Langit biru cerah menaungi sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Desa itu terlihat sunyi, namun penuh kehangatan dari penduduknya yang sederhana. Di sana, seorang anak desa bernama Soman hidup bersama kakek dan neneknya. Kehidupan mereka bersahaja, tetapi selalu ada tawa dan canda di rumah kecil itu.
Hari itu, Soman sedang asyik bermain bola di dekat sawah ketika dia melihat seorang anak laki-laki seumurannya duduk di pinggir jalan. Anak itu mengenakan masker hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya, hanya menyisakan mata tajam yang terus memerhatikan sekelilingnya dengan waspada.
Soman mendekat dengan ramah. “Eh, kamu siapa? Baru datang di desa ini?” tanyanya.
Anak berjaket tebal dan masker hitam itu menggeleng pelan. “Panggil saja aku Maisan.”
“Oh, Maisan. Mau main bola nggak? Kebetulan aku lagi sendirian. Temen-temenku pada bantu orang tua di sawah,” tawar Soman sambil menepuk-nepuk bola yang dipegangnya.
Maisan tampak ragu sejenak, lalu berdiri dan mengikuti Soman bermain bola. Mereka saling oper dan mengecoh, dan Soman terkesan dengan kecekatan Maisan.
“Kamu jago main bola, lho! Di kota sering main juga?” tanya Soman saat mereka beristirahat di pinggir sawah.
Maisan hanya tersenyum tipis. “Kadang-kadang, tapi aku jarang punya waktu buat main.”
Soman mengernyit, merasa ada sesuatu yang ganjil. Namun dia tidak menanyakan lebih jauh, walaupun rasa penasaran tetap bergejolak di dalam dirinya.
Selama beberapa hari berikutnya, Maisan sering datang ke rumah Soman. Kakek dan nenek Soman menerima Maisan dengan hangat, meskipun mereka tidak tahu siapa Maisan sebenarnya. Maisan membantu di ladang, makan bersama, dan bahkan belajar memasak bersama nenek Soman. Kehangatan dan kesederhanaan hidup di desa itu memberikan kedamaian bagi Maisan, jauh dari hiruk-pikuk kota.
Suatu malam, mereka duduk di teras rumah Soman. Bintang-bintang tampak berkerlip di langit, dan suara jangkrik terdengar jelas di kejauhan. Maisan memandang sawah yang mulai menguning, tampak termenung.
“Soman, kamu enak ya di sini. Bebas. Nggak ada yang ngurusin hidupmu,” kata Maisan tiba-tiba.
Soman menoleh, bingung. “Emang kamu diurusin siapa di kota?”
Maisan tersenyum pahit, matanya penuh beban. “Aku nggak bisa bebas kayak kamu. Aku selalu diawasi. Harus kerja terus, nggak ada waktu buat diri sendiri.”
Soman mengernyitkan dahi. “Kerja apa? Bukannya kamu masih anak-anak?”
Maisan terdiam sejenak, kemudian perlahan membuka maskernya. Soman kaget setengah mati. “Kamu! Kamu Maisan, Abiya Maisan Huntara yang sering muncul di TV! Aktor dan penyanyi terkenal itu?”
Maisan mengangguk lemah. “Iya. Makanya aku ke sini pakai masker, biar nggak ada yang kenal. Aku cuma mau kabur sebentar, menikmati hidup tanpa tekanan.”
Soman menggeleng tak percaya. “Tapi kamu terkenal, Maisan! Kenapa malah kabur?”
Maisan menghela napas panjang. “Justru karena itu. Aku nggak punya privasi lagi. Semua orang nuntut ini-itu. Aku kangen hidup kayak kamu, sederhana dan tenang.”
Namun, kebahagiaan Maisan di desa tidak berlangsung lama. Suatu siang, suara gemuruh mobil terdengar di kejauhan. Sebuah mobil hitam besar berhenti di depan rumah Soman, mengejutkan seluruh keluarga. Soman keluar bersama Maisan untuk melihat siapa yang datang.
Dari mobil itu turun seorang pria tinggi berjas hitam dengan wajah serius. Namanya El Hassan Sannova, manajer terkenal yang selalu tampil dengan aura tegas. Di sampingnya, turun seorang pria lebih muda dengan wajah tegas namun terlihat ramah, Papi Huntara, ayah Maisan yang juga seorang pengusaha ternama di kota.
“MAISAN!” teriak El Hassan dengan nada marah sekaligus lega. “Kamu kabur seenaknya, semua orang di kota bingung nyari kamu!”
Maisan terdiam, wajahnya pucat. “Aku cuma mau istirahat sebentar. Aku capek, Opa” jawabnya pelan.
El Hassan menghampirinya dengan langkah cepat. “Kamu nggak bisa lari dari tanggung jawabmu, Maisan. Kontrakmu banyak yang tertunda. Semua orang menunggu kamu!” Suaranya semakin keras, dan wajahnya terlihat marah.
Soman berdiri di antara mereka, berusaha melindungi Maisan. “Kalau Maisan udah nggak mau, kenapa harus maksa dia balik? Dia senang di sini, kenapa nggak kasih dia waktu?”
El Hassan menatap Soman seolah tidak percaya bahwa anak desa itu berani berbicara seperti itu. “Kamu nggak paham. Karir Maisan itu besar. Dia punya banyak tanggung jawab. Kita nggak bisa buang waktu di tempat terpencil kayak gini.”
Namun, sebelum El Hassan bisa berkata lebih lanjut, Papi Huntara maju, memotong. “Maisan, kamu tahu ini bukan soal mau atau nggak mau. Kamu punya tanggung jawab besar. Apa kamu mau menghancurkan semua yang sudah kita bangun?”
Maisan menggertakkan giginya, perasaan tertekan makin menguat. “Aku cuma pengen istirahat, Papi. Sekali aja. Aku capek. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini.”
Wajah Papi Huntara mengeras. “Hidup nggak selalu tentang apa yang kamu mau, Maisan. Ada kewajiban yang harus kamu jalani. Kita sudah berinvestasi besar di kamu, dan kamu tahu itu.”
Maisan hanya bisa menunduk, air matanya nyaris menetes. Dia tahu bahwa apa yang dikatakan ayahnya benar. Tapi di dalam hatinya, dia merasakan kerinduan yang begitu kuat untuk tetap tinggal di desa ini, tempat di mana dia bisa merasa menjadi dirinya sendiri.
Soman menatap Maisan dengan tatapan penuh simpati. “Maisan, kalau kamu udah nggak suka, kenapa harus terusin?”
Maisan tersenyum lemah. “Kadang kita nggak bisa dapet semua yang kita mau, Soman. Ada tanggung jawab yang lebih besar.”
El Hassan menggiring Maisan menuju mobil dengan tangan tegas. “Ayo, kita harus segera kembali.”
Maisan berpamitan dengan Soman dan keluarganya. Dengan suara berat, dia berkata, “Terima kasih, Soman. Kalian sudah baik sekali sama aku. Aku nggak akan lupa ini.”
Saat mobil perlahan melaju meninggalkan desa, Maisan menatap keluar jendela, memikirkan kata-kata Soman. Dalam hati, ia berjanji, suatu hari nanti ia akan kembali ke desa kecil itu, tempat di mana ia bisa merasa bebas dan hidup tanpa tekanan.