Seorang wanita duduk di teras rumahnya, menatap langit senja yang mulai memudar. Dia adalah Saonah, seorang janda yang hidup dengan empat anaknya. Kehidupan Saonah tak pernah mudah sejak suaminya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Namun, dengan semangat yang kuat, dia berhasil membesarkan anak-anaknya hingga mereka semua lulus kuliah.
Anak-anaknya, Mahardhika, Gaby, Windi, dan Tasya, kini sudah dewasa dan bekerja di kota-kota yang berbeda. Meski mereka sibuk, mereka selalu menyempatkan waktu untuk pulang dan mengunjungi ibu mereka di kampung. Namun, kehidupan Saonah berubah lagi ketika dia bertemu dengan Amrin Gobel, seorang lelaki Jakarta yang sedang dinas di kampung tersebut.
Amrin Gobel adalah sosok yang hangat dan penuh perhatian. Kehadirannya membawa warna baru dalam hidup Saonah. Setelah beberapa bulan menjalin hubungan, mereka memutuskan untuk menikah. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Alif. Kebahagiaan Saonah seolah lengkap dengan kehadiran Amrin Gobel dan Alif.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Ketika Alif berusia dua tahun, hubungan Saonah dan Amrin Gobel mulai retak. Perbedaan latar belakang dan pandangan hidup menjadi penyebab utama. Akhirnya, mereka memutuskan untuk bercerai. Amrin Gobel kembali ke Jakarta, meninggalkan Saonah dan Alif di kampung.
Tahun demi tahun berlalu, Alif tumbuh menjadi anak yang cerdas dan penasaran. Sejak kecil, dia sering mendengar cerita tentang ayahnya dari ibu dan saudara-saudaranya. Namun, Alif merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Saat dia memasuki usia 6 tahun, rasa penasaran itu semakin kuat.
“Bu, kenapa Ayah tidak pernah datang menemuiku?” tanya Alif suatu hari.
Saonah terdiam sejenak. Dia tahu pertanyaan itu akan datang suatu saat, tapi dia belum siap untuk menjawabnya. “Ayahmu tinggal jauh di Jakarta, Nak. Dia sangat sibuk,” jawab Saonah dengan lembut.
Namun, jawaban itu tidak memuaskan Alif. Dia mulai mencari sosok ayah idamannya di sekitar kampung. Dia sering mengamati para pria yang dia temui dan bertanya-tanya apakah mereka bisa menjadi ayahnya.
Pertama, dia mencari sosok ayah dalam diri gurunya, Pak Anwar. Pak Anwar adalah guru yang baik dan perhatian. Alif sering bertanya tentang berbagai hal padanya, dan Pak Anwar selalu menjawab dengan sabar. Suatu hari, Alif memberanikan diri bertanya, “Pak Anwar, apakah Bapak bisa menjadi ayahku?”
Pak Anwar terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Alif, aku adalah gurumu. Tapi aku akan selalu ada untukmu jika kamu butuh bantuan atau nasehat.”
Meskipun Pak Anwar baik, Alif merasa itu belum cukup. Dia kemudian mencari sosok ayah pada tetangganya, Pak Joko. Pak Joko adalah seorang petani yang rajin dan suka membantu orang lain. Alif sering bermain di kebun Pak Joko dan merasa nyaman di sana. Suatu hari, dia bertanya, “Pak Joko, apakah Bapak bisa menjadi ayahku?”
Pak Joko tersenyum lembut dan menjawab, “Alif, aku sangat senang kamu merasa nyaman denganku. Kamu bisa datang kapan saja kamu mau. Tapi, aku bukan ayahmu yang sebenarnya.”
Jawaban itu membuat Alif merasa kecewa, tapi dia tidak menyerah. Dia kemudian mendekati paman-paman dan kenalan-kenalan lain di kampung, mencari sosok ayah yang dia impikan. Namun, tidak ada yang bisa menggantikan posisi ayahnya yang sebenarnya.
Saonah melihat kegelisahan anaknya dan merasa sedih. Dia tahu Alif butuh sosok ayah dalam hidupnya, tapi dia juga tahu bahwa tidak mudah menemukan pengganti Amrin Gobel. Suatu malam, saat Alif sedang tidur, Saonah duduk di samping tempat tidurnya dan mengusap lembut rambut anaknya. Dia berdoa agar suatu hari Alif bisa mengerti dan menerima keadaan ini.
Waktu terus berlalu. Alif tumbuh menjadi remaja yang mandiri dan cerdas. Dia tidak lagi mencari sosok ayah di sekitar kampung, tapi dia selalu merindukan kehadiran ayahnya. Saonah akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur pada Alif tentang Amrin Gobel.
“Alif, Nak, ada yang ingin Ibu ceritakan padamu,” kata Saonah suatu sore. Mereka duduk di teras rumah, seperti biasanya. “Ayahmu, Amrin Gobel, tinggal di Apartemen Kalibata, Jakarta Selatan. Setelah kami bercerai, dia kembali ke Jakarta karena pekerjaan dan kehidupannya di sana. Bukan karena dia tidak sayang padamu, tapi karena ada banyak hal yang tidak bisa kami selesaikan bersama.”
Alif mendengarkan dengan seksama. Dia merasa campur aduk antara marah, sedih, dan lega. “Apakah Ayah pernah ingin menemuiku?” tanyanya pelan.
“Dia selalu ingin menemuimu, Nak. Tapi mungkin dia merasa sulit untuk kembali ke sini karena banyak kenangan yang harus dihadapi,” jawab Saonah dengan lembut.
Setelah percakapan itu, Alif merasa lebih tenang. Dia mulai memahami situasi yang dihadapi oleh ibunya dan ayahnya. Meskipun dia masih merindukan kehadiran ayahnya, dia tidak lagi merasa harus mencari sosok ayah di orang lain. Dia belajar menerima kenyataan dan menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.
Alif tumbuh menjadi pria dewasa kini berusia 20 tahun, Dia selalu mengenang cerita-cerita tentang ayahnya dengan penuh rasa hormat dan cinta. Meskipun Amrin Gobel tidak hadir secara fisik, kehadirannya selalu terasa dalam hati Alif.
Saonah, meskipun hidup tanpa pasangan, merasa bangga dengan anak-anaknya. Dia tahu bahwa cinta dan pengorbanannya tidak pernah sia-sia. Setiap kali dia melihat senyum di wajah Alif, dia merasa bahwa segala kesulitan yang dia hadapi telah terbayar.
Dalam bayang-bayang ayah yang jauh, Alif menemukan cahaya dalam hidupnya. Cahaya itu adalah cinta dan kekuatan yang ditanamkan oleh ibunya, yang akan selalu menjadi sosok yang tak tergantikan dalam hidupnya.
******
Malam itu, angin bertiup lembut di desa, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Alif duduk di teras rumah, merenungi hidupnya yang penuh tanda tanya. Di usianya yang kini beranjak dewasa, rasa penasaran tentang ayah kandungnya semakin tak tertahankan.
“Ayah ada di Jakarta, Nak,” kata ibunya, Saonah, beberapa waktu lalu. “Dia tidak pernah melupakanmu, tapi banyak hal yang membuatnya sulit kembali.”
Alif memutuskan bahwa sudah waktunya mencari jawabannya sendiri. Dengan restu ibunya dan bekal seadanya, dia berangkat ke kota di pagi yang cerah.
****
Keramaian Jakarta menyambutnya dengan kebisingan dan hiruk pikuk yang jauh berbeda dari suasana desa. Alif merasa asing di tengah keramaian, namun semangatnya untuk menemukan ayah membuatnya terus melangkah. Dia hanya memiliki alamat terakhir yang dia dapatkan dari ibunya sebagai petunjuk.
Setelah beberapa jam mencari, dia akhirnya tiba di sebuah apartemen di Kalibata Jakarta Selatan. Dengan penuh harap, Alif mengetuk pintu. Seorang wanita lansia membuka pintu, memandangnya dengan bingung.
“Maaf, apakah ini rumah Pak Amrin Gobel?” tanya Alif dengan hati-hati.
Wanita itu mengangguk. “Ya, benar. Anda siapa?”
“Saya Alif, anaknya. Saya datang dari desa untuk mencari ayah saya,” jawab Alif dengan suara bergetar.
Wanita itu terkejut. “Oh, masuklah. Aku Yuniar, tetangga Pak Amrin Gobel. Belakangan ini dia sering sakit dan tidak banyak keluar rumah.”
Alif mengikuti Yuni masuk ke apartemen dan menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya keluar dari kamar dengan bantuan tongkat. Wajahnya tampak lelah, namun matanya langsung berbinar ketika melihat Alif.
“Alif? Benarkah ini kamu?” suara Amrin Gobel terdengar serak dan penuh emosi.
“Iya, Ayah. Ini aku,” jawab Alif sambil menahan air mata.
Amrin Gobel memeluk Alif erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. “Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah yang telah meninggalkanmu.”
“Aku tidak marah, Ayah. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat,” jawab Alif tulus.
Mereka menghabiskan waktu berbicara panjang lebar tentang masa lalu, alasan perpisahan, dan rasa rindu yang terpendam selama bertahun-tahun. Amrin Gobel menceritakan betapa sulitnya hidup di Jakarta setelah bercerai, dan bagaimana rasa bersalah selalu menghantuinya.
“Ayah selalu ingin kembali, tapi Ayah takut tidak bisa memberi yang terbaik untukmu,” kata Amrin Gobel dengan nada penuh penyesalan.
“Ayah, yang penting adalah kehadiran Ayah. Aku tidak butuh apa-apa lagi selain itu,” kata Alif sambil menggenggam tangan ayahnya.
Selama beberapa hari berikutnya, Alif tinggal bersama Amrin Gobel. Dia membantu ayahnya yang sakit, mendengarkan cerita-cerita masa lalunya, dan menikmati setiap momen kebersamaan. Saonah, yang menerima kabar dari Alif, merasa lega dan bahagia mengetahui anaknya telah menemukan ayahnya.
Pada hari kepulangannya, Alif dan Amrin Gobel berjanji untuk tetap menjaga komunikasi. Alif berjanji akan sering berkunjung ke Jakarta, dan Amrin Gobel berjanji akan berusaha lebih keras untuk pulih dan suatu hari nanti mengunjungi desa.
Di perjalanan pulang, hati Alif terasa lebih ringan. Dia telah menemukan bagian hidupnya yang hilang, dan meskipun perjalanan ini penuh tantangan, dia tahu bahwa cinta dan ikatan keluarga adalah hal yang paling penting.
Ketika tiba di rumah, Alif disambut hangat oleh ibunya. Dengan mata berbinar, dia menceritakan semua yang telah terjadi. Saonah mendengarkan dengan bangga dan lega.
“Kamu telah menemukan ayahmu, dan aku bangga padamu, Alif,” kata Saonah sambil memeluknya erat.
Malam itu, di bawah langit desa yang cerah, Alif menatap bintang-bintang dengan perasaan damai. Dia tahu, meskipun perjalanan hidupnya masih panjang, dia telah menemukan pijakan yang kuat untuk melangkah ke masa depan. Dan di balik semua itu, dia selalu memiliki cinta dan dukungan dari kedua orang tuanya, meski tidak selalu bersama