikit merasa lebih tenang, meskipun hanya sesaat.
Hari berjalan seperti biasanya, dan saat sore menjelang, Rony kembali melangkah pulang. Di jalan, ia mulai merenungkan percakapannya dengan Bayu. Ia sadar, masalahnya lebih dalam dari sekadar rasa lelah atau kurang tidur. Ada sesuatu yang lebih besar, yang selama ini ia hindari untuk dihadapi—perasaan terjebak dalam rutinitas yang kosong, dalam hidup yang terus berputar tanpa arah jelas.
Sesampainya di rumah, Rony duduk di sofa, menatap kosong ke arah langit-langit. Kali ini, ia tidak berusaha melawan kebisingan di kepalanya. Ia membiarkan suara-suara itu datang. Ia membiarkan setiap keraguan, setiap rasa takut, dan setiap kegelisahan memenuhi ruang pikirannya. Dan untuk pertama kalinya, Rony mencoba mendengarkan—bukan dengan niat untuk melawan atau mengusir, tapi untuk memahami.
“Apa yang sebenarnya aku takutkan?” gumamnya pelan. Jawaban itu tak langsung datang, tapi ada perasaan lega yang perlahan merayap dalam dirinya. Ia menyadari, mungkin selama ini ia terlalu sibuk berusaha mencari jawaban dari hal-hal yang di luar jangkauannya, tanpa benar-benar mendengarkan dirinya sendiri.
Malam itu, Rony tidak berusaha melawan suara-suara di kepalanya. Ia tidak memaksa dirinya untuk mencari ketenangan dalam sunyi yang selalu terasa asing. Sebaliknya, ia mulai menerima bahwa kebisingan itu adalah bagian dari dirinya—bagian yang perlu ia pelajari, bagian yang perlu ia terima.
Malam semakin larut, tapi kali ini, ada perbedaan yang nyata. Bukan ketenangan yang datang, melainkan rasa damai dari penerimaan. Rony mulai mengerti bahwa tidak semua kegelisahan harus dihilangkan. Kadang, bising di dalam sunyi itu adalah cermin dari hal-hal yang ia sembunyikan dari diri sendiri—perasaan takut gagal, ketidakpuasan yang terpendam, atau bahkan harapan yang selama ini ia abaikan.
Di tengah malam yang sepi, Rony berbaring dengan pikiran yang masih bising. Tapi kali ini, ia tak lagi merasa tersiksa. Ia tahu, perlahan-lahan, ia akan menemukan jalannya. Mungkin tidak hari ini, mungkin juga tidak esok. Tapi dengan setiap malam yang berlalu, ia akan semakin dekat untuk memahami dirinyadan itu, bagi Rony, sudah cukup untuk saat ini