Di sebuah desa kecil yang tenang, di tengah hamparan sawah hijau dan langit biru, hiduplah sepasang suami istri yang sederhana namun penuh cinta. Pak Ahmad dan Bu Siti adalah petani sayuran yang juga seorang muslim yang taat. Mereka menanam sawi, bayam, kangkung, genjer, dan daun bawang di ladang subur mereka. Selain bertani, mereka juga beternak kambing dan sapi untuk menghidupi keluarga besar mereka. Keduanya memiliki lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan, yang tumbuh dengan penuh cinta di bawah naungan orang tua yang tak hanya bekerja keras, tapi juga penuh kasih sayang.
Setiap pagi, sebelum memulai aktivitas di ladang, Pak Ahmad dan Bu Siti selalu meluangkan waktu untuk sholat Subuh berjamaah. Setelah itu, mereka duduk di beranda rumah kecil mereka yang terbuat dari kayu, menikmati udara segar pagi sambil menyeruput teh hangat. Pak Ahmad memandang istrinya dengan lembut, seperti halnya ia selalu memandang Bu Siti sejak pertama kali menikah.
“Bu, teh buatanmu selalu paling enak,” kata Pak Ahmad sambil tersenyum.
Bu Siti tertawa kecil, pipinya sedikit merona. Meski sudah bertahun-tahun menikah, ada saat-saat di mana ia masih merasa tersipu dengan pujian sederhana suaminya. “Ah, Pak, ini hanya teh biasa. Yang membuatnya terasa enak mungkin karena diminum dengan cinta.”
Pak Ahmad tertawa kecil mendengar balasan itu. Ia kemudian menggenggam tangan Bu Siti, memberikan sentuhan yang penuh kehangatan. “Aku bersyukur punya kamu, Bu. Tak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku.”
Bu Siti hanya tersenyum, hatinya penuh dengan kebahagiaan yang sederhana namun tulus. Ia tahu bahwa di balik kesederhanaan hidup mereka, cinta yang mereka miliki tak pernah pudar.
Setelah menikmati pagi yang tenang, mereka bersiap menuju ladang, diikuti tawa riang anak-anak mereka. Setiap kali bekerja di ladang, Pak Ahmad dan Bu Siti tak pernah lupa mengajarkan anak-anak mereka untuk bersyukur dan bersabar. Di sela-sela istirahat, mereka sering berkumpul bersama di bawah pohon besar, menikmati bekal sederhana yang dibawa Bu Siti.
“Bu, Bapak, lihat nih, aku bisa memetik bayam dengan cepat!” teriak anak mereka yang paling kecil, Sinta, sambil menunjukkan segenggam bayam hijau yang baru dipetik.
Pak Ahmad tertawa bangga. “Wah, anak Bapak sudah jago bertani nih! Insya Allah, kalau besar nanti bisa bantu Bapak dan Ibu ya.”
Sementara itu, Fitri, anak tertua, duduk di samping Bu Siti. Sambil membantu memotong daun bawang, ia mengusap kening Bu Siti yang berkeringat dengan tisu. “Ibu capek, ya? Biar Fitri bantu lebih banyak hari ini.”
Bu Siti tersenyum dan mengusap lembut kepala Fitri. “Tak apa, Nak. Ibu sudah terbiasa. Yang penting kalian tetap rajin belajar. Ibu dan Bapak bekerja untuk masa depan kalian.”
Di malam hari, setelah seharian bekerja, Pak Ahmad dan Bu Siti sering menghabiskan waktu bersama anak-anak di ruang keluarga. Meskipun mereka tidak memiliki banyak hiburan, mereka menciptakan momen kebersamaan yang hangat dan romantis dalam kesederhanaan. Pak Ahmad sering kali duduk di teras sambil memetik gitar tua miliknya, mengalunkan lagu-lagu islami yang lembut. Bu Siti akan duduk di sampingnya, menyenandungkan lirik dengan suara pelan namun merdu.
Anak-anak mereka, duduk melingkar di bawah sinar bulan, mendengarkan dengan tenang. Momen-momen seperti ini selalu menjadi saat yang paling dinantikan. Suara gitar Pak Ahmad, dipadu dengan suara Bu Siti yang menenangkan, menciptakan suasana penuh cinta dan kebersamaan.
“Aku selalu suka saat-saat seperti ini, Pak,” kata Bu Siti sambil bersandar di bahu suaminya setelah lagu usai. “Meskipun hidup kita sederhana, rasanya semua lengkap karena ada kamu dan anak-anak.”
Pak Ahmad tersenyum, memeluk istrinya dengan lembut. “Sama, Bu. Tak ada yang lebih indah daripada bisa hidup bersama kamu, melihat anak-anak kita tumbuh sehat dan bahagia. Ini semua berkah dari Allah.”
Di sela kebersamaan itu, anak-anak mereka sering ikut bergurau. “Bapak romantis banget sama Ibu. Kami kapan nih dibikinin lagu juga?” canda Fitri, membuat adik-adiknya tertawa.
Pak Ahmad tertawa renyah. “Insya Allah, lagu untuk kalian akan Bapak buatkan satu-satu, tapi nanti kalau kalian sudah kuliah semua!”
Kehidupan Pak Ahmad dan Bu Siti memang jauh dari mewah. Namun, setiap detik yang mereka lewati selalu dipenuhi cinta dan kebahagiaan. Cinta mereka tidak hanya tercermin dalam pekerjaan keras yang mereka lakukan, tapi juga dalam bagaimana mereka merawat satu sama lain, mendidik anak-anak mereka, dan menjaga hubungan mereka dengan Allah.
Setelah bertahun-tahun bekerja keras, hasil dari kebun dan ternak yang mereka kelola dengan penuh cinta akhirnya mampu mengantarkan anak-anak mereka hingga ke bangku kuliah. Fitri, anak tertua, adalah yang pertama menyelesaikan kuliah S1, sebuah pencapaian yang sangat membanggakan bagi keluarga itu.
Ketika Fitri akhirnya diwisuda, seluruh keluarga berkumpul, dan Pak Ahmad serta Bu Siti tak bisa menahan tangis haru. “Alhamdulillah, Ya Allah, terima kasih atas segala karunia-Mu,” bisik Bu Siti sambil menggenggam tangan suaminya dengan erat.
Pak Ahmad mengangguk, suaranya lirih penuh syukur. “Ini semua berkat cinta kita, Bu, dan doa yang tak pernah kita lepas. Allah telah mengabulkan semuanya.”
Di tengah kebahagiaan itu, mereka menyadari bahwa bukan kemewahan atau harta benda yang membuat hidup mereka bahagia. Melainkan cinta, pengertian, doa, dan kebersamaan yang menjadi kekuatan utama mereka. Bagi Pak Ahmad dan Bu Siti, rumah kecil mereka dipenuhi kehangatan yang tak ternilai, sebuah kehidupan yang penuh berkah karena selalu mengingat Allah dan saling mencintai tanpa syarat.
Kehidupan mereka mungkin sederhana, tapi cinta yang mereka miliki tak ternilai, seperti halnya keberkahan yang selalu mereka syukuri.