Pagi itu, cuaca cerah di halaman rumah Pak Sidjabat. Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Sindu anak bungsu pak sidjabat berusia 12 tahun duduk santai di teras belakang, menikmati pemandangan hijau dari halaman yang luas. Di sebelahnya, Mbok Suti tengah sibuk membersihkan rumput dan daun-daun kering yang berserakan. Sindu tampak lebih rileks dari biasanya, mengingat insiden beberapa hari lalu yang membuatnya harus beristirahat di rumah.
Pak Sidjabat dan Bu Ratih hari ini sedang pergi ke Butik Velloze di Hotel Aston untuk memilih baju pernikahan. Mereka telah sepakat bahwa pernikahan akan digelar dengan sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa teman. Sementara itu, Sindu tinggal di rumah, ditemani oleh Mbok Suti.
“Mbok,” Sindu memulai pembicaraan sambil menyender di kursi teras, “kalau nanti Papa sama bu ratih bulan madu, kira-kira aku diajak nggak ya?” Ia tertawa kecil setelah bertanya.
Mbok Suti, yang sedang merapikan dedaunan, ikut tertawa. “Heh, Sindu. Masa iya bulan madu bawa anak. Nggak biasanya begitu, Nak. Bulan madu itu untuk pengantin baru, bukan buat anaknya ikut-ikutan.”
Sindu tersenyum lebar, puas dengan jawabannya. “Iya, sih, Mbok. Tapi siapa tahu kan, Papa sama bu ratih pengen aku ikut juga.”
Mbok Suti menatap Sindu dengan senyum hangat. “Kalau pengantin baru, ya biarin mereka menikmati waktu berdua dulu. Kamu nanti bisa liburan sendiri, ” Sambil bicara, ia kembali sibuk merapikan rumput di halaman.
“Ya deh, Mbok. Aku cuma bercanda kok. Tapi aku seneng banget, Mbok. Papa dan bu ratih akhirnya mau menikah,.” Sindu terdengar penuh rasa syukur.
“Alhamdulillah, Nak. Yang penting sekarang kamu tenang dan senang, apalagi sudah sembuh dari kejadian kemarin itu,” jawab Mbok Suti sambil berdiri, membersihkan tangannya dari tanah.
Beberapa saat kemudian, Mbok Suti masuk ke dapur untuk mengambil minum dan mengecek makanan yang sedang dimasak. Sindu masih duduk santai di kursinya, sesekali menatap langit cerah. Namun, ketika Mbok Suti kembali ke halaman, Sindu sudah tidak ada di tempatnya.
“Sindu? Nak Sindu?” panggil Mbok Suti sambil melihat sekeliling halaman.
Tidak ada jawaban.
Mbok Suti berjalan ke kamar Sindu untuk memastikan mungkin ia masuk ke dalam. Namun, ketika sampai di kamar Sindu, kamar itu kosong. Ia mencari ke sudut-sudut rumah, namun Sindu tetap tidak ditemukan. Perasaan cemas mulai menghantui Mbok Suti.
“Ke mana anak ini?” gumam Mbok Suti sambil mengelilingi rumah, mencari Sindu di seluruh penjuru.
*********
Di tempat lain, Pak Sidjabat dan Bu Ratih tengah sibuk memilih baju pernikahan di Butik Velloza. Mereka tampak bahagia, saling bercanda dan berbicara tentang rencana pernikahan yang akan digelar dalam waktu dekat.
“Ratih, aku rasa kita sudah siap untuk acara ini. Aku tak sabar menunggu hari bahagia kita,” kata Pak Sidjabat sambil menatap Bu Ratih penuh cinta.
Bu Ratih tersenyum lembut, memegang tangan Pak Sidjabat. “Aku juga, Mas. Semoga semuanya berjalan lancar dan kita bisa memulai hidup baru dengan Sindu.”
Mereka terus berbincang hangat, tanpa menyadari bahwa di rumah, sesuatu yang ganjil sedang terjadi.
***********
Sementara itu, Mbok Suti mulai panik. Setelah mencari ke seluruh bagian rumah dan sekitar halaman, Sindu tetap tidak ditemukan. Ia mencoba menelepon Sindu, tetapi tidak ada jawaban. Kegelisahan mulai menyelimuti pikirannya.
“Ke mana perginya anak itu?” gumam Mbok Suti dengan nada khawatir.
Ia lalu memutuskan untuk menelepon Pak Sidjabat. Setelah beberapa dering, akhirnya telepon tersambung.
“Halo, Mbok Suti?” suara Pak Sidjabat terdengar di ujung sana.
“Pak… Sindu nggak ada di rumah. Saya sudah cari ke mana-mana, tapi nggak ketemu,” kata Mbok Suti dengan nada panik.
“Apa? Sindu hilang?” Pak Sidjabat terkejut mendengar berita itu. “Tunggu, Mbok. Saya dan Bu Ratih akan segera pulang!”
Pak Sidjabat menutup telepon dengan cepat dan segera memberi tahu Bu Ratih. “Ratih, kita harus segera pulang. Sindu nggak ada di rumah, Mbok Suti nggak bisa menemukannya.”
Wajah Bu Ratih langsung berubah tegang. “Apa? Ke mana dia pergi?”
“Aku nggak tahu, tapi kita harus cepat pulang,” jawab Pak Sidjabat sambil mengajak Bu Ratih bergegas keluar dari butik.
Mereka segera naik ke mobil dan melaju cepat menuju rumah, dengan pikiran yang penuh kekhawatiran. Sepanjang perjalanan, keduanya diam, tenggelam dalam kecemasan akan keadaan Sindu.
—
Sesampainya di rumah, Pak Sidjabat langsung keluar dari mobil dan memanggil Sindu dengan suara lantang. “Sindu! Sindu, kamu di mana?”
Namun, tidak ada jawaban. Ia dan Bu Ratih langsung masuk ke dalam rumah dan menemui Mbok Suti yang tampak cemas di ruang tamu.
“Bagaimana, Mbok? Sudah coba cari ke mana saja?” tanya Pak Sidjabat dengan nada mendesak.
“Saya sudah cari ke seluruh rumah, Pak. Ke halaman depan, belakang, bahkan ke kamar-kamarnya. Tapi tidak ada tanda-tanda Sindu,” jawab Mbok Suti dengan suara gemetar.
Bu Ratih mencoba menenangkan Mbok Suti. “Tenang, Mbok. Mungkin Sindu pergi ke suatu tempat yang dia suka. Dia mungkin pergi jalan-jalan tanpa bilang.”
Namun, Pak Sidjabat merasa ada yang tidak beres. Sindu bukan tipe anak yang pergi tanpa memberitahu, terutama setelah insiden dengan Pak Sadar beberapa waktu lalu. Kecurigaan mulai merayap di benaknya.
“Kita harus mencarinya di luar. Mungkin dia pergi ke taman atau tempat favoritnya,” kata Pak Sidjabat sambil mengambil kunci mobil.
Bu Ratih mengangguk setuju. “Benar, Mas. Kita cari dulu ke tempat-tempat yang biasa dia kunjungi.”
Pak Sidjabat, Bu Ratih, dan Mbok Suti pun memutuskan untuk menyisir sekitar rumah dan lingkungan terdekat. Mereka mengunjungi taman terdekat, kafe favorit Sindu, hingga tempat ia sering berolahraga. Namun, tidak ada tanda-tanda Sindu di mana pun.
Pak Sidjabat mulai merasa semakin cemas. “Ini bukan kebiasaan Sindu. Dia tidak pernah pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan.”
Bu Ratih mencoba menenangkan suaminya. “Mas, kita harus tetap berpikir positif. Mungkin saja dia hanya ingin sendiri sejenak, mungkin dia stres dengan semua yang terjadi.”
Namun, dalam hati kecilnya, Pak Sidjabat merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Ia mengingat peringatan Sindu tentang Pak Sadar, dan ketakutan itu mulai kembali muncul.
“Aku akan coba hubungi beberapa temannya di kampus, siapa tahu mereka tahu keberadaannya,” kata Pak Sidjabat sambil mengambil ponsel.
*****************
Malam semakin larut, dan Sindu belum juga ditemukan. Semua orang yang mengenal Sindu mulai merasa khawatir. Di rumah, suasana mencekam mulai terasa. Pak Sidjabat dan Bu Ratih duduk di ruang tamu, berpikir keras tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
“Besok kita laporkan ke polisi kalau dia belum pulang,” kata Pak Sidjabat dengan nada putus asa.
“Semoga dia pulang malam ini, Mas,” jawab Bu Ratih sambil menatap ke luar jendela dengan penuh harap.
Waktu terus berjalan, dan pertanyaan tentang keberadaan Sindu semakin menghantui pikiran mereka.
JEJAK YANG TERTANGKAP CCTV
Suasana di rumah Pak Sidjabat semakin tegang. Malam semakin larut, namun keberadaan Sindu masih belum diketahui. Setelah beberapa jam mencari di sekitar lingkungan dan menghubungi beberapa teman Sindu, Pak Sidjabat akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan. Dengan perasaan gelisah, ia menghubungi Pak Mamay, pelatih tenis sindu di klub pertanian, dan memberitahukan bahwa Sindu hilang.
Pak Mamay, yang dikenal cepat tanggap, langsung merespons dengan segera. Tanpa menunda waktu, ia mengajak Pak Hasibuan, seorang rekan sesama anggota klub tenis pertanian, untuk bersama-sama menuju rumah Pak Sidjabat. Tidak butuh waktu lama, mobil mereka berhenti di depan rumah Pak Sidjabat.
“Assalamualaikum, Pak Sidjabat!” teriak Pak Mamay begitu sampai di depan pintu.
Pak Sidjabat yang berada di ruang tamu langsung bergegas membukakan pintu. “Waalaikumsalam, Pak Mamay, Pak Hasibuan. Terima kasih sudah cepat datang.”
Pak Mamay memasuki rumah dengan wajah serius. “Bagaimana, Sidjabat? Ada petunjuk soal Sindu?”
Pak Sidjabat menggeleng, wajahnya penuh kecemasan. “Sejauh ini belum ada, Pak. Kami sudah cari di sekitar, coba hubungi teman-temannya, tapi tidak ada yang tahu keberadaannya.”
Pak Hasibuan, yang selalu tenang dalam situasi genting, mencoba berpikir logis. “Apa Sindu biasanya memberi tahu ke mana dia pergi?”
“Tidak, Sindu tidak pernah pergi tanpa memberi tahu. Ini bukan kebiasaan dia. Dan tadi Mbok Suti bilang dia tiba-tiba hilang dari halaman belakang. Aku curiga ada yang tidak beres,” jawab Pak Sidjabat dengan nada putus asa.
Pak Mamay, yang duduk di samping Pak Sidjabat, mengingatkan sesuatu. “Pak Sidjabat, tadi sebelum saya datang, saya berpikir… apa rumah ini tidak ada CCTV?”
Pak Sidjabat terdiam sejenak, lalu dengan wajah terkejut ia menyadari hal itu. “Benar! Di halaman belakang ada CCTV! Aku hampir lupa!”
Tanpa menunggu lama, Pak Sidjabat segera menuju ruang monitor CCTV di kamar belakang. Pak Mamay dan Pak Hasibuan mengikutinya dengan langkah cepat. Di dalam ruangan, layar monitor sudah menampilkan rekaman dari beberapa jam sebelumnya.
“Ini dia…,” kata Pak Sidjabat sambil mengarahkan tangannya ke layar, memutar ulang rekaman dari saat Sindu berada di halaman belakang.
Mereka semua diam, fokus pada rekaman yang terputar di layar. Dalam rekaman tersebut, Sindu terlihat duduk santai di halaman, seperti yang diceritakan Mbok Suti sebelumnya. Tidak ada yang aneh hingga tiba-tiba, empat orang pria bertopeng muncul dari arah belakang dan menyerbu Sindu.
Sindu tampak kaget, mencoba melawan, namun salah satu pria tersebut memegangnya erat dari belakang. Sindu berteriak dengan keras, “Papa! Tolong…papa tolong!” Suara itu terdengar jelas di rekaman. Namun, para pria tersebut bergerak cepat. Mereka membekap mulut Sindu dan membawanya ke mobil yang terparkir tak jauh dari rumah.
“Sial!” Pak Sidjabat berteriak kesal sambil memukul meja. “Mereka benar-benar menculik anak ku Sindu!”
Pak Mamay yang dari tadi memperhatikan rekaman dengan seksama, mendekatkan wajahnya ke layar. “Sebentar… orang ini, yang memegang tangan Sindu. Sepertinya aku pernah melihatnya.”
Pak Hasibuan yang berdiri di sebelahnya juga memperhatikan. “Iya, Pak Mamay. Sepertinya saya juga pernah bertemu dengan salah satu dari mereka. Lihat gerak-geriknya, cara dia berjalan…”
Pak Sidjabat langsung bertanya, “Siapa mereka? Apa kalian mengenali salah satu dari mereka?”
Pak Mamay mencoba mengingat-ingat. Wajahnya serius, tapi belum bisa sepenuhnya mengidentifikasi. “Saya yakin pernah bertemu dengan orang ini di lapangan tenis. Tapi saya lupa namanya. Mungkin orang itu salah satu kenalan di komunitas tenis, atau seseorang yang pernah datang ke klub pertanian.”
Pak Hasibuan menyambung, “Bisa jadi. Kita harus segera cari tahu siapa mereka. Saya yakin kalau kita selidiki lebih lanjut, kita bisa menemukan jejak mereka.”
Pak Sidjabat mengepalkan tangannya, wajahnya penuh tekad. “Kita tidak punya banyak waktu. Aku akan lapor ke polisi sekarang. Semakin lama, semakin jauh Sindu bisa dibawa.”
*****
Setelah membuat laporan ke polisi, mereka kembali ke rumah Pak Sidjabat untuk berdiskusi lebih lanjut. Mbok Suti, yang dari tadi khawatir, duduk di ruang tamu bersama mereka. Wajahnya menunjukkan rasa cemas yang mendalam.
“Saya nggak nyangka, Pak. Tadi saya cuma ke dapur sebentar, terus Sindu hilang begitu saja. Maaf pak, saya benar-benar merasa bersalah,” ucap Mbok Suti dengan suara serak.
Pak Sidjabat mencoba menenangkan Mbok Suti. “Mbok, ini bukan salahmu. Mereka memang sudah merencanakan ini dari awal. Sindu pasti diincar oleh orang-orang itu.”
Bu Ratih, yang baru tiba di rumah setelah mendengar kabar dari Pak Sidjabat, langsung terduduk di sofa dengan air mata mengalir di pipinya. “Mas, kenapa bisa seperti ini? Siapa yang tega menculik Sindu?”
Pak Sidjabat menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak tahu, Ratih. Tapi kita sudah laporkan ke polisi. Aku yakin Sindu akan segera ditemukan.”
Pak Mamay yang duduk di seberang Bu Ratih mencoba memberikan sedikit harapan. “Bu Ratih, kita sudah melihat rekaman CCTV. Saya yakin kita bisa cari tahu siapa orang-orang itu. Saya merasa salah satu dari mereka pernah terlihat di klub tenis.”
Bu Ratih mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Semoga saja, Pak Mamay. Saya tidak bisa membayangkan apa yang sedang Sindu rasakan sekarang.”
*******
Sementara itu, polisi mulai bergerak cepat dengan informasi yang diberikan oleh Pak Sidjabat dan hasil rekaman CCTV. Mereka melakukan penyelidikan di sekitar tempat kejadian dan mulai melacak mobil van yang terlihat dalam rekaman.
Pak Sidjabat, meskipun cemas, berusaha tetap tegar. Ia duduk di ruang tamu, memegang tangan Bu Ratih yang terus-menerus menangis. “Tenang, Ratih. Aku janji, kita akan menemukan Sindu. Tidak ada yang akan terjadi pada anak kita.”
Pak Hasibuan yang melihat keteguhan hati Pak Sidjabat, merasa kagum. “Pak Sidjabat, kita semua di sini untuk mendukungmu. Kalau ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk bilang.”
Pak Sidjabat mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak Hasibuan. Saya benar-benar menghargai bantuan kalian.”
**************
Satu jam kemudian, polisi menelepon Pak Sidjabat untuk memberitahukan perkembangan. “Pak Sidjabat, kami sudah mendapatkan petunjuk dari mobil yang digunakan oleh penculik. Kami akan melacak rute perjalanannya dan segera memberi kabar jika ada perkembangan lebih lanjut.”
Pak Sidjabat merasa sedikit lega mendengar kabar tersebut. “Terima kasih, Pak. Saya harap kalian bisa menemukannya secepat mungkin.”
Setelah menutup telepon, Pak Sidjabat berbalik ke arah Bu Ratih, Pak Mamay, dan Pak Hasibuan. “Polisi sudah punya petunjuk dari mobil penculiknya. Mereka sedang melacak sekarang.”
Semua orang di ruangan itu merasa sedikit lega, meskipun kecemasan masih menyelimuti. Kini, mereka hanya bisa menunggu kabar baik bahwa Sindu akan segera ditemukan.
PUNCAK KECURIGAAN
Suasana di ruang monitor tiba-tiba berubah tegang. Pak Mamay yang semula hanya fokus menonton rekaman CCTV tiba-tiba berdiri sambil menunjuk layar dengan ekspresi wajah terkejut. “Pak Sidjabat! Saya ingat sekarang!” teriaknya histeris. “Orang ini, yang membawa Sindu, adalah penjaga villa Pak Sadar di Puncak! Saya pernah melihat dia beberapa kali ke lapangan tenis bersama Pak Sadar!”
Pak Sidjabat langsung bangkit dari tempat duduknya, perasaan campur aduk antara cemas dan marah mulai membanjiri hatinya. “Penjaga villa Pak Sadar? Jadi ini semua terkait Pak Sadar?” tanyanya dengan nada penuh emosi.
Pak Hasibuan, yang dari tadi mendengarkan dengan tenang, tiba-tiba merasa seperti menemukan secercah harapan. “Pak Sidjabat, ini bisa menjadi petunjuk penting. Bagaimana kalau kita pergi ke sana, ke villa Pak Sadar di Puncak? Mungkin Sindu ada di sana.”
Pak Sidjabat mengangguk tegas, perasaan kesal mulai mendominasi pikirannya. “Terima kasih, Pak Mamay, Pak Hasibuan. Ini ide yang bagus. Saya juga merasa ini ada kaitannya dengan Pak Sadar. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Pak Mamay, yang sangat akrab dengan Sindu, juga merasa emosinya mulai membara. “Saya setuju, Pak Sidjabat. Kita harus segera bergerak. Saya sudah menganggap Sindu seperti anak sendiri. Kalau memang ada kemungkinan Sindu ada di sana, kita harus bergerak cepat.”
Pak Sidjabat lalu meraih ponselnya dan segera menghubungi pihak kepolisian. “Halo, Pak. Saya mendapatkan informasi tambahan mengenai keberadaan Sindu. Ada kemungkinan dia dibawa ke villa Pak Sadar di Puncak. Kami akan berangkat ke sana sekarang. Tolong tindak lanjuti informasi ini dan siapkan bantuan di lokasi.”
Setelah selesai menelepon, Pak Sidjabat melihat ke arah Pak Mamay dan Pak Hasibuan dengan tekad yang bulat. “Polisi sudah saya beri informasi. Mereka akan membantu kita di sana. Mari kita segera berangkat.”
******
Perjalanan menuju Puncak terasa panjang dan penuh kecemasan. Pak Sidjabat, Pak Mamay, dan Pak Hasibuan dan bu ratih berada dalam satu mobil, sementara di belakang mereka, sebuah mobil polisi mengikuti dari kejauhan. Malam semakin larut, namun ketegangan di dalam mobil terasa semakin pekat.
Pak Mamay mencoba mencairkan suasana dengan sedikit berbicara, “Kita semua tahu Pak Sadar sering bertingkah aneh belakangan ini, tapi saya tidak pernah menyangka dia akan sampai menculik Sindu.”
Pak Sidjabat mengangguk sambil fokus menyetir. “Saya juga tidak pernah menyangka, Pak Mamay. Sindu memang pernah bercerita kalau Pak Sadar mengganggunya, tapi saya tidak menduga akan separah ini. Kalau memang Sindu ada di sana, saya tidak akan tinggal diam.”
Pak Hasibuan yang duduk di kursi belakang, ikut menambahkan, “Kita harus tetap tenang, Pak. Jangan gegabah. Kita serahkan semuanya pada polisi ketika kita sampai di villa. Kita hanya perlu memastikan Sindu dalam keadaan baik-baik saja.”
Pak Sidjabat mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia sudah tidak sabar untuk segera menemukan Sindu. “Benar, kita harus berhati-hati.”
***********
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di kawasan villa di Puncak. Jalanan yang sepi dan suasana malam yang dingin menambah nuansa tegang di antara mereka. Villa milik Pak Sadar terlihat agak terpencil, dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan pagar besi yang kokoh.
Polisi yang sudah tiba lebih dulu di lokasi segera menghampiri mereka begitu mobil Pak Sidjabat berhenti. “Pak Sidjabat, kami sudah memeriksa area sekitar villa, tapi kami belum masuk ke dalam. Kami menunggu Anda dan tim untuk memastikan semuanya.”
Pak Sidjabat mengangguk, lalu menoleh ke arah Pak Mamay dan Pak Hasibuan. “Kita sudah sampai. Mari kita selesaikan ini.”
Mereka berempat, didampingi beberapa petugas polisi, mendekati villa dengan hati-hati. Lampu di dalam villa tampak redup, hanya beberapa jendela yang masih menyala, menandakan ada aktivitas di dalam.
Seorang polisi mengetuk pintu villa dengan keras. “Polisi! Tolong buka pintunya!”
Tidak ada respons dari dalam. Ketegangan semakin meningkat. Polisi pun memberikan aba-aba untuk membuka pintu secara paksa. Dengan beberapa kali hentakan keras, pintu villa terbuka.
Di dalam, suasana cukup sepi. Ruangan tampak rapi, tapi tidak ada tanda-tanda Sindu. Mereka terus menyusuri setiap sudut ruangan hingga akhirnya mendengar suara samar-samar dari lantai bawah.
“Papa… tolong! Papa…tolong! Papa …..tolong!” suara Sindu terdengar lemah dari arah bawah tanah, yang rupanya adalah ruang penyimpanan di bawah villa.
Pak Sidjabat berlari secepat mungkin menuju arah suara tersebut. Diikuti oleh polisi, mereka menemukan sebuah pintu besi yang terkunci. Dengan cepat, polisi memotong rantai kunci tersebut, dan pintu terbuka.
Di dalam, Sindu terlihat terikat di kursi, wajahnya pucat dengan luka lebam di beberapa bagian tubuhnya. “Sindu!” teriak Pak Sidjabat, matanya penuh dengan air mata.
Polisi segera melepaskan ikatan Sindu dan membawanya keluar. Pak Sidjabat memeluk Sindu erat-erat. “Sindu, papa di sini, sayang. Kamu aman sekarang.”
Sindu yang lemah hanya bisa tersenyum tipis. “Papa… akhirnya papa datang. Mereka… mereka bilang aku anak durhaka karena tidak mengakui Pak Sadar sebagai ayah kandung.”
Pak Sidjabat mengelus kepala Sindu. “Jangan dengarkan mereka, Sindu. Kamu anakku. Kamu anak papa selamanya.”
Pak Mamay dan Pak Hasibuan yang melihat kejadian itu merasa lega. Pak Mamay menepuk bahu Pak Sidjabat, “Syukurlah, Sindu selamat. Ini semua berkat kerja cepat kita.”
Sindu yang sudah mulai lebih tenang, menatap Pak Sidjabat dengan air mata. “Papa, aku takut… Mereka bilang aku tidak akan pernah bisa melihat ibu dan papa lagi, saya mau di bunuh”
Pak Sidjabat meremas tangan Sindu dengan penuh keyakinan. “Tidak, Sindu. Tidak ada yang bisa memisahkan kita. Kamu aman sekarang. Kita akan pulang bersama.”
******
Setelah polisi memastikan bahwa villa aman dan tidak ada lagi ancaman, mereka membawa Sindu ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Pak Sidjabat, Bu Ratih, Pak Mamay, dan Pak Hasibuan mendampingi Sindu selama di rumah sakit.
Di kamar rumah sakit, Sindu terbaring lemah dengan infus di tangannya, namun senyumnya sudah mulai kembali. “Terima kasih, Papa, pak mamay, pak hasibuan Terima kasih sudah datang menyelamatkanku.”
Pak Sidjabat duduk di samping ranjang Sindu, menggenggam tangan putra bungsu nya dengan penuh kasih. “Papa akan selalu ada untukmu, Sindu. Kamu tidak perlu takut lagi.”
Pak Mamay dan Pak Hasibuan yang berada di pintu kamar tersenyum lega, mereka merasa bahagia melihat Sindu akhirnya kembali ke pangkuan pak sidjabat.
Pak Mamay berkata kepada Pak Hasibuan, “Setelah ini, kita harus memastikan Sindu tidak di ganggu lagi. Pak Sadar harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dia lakukan.”
Pak Hasibuan mengangguk setuju. “Benar, Pak Mamay. Kita tidak akan membiarkan Sindu disakiti lagi. Ini sudah keterlaluan.”
Malam itu, meski lelah dan cemas, ada perasaan lega yang mendalam di hati semua orang. Sindu akhirnya selamat, dan Pak Sadar akan segera menghadapi hukum. Tidak ada lagi yang bisa mengganggu kebahagiaan Sindu bersama Pak Sidjabat dan Bu Ratih.