Bram selalu yakin bahwa matematika adalah jalan menuju solusi apa pun. Setiap permasalahan, baginya, bisa dipecahkan dengan logika dan rumus. Namun, sejak perasaannya pada Naya muncul, segala sesuatunya terasa lebih rumit dari soal integral yang paling susah. Ia berusaha keras, seperti berhadapan dengan persamaan yang tak kunjung menemukan hasil akhirnya.
Di kelas, Bram selalu duduk di barisan depan, serius mencatat setiap penjelasan dosennya. Matematika adalah dunianya, ruang di mana segala sesuatunya terstruktur dan pasti. Namun, belakangan ini, ketika ia menoleh ke belakang dan melihat Naya duduk dengan buku sastra tebal di pangkuannya, logikanya mendadak terhenti.
Suatu sore, Bram berusaha menyusun teori yang menjelaskan perasaannya. Di kamarnya yang sunyi, ia menatap papan tulis kecil di dinding yang penuh dengan rumus-rumus. Dengan kapur di tangannya, ia menuliskan:
C = f(N)
“C” adalah cinta, dan “N” adalah Naya, gadis yang sejak beberapa bulan terakhir selalu hadir dalam pikirannya. Tapi cinta bukan hanya soal objek, pikirnya. Cinta melibatkan usaha dan interaksi. Bram menambahkan variabel lain:
C = f(N, T)
Dimana “T” adalah tindakan yang harus ia lakukan. Bram sadar, cinta tidak akan berkembang jika hanya menjadi fungsi satu arah. Perasaan harus disertai dengan usaha untuk mendekati orang yang dituju. Tapi bagaimana caranya? Apakah ada formula pasti untuk membuat seseorang tertarik?
*******
Keesokan harinya, Bram menemukan Naya sedang duduk sendirian di taman kampus. Buku yang biasa dibacanya kali ini terganti dengan secangkir kopi yang tampak mengepul hangat. Ini mungkin kesempatan yang ia butuhkan untuk menguji teorinya.
Dengan gugup, Bram mendekat. “Hai, Naya,” sapanya sambil tersenyum kaku. “Kamu sering ke sini ya?”
Naya menoleh dan tersenyum tipis. “Iya, tempat ini tenang. Cocok buat baca buku atau sekadar menikmati suasana.”
Bram merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, seakan kurva detak jantungnya melonjak tajam. Ia mencoba mengingat semua teori matematis yang telah ia susun malam sebelumnya, tapi semuanya terasa buyar begitu saja di hadapan Naya.
“Aku… lagi berpikir tentang satu hal,” kata Bram dengan suara gemetar. “Kamu pernah dengar tentang konsep limit di matematika?”
Naya tertawa kecil. “Sedikit. Itu tentang sesuatu yang mendekati, tapi tidak pernah benar-benar tercapai, kan?”
Bram tersenyum, senang Naya bisa memahami. “Iya, benar. Kadang, aku merasa cinta itu seperti limit. Kita bisa berusaha mendekati seseorang, memberikan waktu dan perhatian, tapi… tidak selalu bisa mencapai hasil yang kita harapkan.”
Naya menatapnya dengan tatapan lembut. “Kamu menghubungkan cinta dengan matematika? Itu unik.”
Bram mengangguk, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Aku selalu berpikir begitu. Tapi makin lama aku mencoba menghitung, makin aku sadar bahwa cinta itu mungkin variabel yang tak terdefinisikan. Tidak selalu bisa diukur atau dihitung.”
Naya tersenyum. “Aku pikir kamu benar. Cinta itu tidak selalu logis, dan mungkin justru itulah yang membuatnya menarik.”
Bram menatap Naya sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi bukankah dalam matematika, terkadang ada persamaan yang tidak bisa diselesaikan sampai kita menemukan nilai tertentu? Cinta juga mungkin begitu. Butuh waktu, butuh usaha untuk memahami variabel yang tepat.”
Naya terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Bram. “Mungkin kamu benar. Tapi aku lebih suka melihat cinta sebagai perjalanan, bukan sesuatu yang harus diselesaikan dengan cepat.”
Bram tersenyum, merasa sedikit lega. Ia merasa bahwa, meskipun cinta mungkin tidak bisa sepenuhnya dipahami dengan rumus, ada sesuatu yang bisa ia petik dari percakapan ini. Naya tidak memandang cinta sebagai sesuatu yang harus dipaksa atau dijelaskan dengan logika semata. Itu soal perasaan, soal waktu, dan soal kesempatan.
******
Waktu berjalan, dan hari-hari berikutnya Bram dan Naya semakin sering menghabiskan waktu bersama. Percakapan mereka tak lagi tentang matematika atau sastra semata, tetapi tentang hal-hal sederhana dalam hidup—tentang tawa, kebahagiaan, dan mimpi yang mereka bagi.
Bram akhirnya menyadari bahwa mungkin cinta bukan tentang menemukan solusi cepat atau menyeimbangkan persamaan yang rumit. Cinta adalah soal menikmati prosesnya, seperti limit yang terus mendekat tanpa pernah benar-benar tercapai. Tapi justru dalam perjalanan itulah cinta menjadi sesuatu yang indah dan penuh arti.
Dan di suatu senja yang tenang, di bawah langit yang perlahan berubah jingga, Bram menatap Naya dan tersenyum, merasa bahwa ia akhirnya menemukan variabel yang tepat untuk menyelesaikan persamaan cintanya.