Losmen “Vellote” terletak di kaki bukit yang sepi, jauh dari keramaian kota. Losmen tua ini dikelola oleh Pak Wagiyo, pria paruh baya yang ramah, dan istrinya, Bu Imas. Walau losmen mereka sederhana, ada kehangatan yang selalu memancar dari tempat itu. Para tamu yang menginap biasanya adalah orang-orang yang ingin menyepi dari hiruk-pikuk kota, mencari ketenangan di alam pegunungan yang hijau.
Suatu malam, terjadi sesuatu yang tidak pernah diduga. Langit gelap, bintang-bintang bersinar samar, dan angin berhembus lembut. Di sebuah kamar di ujung losmen, Baskoro, salah satu tamu, terjaga. Ia tak bisa tidur, pikirannya dipenuhi banyak hal; pekerjaan yang menumpuk, keraguan tentang masa depannya, dan pertanyaan tentang cinta yang belum terjawab. Saat ia sedang melamun, tiba-tiba ada cahaya terang menyilaukan dari jendela kamarnya.
Dengan penasaran, Baskoro membuka jendela dan melihat sesuatu yang luar biasa. Seorang perempuan bergaun putih mengambang perlahan dari langit dan jatuh di halaman losmen. Perempuan itu tak bersayap, tapi cahaya lembut mengelilinginya, membuatnya terlihat seperti bidadari.
Baskoro segera berlari keluar kamar dan menuju halaman. Tubuhnya bergetar, antara ketakutan dan rasa penasaran. Saat ia sampai di sana, perempuan itu sudah duduk di bangku taman, tampak kebingungan.
“Maaf… Anda tidak apa-apa?” tanya Baskoro dengan hati-hati.
Perempuan itu mendongak. Wajahnya cantik luar biasa, tapi ada kesedihan di matanya. “Aku… aku tidak tahu di mana aku berada,” jawabnya pelan, suaranya sehalus angin malam.
Baskoro merasa jantungnya berdetak lebih kencang. “Kamu… dari mana?”
Perempuan itu tersenyum tipis. “Aku… dari tempat yang sangat jauh. Namaku Mulyani.”
“Mulyani, apa kamu… bidadari?” Baskoro bertanya, setengah bercanda tapi juga serius.
Mulyani tertawa kecil. “Mungkin, tapi aku sekarang tersesat. Dunia ini begitu asing bagiku.”
Baskoro merasa bahwa Mulyani memang bukan manusia biasa. Ada aura misterius yang menyelimutinya. Namun, ia juga merasakan bahwa Mulyani memerlukan bantuan. Tanpa ragu, Baskoro menawarkan untuk membawanya ke losmen.
“Ayo, masuklah. Kamu pasti butuh tempat untuk beristirahat,” ucap Baskoro.
Mulyani mengangguk dan mengikuti Baskoro masuk ke dalam losmen. Bu Imas yang baru bangun karena mendengar suara di halaman, kaget melihat seorang perempuan cantik bersama Baskoro.
“Ini siapa, Di?” tanya Bu Imas, sambil mengamati Mulyani dengan mata penuh keheranan.
“Ini… tamu baru, Bu,” jawab Baskoro cepat. “Mulyani namanya.”
Bu Imas mengerutkan kening, tapi tidak bertanya lebih jauh. Dia menyiapkan teh hangat untuk Mulyani dan menawarkannya untuk menginap di kamar kosong di losmen.
Malam itu, Baskoro tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi oleh Mulyani. Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia bisa jatuh di sini, di losmen yang sepi ini?
Keesokan paginya, Baskoro menunggu kesempatan untuk berbicara lagi dengan Mulyani. Namun, saat dia keluar dari kamarnya, dia melihat Mulyani duduk sendirian di beranda losmen, memandangi lembah di kejauhan.
Baskoro berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. Suara burung berkicau lembut di antara pepohonan, dan angin pagi menyapa wajah mereka.
“Mulyani… kenapa kamu berada di sini?” Baskoro bertanya dengan lembut.
Mulyani menatap lurus ke depan, seolah mencari sesuatu di cakrawala. “Aku… tersesat,” jawabnya singkat, lalu menoleh kepada Baskoro. “Tapi aku tidak tersesat secara fisik. Rasanya… aku kehilangan arah dalam hidupku.”
Baskoro terdiam. Ia tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu. “Kehilangan arah? Bagaimana bisa?” tanyanya dengan nada ingin tahu.
Mulyani menghela napas panjang. “Duniaku berbeda dari duniamu, Baskoro. Di sana, aku punya segalanya, tapi aku merasa hampa. Ada sesuatu yang hilang, tapi aku tidak tahu apa itu. Hingga aku jatuh ke sini.”
Baskoro terdiam, merenungi kata-kata Mulyani. Ia mengerti perasaan hampa itu, karena ia sendiri sering merasa tersesat dalam hidupnya.
“Apa kamu tahu apa yang kamu cari?” tanya Baskoro akhirnya.
Mulyani tersenyum tipis. “Mungkin itulah alasanku berada di sini, untuk menemukan jawabannya. Atau mungkin, aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”
Baskoro mengangguk. Ia merasakan ada hubungan yang aneh antara dirinya dan Mulyani, seolah mereka dipertemukan untuk alasan yang lebih besar. “Jika ada yang bisa aku bantu, katakan saja,” ucap Baskoro.
“Terima kasih, Baskoro. Kamu sudah sangat membantuku. Kadang, kita hanya butuh seseorang untuk mendengarkan, dan kamu melakukan itu.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati ketenangan alam pegunungan. Perlahan, Baskoro merasa bahwa Mulyani mungkin tidak hanya sekadar makhluk ajaib yang jatuh dari langit. Mungkin dia adalah cerminan dari dirinya sendiri, seseorang yang juga mencari arah dan makna dalam hidup.
Namun, ketika Baskoro berbalik untuk mengatakan sesuatu, Mulyani sudah tidak ada. Hanya secarik kertas kecil yang tertinggal di bangku tempat dia duduk.
Terima kasih telah menolongku. Aku harus kembali ke tempatku, tapi aku akan selalu mengingatmu. Jangan pernah berhenti mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam hidupmu. Kita mungkin akan bertemu lagi, di tempat dan waktu yang berbeda.”*
Baskoro menggenggam kertas itu dengan erat. Entah mengapa, hatinya merasa hangat. Meskipun Mulyani telah pergi, pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam dalam hidupnya.
Hari-hari berlalu, namun Baskoro tak pernah melupakan malam itu. Ia semakin sadar bahwa pertemuan dengan Mulyani bukanlah kebetulan. Ada pelajaran yang ia dapat dari kejadian tersebut, pelajaran tentang kebingungan hidup, pencarian makna, dan harapan.
Di losmen tua itu, Baskoro belajar tentang arti kebetulan dan keajaiban, serta harapan yang selalu bisa muncul di tempat yang tidak terduga.
Losmen “Vellote” pun tetap berdiri, menjadi saksi bagi para tamu yang datang dan pergi, membawa cerita-cerita aneh dan ajaib seperti pertemuan Baskoro dengan bidadari bernama Mulyani.