Nama ku Sidjabat , Lengkapnya Sahat Sidjabat usiaku 66 tahun pensiunan dari kantor pemerintah, Ketika aku pertama kali bertemu Frans di lapangan tenis, dia tampak seperti anak yang penuh semangat walau usia nya baru 19 tahun, meski aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan. Hubungan kami terjalin begitu saja mungkin karena aku melihat diriku di dalamnya. Anak muda yang gigih, sopan, tapi seperti tertekan oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Aku tidak tahu saat itu bahwa Frans menyimpan beban berat dalam hidupnya, beban yang akhirnya melibatkan banyak hal yang tak pernah kuperkirakan.
Hubungan kami semakin dekat dari hari ke hari. Tenis adalah cara kami berkomunikasi. Di atas lapangan, kami bicara tanpa kata, hanya lewat pukulan dan gerakan. Saat aku menikah dengan ibunya, Bu Ratih, aku tidak hanya mendapatkan istri, tapi juga Frans, seorang anak yang sudah seperti darah dagingku sendiri. Awalnya, aku berpikir hidup kami akan sederhana, penuh tawa dan kedekatan. Aku ingin menjadi sosok ayah yang bisa diandalkan untuk Frans, lebih dari sekadar figur pengganti. Tapi, ternyata perjalanan ini jauh lebih rumit.
Sejak awal, aku tahu ada ketidakjelasan tentang ayah kandung Frans. Bu Ratih tak pernah berbicara banyak tentang masa lalu, kecuali bahwa ayah Frans bernama Pungky, dan dia meninggalkan bu ratih dan Frans. Aku menerima cerita itu tanpa banyak bertanya, karena apa yang ada di masa lalu seharusnya tetap di sana. Yang penting bagiku adalah bagaimana aku bisa membangun kehidupan yang baik bersama istri dan Frans. Tapi ternyata, masa lalu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Keadaan mulai berubah ketika Frans semakin sering menyendiri, melamun dan tampak terganggu. Aku menduga ada sesuatu yang tidak beres, tapi Frans bukan tipe anak yang mudah membuka diri. Dia lebih suka menyimpan masalahnya sendiri. Suatu hari, Frans bercerita tentang seorang pria bernama pak Sadar, pelatih tenisnya, yang tiba-tiba mengaku sebagai ayah kandungnya. Aku terkejut, tidak menyangka bahwa kebenaran tentang ayah Frans akan muncul dengan cara seperti ini. Awalnya, Frans tidak percaya, dan aku pun mencoba mendukungnya sebisa mungkin.
Namun, Pak Sadar tidak menyerah. Dia terus menekan Frans agar mengakui bahwa dia adalah ayah kandungnya. Bahkan, perasaan cemburu muncul karena Frans lebih dekat denganku. Sebagai seorang ayah, hal itu membuatku merasa bangga sekaligus cemas. Aku ingin melindungi Frans dari segala macam gangguan, tapi ternyata usahaku tidak cukup.
Suatu hari Frans diculik. Itu adalah momen terburuk dalam hidupku. Aku merasa gagal melindunginya, dan perasaan itu terus menghantui. Penculiknya adalah anak buah Pak Sadar, yang mencoba memaksakan hubungan ayah-anak melalui kekerasan. Frans disekap di sebuah villa dan mengalami penyiksaan. Beruntung, polisi berhasil menyelamatkannya, tapi trauma yang dialaminya tidak mudah hilang.
Setelah kejadian itu, Frans menjadi semakin tertutup. Dia jatuh sakit, tubuhnya lemah, dan pikirannya terus melayang pada semua hal yang terjadi antara perasaan bingung tentang identitas ayah kandungnya dan kedekatannya denganku. Di sisi lain, Bu Ratih merasa bersalah karena tidak pernah memberi tahu Frans bahwa Pak Pungky dan Pak Sadar adalah orang yang sama. Istri tercinta yang selalu tampak kuat di hadapanku, ternyata juga menyimpan luka dari masa lalunya.
Melihat Frans terbaring di rumah sakit, hatiku hancur. Dia lebih banyak diam, sering melamun, dan jarang berbicara. Aku tahu pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab. Ketika dia memanggilku dengan suara lemah, “Papa, jangan pergi ya frans ingin terus bersama papa, dekat Frans,” aku merasakan getaran di hatiku. Itu adalah momen ketika aku benar-benar merasa seperti seorang ayah, ayah yang dipanggil oleh anaknya ketika dia paling membutuhkan. Aku berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan selalu ada untuk Frans, apa pun yang terjadi.
Persidangan kasus Pak Sadar tiba, dan Frans harus memberikan kesaksian. Aku mendampinginya sepanjang proses itu, menyaksikan anakku berdiri di depan hakim dan dengan tegar menceritakan semua yang telah terjadi. Ketika Frans berkata bahwa dia telah memaafkan Pak Sadar, tetapi meminta agar hukum tetap berjalan, aku merasa bangga. Anakku ini, meski didera begitu banyak rasa sakit, mampu menunjukkan kedewasaan yang luar biasa. Aku tidak bisa meminta lebih dari itu.
Namun, yang paling menyentuh hatiku adalah ketika Frans mengatakan bahwa meskipun Pak Sadar adalah ayah biologisnya, dia tetap menganggap aku sebagai ayahnya yang sejati, ayah selamanya. Sebuah pernyataan yang menguatkan hubungan kami lebih dari apa pun. Di dalam hatiku, aku tahu bahwa aku telah memenuhi peran sebagai ayah yang selama ini aku cita-citakan.
Bu Ratih sering menangis di sudut ruangan, merasa bersalah karena menyembunyikan masa lalu itu dari Frans. Mbok Suti juga menangis melihat kondisi Frans yang tak berdaya. Semua orang di sekitar kami merasa berat dengan beban ini. Namun, Frans, meski terlihat rapuh, menunjukkan kekuatan yang luar biasa.
Hari-hari setelah persidangan berlalu dengan lambat. Aku terus berada di sisi Frans, berusaha menghiburnya dan memastikan dia merasa aman. Meski hubungan kami sudah sangat dekat, aku tahu bahwa perjalanan penyembuhannya masih panjang. Namun, satu hal yang pasti: aku akan selalu ada di sampingnya, sebagai ayah yang mencintainya tanpa syarat, tak peduli darah siapa yang mengalir di nadinya.
Di antara segala kekacauan ini, aku belajar bahwa cinta seorang ayah bukan hanya soal hubungan darah, tapi tentang kehadiran, kasih sayang, dan kepercayaan yang diberikan tanpa pamrih. Frans adalah anakku, dan aku akan selalu berusaha menjadi ayah terbaik yang bisa ia miliki, apa pun yang terjadi di masa lalu atau masa depan.
Saya jadi tahu bahwa hubungan ibu dan ayah sangat sayang kepada anaknya
Ya betul..
kasih sayang ayah yang begitu dalam kepada anaknya
Ya bener sekali