Pagi itu, embun masih setia menempel di dedaunan dan matahari belum sepenuhnya menampakkan wajahnya ketika Mbok Gerung melangkahkan kakinya menuju Pasar Beringharjo. Tubuh rentanya masih kuat, meski usia hampir menyentuh angka tujuh puluh. Dia harus bergegas. Hari itu seperti hari-hari lainnya—sehari lagi untuk berjuang.
Setiap langkahnya terasa berat. Di rumah, Pak Marto terbaring lemah. Lima tahun sudah suaminya tak bisa bergerak, stroke telah merenggut sisa-sisa kekuatannya. Sekarang, beban hidup Mbok Gerung makin berat, apalagi dia harus menghidupi cucunya, Rizki, yang baru berusia delapan tahun, yatim piatu sejak orang tua Rizki meninggal dalam kecelakaan lalu lintas dua tahun lalu.
“Ayo, Mbok, cepetan. Kalo nggak cepet nanti rezeki diambil orang,” kata sesama buruh gendong yang melewatinya.
Mbok Gerung hanya mengangguk. Kepalanya terus menunduk, memikirkan berapa banyak beban yang harus dia gendong hari ini. Sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo, pendapatannya tak tentu, berkisar antara lima puluh hingga seratus ribu rupiah per hari. Itu pun harus berbagi dengan banyak buruh lain yang mengincar pekerjaan yang sama.
Di tengah keramaian pasar, tiba-tiba seorang pria setengah baya dengan pakaian rapi terlihat kebingungan membawa banyak belanjaan. Tas-tas plastik berisi berbagai macam barang tergantung di tangannya, membuat langkahnya tertatih.
“Nggih, Mas, perlu dibantu?” tanya Mbok Gerung sambil mendekati pria itu.
Lelaki itu menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, Mbok. Ini berat sekali. Saya perlu bantu angkat ke mobil.”
“Nggih, Pak. Sini, saya bantu,” kata Mbok Gerung sambil mengangkat sebagian barang belanjaan pria itu dengan hati-hati.
Mereka berjalan pelan-pelan menuju parkiran. Saat barang-barang diletakkan di bagasi mobil, pria itu tampak heran melihat Mbok Gerung yang meski tua, tetap kuat membawa beban berat.
“Terima kasih, Mbok. Boleh tahu nama sampean?” tanya pria itu sambil mengeluarkan uang dari sakunya.
“Saya Gerung, Pak. Buruh gendong di sini,” jawabnya sambil menerima uang yang diberikan.
“Nama saya Huntara, saya dari Kalianda lampung selatan yang sedang monitoring siswa kali yang sedang PKL mbok, Sampean ini kuat sekali, Mbok. Tapi bukankah sampean sudah sepuh? Masih sanggup gendong barang berat begini?” tanya Pak Huntara dengan nada prihatin.
Mbok Gerung tersenyum tipis. “Ya gimana lagi, Pak. Suami saya sakit stroke lima tahun terakhir, nggak bisa kerja. Cucu saya juga yatim, jadi saya yang harus menghidupi mereka.”
Mendengar itu, wajah Pak Huntara berubah muram. Dia memandangi Mbok Gerung dengan simpati. “Maaf Mbok, Kok nggak ada yang bantu sampean?”
“Ya, gimana, Pak. Nggak ada yang bisa bantu. Tetangga-tetangga kadang ngasih makan atau sedikit bantuan, tapi semuanya juga punya kehidupan masing-masing,” kata Mbok Gerung, matanya mulai berkaca-kaca.
Pak Huntara terdiam sejenak, tampak berpikir. “Rumah sampean di mana, Mbok?”
“Di kampung sebelah, nggak jauh dari sini.”
“Baik, Mbok. Nanti sore saya mau ke rumah sampean, ya. Mau nengok suami sampean,” kata Pak Huntara tulus.
Mbok Gerung hanya bisa mengangguk sambil tersenyum lelah. “Terima kasih, Pak.”
Sore hari, sesuai janjinya, Pak Huntara tiba di rumah Mbok Gerung. Rumah sederhana itu tampak kusam dan sempit, dikelilingi oleh pepohonan rindang yang sedikit menyembunyikan keadaan rumah yang tak terawat. Rizki, cucu Mbok Gerung, sedang bermain di depan rumah ketika Pak Huntara datang.
“Assalamualaikum,” sapa Pak Huntara sambil mengetuk pintu kayu yang sudah mulai lapuk.
“Waalaikumsalam,” jawab Mbok Gerung yang segera keluar dari dalam rumah.
“Oh, Pak Huntara. Monggo, masuk,” katanya dengan ramah, meski terlihat sedikit canggung.
Pak Huntara masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh pemandangan Pak Marto yang terbaring lemah di ranjang tua. Wajahnya pucat, dan hanya bisa menggerakkan sedikit bagian tubuhnya.
“Selamat sore, Pak Marto. Saya Huntara, guru di SMK. Saya tadi ketemu Mbok Gerung di pasar,” kata Pak Huntara memperkenalkan diri.
Pak Marto tersenyum tipis. “Terima kasih sudah mau datang, Pak.”
Setelah berbincang-bincang sebentar dan mendengar lebih banyak tentang keadaan keluarga tersebut, Pak Huntara merasa hatinya tergerak. Kondisi Pak Marto yang sakit dan Mbok Gerung yang harus terus bekerja berat di usianya sangat menyentuh hatinya. Sebelum berpamitan, Pak Huntara mengeluarkan amplop berisi sejumlah uang dari sakunya.
“Mbok Gerung, saya nggak bisa bantu banyak. Ini sedikit rezeki dari saya, semoga bisa meringankan beban sampean sekeluarga. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk hubungi saya.”
Mbok Gerung tampak terkejut dan terharu. Air matanya mulai mengalir saat dia menerima amplop itu. “Terima kasih, Pak. Semoga Gusti Allah yang membalas kebaikan panjenengan.”
Pak Huntara mengangguk, merasa lega telah melakukan sesuatu untuk membantu. “Sampean tetap semangat ya, Mbok. Insya Allah, nanti ada jalan keluar.”
Setelah berpamitan, Pak Huntara melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan rasa syukur yang mendalam di hati Mbok Gerung. Meski beban hidupnya tak serta-merta hilang, Mbok Gerung kini merasa sedikit lebih ringan. Bantuan dari Pak Huntara bukan hanya soal uang, tapi juga bentuk kepedulian yang membuatnya merasa tak sendirian.
Malam itu, Mbok Gerung duduk di samping Pak Marto, meremas tangannya sendiri, merasa kelelahan yang menumpuk di tubuhnya. Tapi sekarang, ada harapan kecil yang menyala. Di tengah segala kesulitan, masih ada orang-orang baik yang mau berbagi.