Pada suatu hari, di sebuah lembah yang sunyi, aku bertemu dengan seorang lelaki tua yang duduk di bawah pohon besar. Wajahnya keriput, tetapi matanya bersinar dengan kedamaian yang tak dapat kulukiskan. Di hadapannya, angin berbisik lembut, seolah ingin turut mendengar cerita yang akan dia bagi.
Aku mendekatinya dengan rasa ingin tahu. “Wahai orang tua yang bijaksana,” kataku dengan suara penuh harap, “Engkau tampak begitu tenang, seolah hidup ini tak pernah mengguncangmu. Ajarkan aku cara sederhana untuk hidup bahagia.”
Lelaki tua itu menoleh padaku, senyum mengembang di wajahnya. “Anak muda,” jawabnya, “Kebahagiaan bukanlah harta yang bisa kau kumpulkan. Bukan pula piala yang harus kau menangkan. Kebahagiaan, seperti angin lembut ini, datang kepada mereka yang tak mencarinya dengan hasrat berlebihan.”
Ia mengulurkan tangannya ke arah langit yang cerah, dan berkata, “Pertama, belajarlah menerima dirimu seperti adanya. Hentikan upaya untuk mengubah siapa dirimu agar sesuai dengan bayangan orang lain. Seperti pohon ini, yang tumbuh dengan bentuknya sendiri, kau pun harus menerima bahwa ada keindahan dalam setiap lengkungan, setiap cacat, dan setiap bagian dirimu.”
Aku mendengar kata-katanya, namun hatiku masih diliputi pertanyaan. “Tetapi bagaimana mungkin,” tanyaku, “aku bisa bahagia jika dunia ini penuh dengan tuntutan dan beban yang tak berkesudahan?”
Orang tua itu tertawa ringan, seolah mendengar pertanyaan yang telah dia jawab berkali-kali dalam hidupnya. “Beban, anakku, bukanlah musuhmu. Beban adalah guru yang tak terlihat. Mereka hadir untuk menguatkanmu, bukan untuk meruntuhkanmu. Namun kau harus belajar untuk memikul beban itu dengan hati yang ringan, bukan dengan keluhan. Kebahagiaan terletak pada caramu berjalan, bukan pada apa yang kau pikul.”
Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara lembut, “Setiap kali hatimu berat, lepaskanlah hal-hal yang bukan milikmu. Jangan genggam dendam, jangan pelihara iri hati, sebab itu semua adalah beban tambahan yang kau pilih sendiri. Kehidupan sudah cukup sulit tanpa kau tambahkan beban yang tak perlu.”
Aku termenung, menyadari betapa sering aku menyimpan amarah dan kekecewaan, merasakan sakit dari harapan yang tak terpenuhi.
“Dan terakhir,” kata lelaki tua itu, “berbagi dengan orang lain. Kebahagiaan tidak tumbuh dalam kesendirian, tetapi dalam hubungan dengan makhluk lain. Saat kau memberi, kau membuka pintu hatimu kepada kebahagiaan. Tidak ada pemberian yang terlalu kecil, sebab kebahagiaan tidak diukur dari besarnya pemberian, melainkan dari ketulusan hatimu saat memberi.”
Angin berhembus lagi, menggetarkan daun-daun di atas kami. Lelaki tua itu menatap jauh ke cakrawala, seolah melihat sesuatu yang tak bisa kulihat. “Jangan terlalu mengejar kebahagiaan,” bisiknya, “Sebab ia akan menjauh darimu. Hidup sederhanalah, terima dirimu, pikul beban dengan hati ringan, lepaskan yang tak perlu, dan berbagilah. Maka kebahagiaan akan datang padamu, sehalus angin yang menyentuh wajahmu.”
Aku terdiam, meresapi kata-katanya yang sederhana namun begitu dalam. Lalu, dengan hati yang lebih tenang, aku bangkit dan meninggalkan lembah itu, sambil berjanji kepada diriku sendiri untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih ringan, lebih sederhana, dan lebih damai.
Dan, entah bagaimana, aku mulai merasakan bahwa kebahagiaan itu selalu ada, bersembunyi dalam hal-hal kecil yang dulu kulewatkan begitu saja.
Keren
Dari cerita tersebut saya mengerti bahwa hidup ini di tidak perlu pengakuan dari orang lain, kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri, hidup sederhana dan tidak berlebihan adalah kunci bahagia dunia.
Kebahagian datang dari ketenangan, keikhlasan, dan tidak berlebihan adalah kunci kebahagiaan