“Memang susah ngomong sama orang yang nggak berilmu!” suara Prilly terdengar meninggi di sudut ruang produksi. Lengannya berkacak pinggang dan ujung telunjuknya menuding wajah Bu Hanifah. Sementara di luar langit nampak kelabu dan matahari seperti enggan menunjukkan cahayanya. Angin sepoi basah berembus mengiringi hujan gerimis yang rintiknya laksana nyanyian gembala kehilangan ternak. Udara terasa dingin dan lembab semakin membuat suasana ruang produksi itu menjadi beku. Bu Hanifah duduk diam, mencoba tetap menguasai diri, menekan luapan gelombang emosi. Hatinya bergemuruh terbakar amarah mendengar suara tinggi yang diucapkan bawahannya itu. Dalam pikirannya berkecamuk antara hasrat ingin menyudahi pembicaraan karena muak mendengar ucapan bawahannya dan keinginan memuaskan hati dengan menunjukkan bukti dan kerangka pikir logis. Bu Hanifah berdiri mondar-mandir, kakinya terasa gemetar, jantungnya berdegup lebih keras, dan napasnya terasa berat. Gejolak emosi membuat rongga dadanya terasa kering tercekat. Matanya memerah dan sejurus kemudian, dia melihat Prilly dengan angkuh berdiri tegak menatapnya sinis, lalu berpaling menuju pintu.
“Cuihh!” mulut Prilly mencibir membuang ludah ke lantai . Dengan kasar pintu dibuka lalu ditutupkan kembali dengan suara hentakan yang cukup keras, “Darrr!” Prilly melangkah lebar-lebar meninggalkan ruang produksi.
Bu Hanifah merasakan hawa panas di dadanya makin meluap . Matanya makin merah, tenggorokan kian kering tercekat. Perlahan air matanya tumpah. Suara isak terdengar, makin lama makin keras. Jemari tangan Bu Hanifah mengepal menahan amarah yang begitu membakar jiwa. Pandangan matanya terasa gelap. Hatinya kelu, menahan rasa sakit yang begitu dalam. Pikirannya melayang ke masa silam saat hubungannya dengan Prilly masih bertabur bunga. Lalu hubungan itu perlahan pudar, retak terantuk batu keangkuhan Prilly.
Sejurus waktu berlalu, cahaya mentari senja mulai nampak menyelinap dari celah jendela ruang manager. Gerimis telah reda. Gejolak jiwa Bu Hanifah nampak mulai luruh. Napasnya kembali normal. Perlahan Bu Hanifah melangkah menuju toilet di ruang kerja pribadinya. Dengan “Bismillah hirrohman nirrohiim…,” diambilnya air wudhu. Lalu dia menggelar sajadah ke arah kiblat. Bu Hanifah duduk bersimpuh khusyuk, kemudian dibukanya mushaf Al Quran yang memang selalu ada di atas meja, di samping sofa ruang kantornya yang sederhana. Tak lama kemudian ruangan itu sudah hikmat dipenuhi lantunan surat Ar-Rahman. Suara Bu Hanifah yang halus lembut memberikan nuansa syahdu bagi siapapun yang mendengar suara itu dari luar ruangan.
“Bagus ya, suara Bu Hani baca Quran.” komentar Susi, seorang karyawan yang masih lembur di ruang produksi kepada temannya. Desi yang diajak bicara mengangguk tanda mengiyakan.
“Iya ce, Bu Hani mah bukan cuma suaranya yang bagus, beliau juga cantik, ramah dan baik hati. Kabarnya dulu pernah jadi qori’ah. Pantas ya, kalau dia jadi manager di sini.” Kata Desi menimpali ucapan Susi.
Saat mereka tengah asyik berbincang sembari menyusun barang yang sudah lolos quality control ke dalam box penyimpanan, tiba-tiba Bu Hanifah menghampiri. “Desi, Susi kemarilah!” terdengar suara Bu Hani gugup dan nampak terburu-buru.
“Iya, Bu.” jawab mereka hampir serentak. “Apa yang bisa kami bantu, Bu?” tanya Desi tampak tak sabar menunggu instruksi.
“Lanjutkan lembur kalian dan awasi bagian lain sampai shiff malam tiba, ya! Ibu akan ke Primaya Hospital sekarang.” Perintah Bu Hani tegas, namun tetap lembut dan santun. Di wajahnya membayang kecemasan.
“Ma.. maaf, Ibu. Apakah Ibu baik-baik saja? Apakah kami boleh tahu yang terjadi, Bu?” pertanyaan Desi dan Susi saling bertubrukan diarahkan ke Bu Hani. Wajah mereka ikut cemas melihat boss kesayangannya sedang tidak baik-baik saja.
“Prilly kecelakaan, baru saja.” tutur Bu Hani cepat, lalu mengatupkan kedua telapak tangannya, memberi tanda pamit untuk segera pergi. Refleks, Susi dan Desi membalas dengan melakukan hal yang sama. Dalam sekejap bayangan tubuh Bu Hani yang anggun telah lenyap dari pandangan. Suara Mercedes Bens seri terbaru milik Ibu manager yang bijaksana itu terdengar menderu di bawah langit malam yang mulai pekat. Susi dan Desi sesekali berkeliling ke area lain untuk memantau karyawan wanita yang masih bekerja sambil mencoba menahan kantuk.
Jarum jam dinding di ruang tunggu kamar bedah orthopedy menunjukkan pukul 22.30 WIB. Nampak seraut wajah cantik yang pucat masih terlelap di bawah pengaruh obat bius. Napasnya sebentar-sebentar tersengal seperti ada yang menyumbat di kerongkongannya. Rambut kepalanya tertutup topi baret hijau khas ruang bedah. Sekujur tubuhnya masih tertutup selimut warna putih. Kedua tangannya terkatup di atas perut, kadang ter;ihat jemarinya bergerak pelan. Tapi yang aneh, di bagian kakinya tidak sama panjang. Kaki kanannya yang tertutup selimut nampak jauh lebih pendek. Bu Hanifah tertegun. Pikirannya mencoba menebak apa yang terjadi.
Tigapuluh menit berlalu, Bu Hanifah mengikuti petugas pengantar pasien dan asisten dokter bedah orthopedy ke unit radiologi. Akhirnya Bu Hani mengiring sampai ke ruang perawatan kelas satu RS Primaya Hospital. Petugas berpesan untuk menjaga pasien hingga siuman dan melaporkan ke perawat jika perlu bantuan apapun. Bu Hani mengangguk mengiyakan. Lalu setelah perawat keluar ruang, Bu Hani duduk di kursi di samping bangsal pasien, yang tak lain adalah Prilly.
Prilly adalah seorang gadis perantau dari Manado yang mengadu nasib sebatang kara di Ibukota sejak sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya dia gadis yang cerdas dan penuh dedikasi, namun sayang seiring jenjang karirnya yang melejit, karakter dasarnya yang keras dan angkuh membuat dirinya dijauhi teman-teman kerjanya. Dalam bekerja dia lumayan gesit dan full performa, tetapi sikapnya justru sering membuat kesal. Prilly menganggap remeh teman-temannya karena menurutnya hanya dirinyalah yang the best dan layak mendapat penghargaan. Sikap arogan inilah yang kerap menguasai pikirannya, seperti yang terjadi sore tadi di ruang produksi bersama Bu Hanifah, atasannya. Prilly saat itu begitu emosional pada Bu Hani dan dengan kasar berani menunjuk wajah serta mengumpati Bu Hani. Lalu dia pergi meninggalkan managernya itu dengan sangat kesal. Amarahnya tak bisa lekas reda. Di atas Honda Citty putih kesayangannya, Pretty menekan gas begitu kuat. Pikirannya kalut dan masih sangat marah. Jalanan licin akibat gerimis seharian akhirnya membuat petaka bagi Prilly di senja naas itu. Mobilnya oleng, matanya nanar, dan kakinya tak mampu lagi mengendalikan rem. Mobil naas itu menabrak pohon besar di satu tikungan jalan. Mobil itu terbalik. Tubuh mungil Prilly tergencet body mobil hingga kaki kanannya harus diamputasi.
“Tolong……! Tolong……! Tolong akuuuuuu” teriakan Prilly memecah keheningan ruang perawatan kelas satu Rumah Sakit Primaya Hospital. Bu Hani terhenyak dari tidur ayamnya. Badannya yang lelah karena belum sempat beristirahat sedikitpun dalam 22 jam terakhir, mencoba bangkit. Bu Hani berdiri menghampiri Prilly. Dia langsung memegang kuat lengan Prilly yang memberontak. Bu Hani khawatir tangan yang dipasang jarum infus itu berdarah. Prilly meronta sambil mencoba menarik selang infus dengan tangan kanannya.
“Siapa kamu! Siapa kamu hah! Pergi kamu….! Tolong..! Tolong….! Toloooooong! Tolong akuuuu!” teriakan Prilly terus terdengar malam itu hingga beberapa hari kemudian. Prilly tak mengenali siapapun temannya yang membezuk. Ingatannya benar-benar hilang. Dokter yang merawat mengatakan bahwa Prilly bukan hanya kehilangan kaki kanannya, tetapi juga kehilangan ingatannya. Memori otaknya mengalami gangguan amnesia akibat benturan hebat saat kecelakaan terjadi. Dia kini tak mampu lagi mengenali Bu Hanifah. Dia juga tak punya harapan lagi untuk bekerja di industry karena kakinya tinggal sebelah. Namun Bu Hani tidak pernah berpikir buruk untuk membalas dendam. Hatinya telah tulus memaafkan Prilly. Dengan bantuan Kepolisian Ressort Tangsel, Bu Hanifah bisa menemukan alamat dan menghubungi keluarga Prilly di Manado. Akhirnya Prilly dibawa pulang kembali ke kampung halamannya. Sebagai sahabat lama dan juga atasannya, Bu Hani memberikan pesangon untuk biaya pengobatan dan perawatan Prilly di Manado. Jika sembuh nantinya, Bu Hani berharap Prilly bisa berubah perangainya dan bisa meniti karir kembali di tempat yang berbeda.
“Selamat jalan, Prilly. Semoga Tuhan memberikan hidayah dan kesembuhan.” bisik Bu Hani sambil melambaikan tangan ke arah taxi yang membawa Prilly dan keluarganya menuju Bandara Sukarno Hatta.
Keren Bu cerpenya, saya sangat menyukai cerpenya
Keren
Terima kasih supportnya Robi dan KR2 . Mohon masukannya ya, Nak. Tq . Tq.. 🙏🏻🤗