Langit senja di perkemahan itu memancarkan warna keemasan yang lembut. Suara angin berdesir pelan di antara pepohonan pinus, seakan melodi pengiring dari suasana yang menengkan. Aku duduk di depan tenda, memandang patok-patok yang menancap di tanah dengan kuat. Di sebelahku, ada gadis yang selama tiga hari ini menemani selama kegiatan di bumi perkemahan, dia adalah sosok gadis yang periang dan cerewet, yang di sebut dengan dinda. Sambil membuka percakapan dengan dia.
“Kamu tahu,” ujarku pelan dangan suana tenang karna pada saat itu kegiatan sudah selesai dan memasuki jadwal Istirahat , setengah berbicara kepada diri sendiri, “Cintaku ini mungkin cuma sebatas cinta patok tenda.”
Dinda tertawa kecil, sambil menutupi mulutnya, tetapi lesung pipit di pipinya tak mampu disembunyikan, “Cinta patok tenda? Maksudnya gimana, Damar?”
Aku tersenyum, meski dalam hati ada sedikit rasa getir. “Ya, seperti patok tenda. Selama kita di sini, selama perkemahan berlangsung, cinta itu tertancap kuat di tanah. Tapi begitu semua selesai, patok dicabut, tenda dilipat, dan perasaan itu mungkin ikut hilang. Kita akan kembali ke dunia masing-masing, dan cinta ini… hanya sementara.”
Dinda menatapku, senyum masih tersungging di bibirnya, namun matanya memancarkan pemahaman yang dalam. “Jadi, menurutmu, setelah ini kita nggak akan berhubungan lagi?”
Aku terdiam sejenak, memandang ke arah langit yang mulai gelap. “Bukan begitu, Din. Aku cuma realistis. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Mungkin ini hanya perasaan sesaat karena suasana perkemahan. Setelah tenda dibongkar, semuanya akan kembali seperti semula.”
Dinda menghela napas pelan, lalu duduk di sampingku, memandang tenda yang kokoh berdiri. “Mungkin patok tenda memang dicabut, tapi bukan berarti kita nggak bisa menancapkan patok yang baru di tempat lain, di waktu yang lain.”
Aku menoleh padanya, terkejut oleh kedewasaan dalam kata-katanya. Dinda bukan hanya manis dari luar, tapi juga memiliki pemahaman yang dalam. “Kamu benar. Mungkin cinta nggak harus selesai cuma karena perkemahan ini selesai.”
Dinda tersenyum lagi, kali ini tanpa tertawa, hanya senyum penuh pengertian. “Cinta yang sejati nggak sebatas patok tenda, Damar. Mungkin setelah ini, kita akan lebih tahu apa yang kita rasakan sebenarnya.”
Aku tertawa kecil, rasa hangat mengalir di dalam dadaku. “Kamu memang lebih bijak dari yang kukira, Din.”
Malam pun tiba, udara dingin mulai merasuk, namun hangatnya api unggun yang menyala di tengah lapangan menghalau rasa dingin itu. Api itu berkobar, menciptakan cahaya yang menari-nari di wajah setiap peserta. Suara kayu yang berderak dan aroma asap membaur dengan suara tawa dan obrolan yang mulai menggema di sekitar api.
Para peserta duduk melingkar, berbagi cerita tentang pengalaman mereka selama perkemahan. Beberapa bercerita dengan penuh semangat, mengungkapkan momen seru saat mendirikan tenda atau saat terjatuh di jalan setapak. Gelak tawa dan canda pun memenuhi udara malam yang sejuk.
Aku duduk di sebelah Dinda, cukup dekat untuk merasakan kehadirannya, tapi cukup jauh untuk menjaga agar perasaanku tetap tersembunyi. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, melihat bagaimana cahaya api unggun memantul di matanya yang bersinar cerah. Lesung pipitnya, yang selalu membuat hatiku berdebar, muncul setiap kali dia tersenyum mendengar cerita teman-teman. Ada sesuatu yang menenangkan saat duduk di sampingnya, meskipun tak banyak kata yang keluar dari mulutku.
Aku merasa tenggelam dalam keheningan sesaat di tengah tawa teman-teman yang lain, larut dalam pikiranku sendiri. Perasaan ini aneh—seperti menikmati kebersamaan yang akan segera berakhir. Seolah aku sedang mencoba menangkap setiap detik yang berharga ini, sebelum pagi datang dan segalanya harus kembali ke kenyataan.
Dinda menoleh padaku, mata kami bertemu sejenak. Dia tersenyum, dan untuk beberapa saat, waktu seakan berhenti. Api unggun, cerita-cerita yang berseliweran, semuanya terasa jauh di belakang. Hanya ada aku dan Dinda dalam momen singkat itu.
“Kamu nggak cerita, Damar?” tanyanya tiba-tiba, memecah kesunyian di antara kami.
Aku tersenyum, meski merasa sedikit gugup. “Aku lebih suka mendengar cerita mereka,” jawabku sambil tertawa kecil, mencoba menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya.
Dinda mengangguk, lalu kembali menatap api unggun. Namun, senyum kecilnya tetap tinggal di sana, seakan memberi isyarat bahwa dia tahu lebih dari yang kusadari.
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menikmati setiap momen ini. Karena seperti yang aku sadari, perkemahan ini akan segera berakhir, dan aku tak tahu kapan aku bisa merasakan kehangatan seperti ini lagi
Keesokan paginya, suara-suara tenda yang dibongkar mulai terdengar di seantero bumi perkemahan. Suasana yang kemarin penuh canda dan tawa kini berganti menjadi kesibukan untuk pulang. Satu per satu, tali-tali tenda dilepas, dan patok-patok yang selama ini menahan tenda berdiri kokoh, mulai ditarik dari tanah. Setiap patok yang dicabut seakan ikut menarik satu per satu kenangan yang terpatri selama perkemahan.
Aku berdiri di depan tendaku, mengamati dengan perasaan campur aduk. Rasanya baru kemarin kami datang, mendirikan tenda ini bersama-sama, memasang patok-patok yang kini harus dilepas. Ada perasaan melankolis setiap kali tali yang mengikat tenda terlepas, seolah-olah aku sedang melepaskan sesuatu yang jauh lebih dari sekadar sepotong kain tenda.
Dinda sedang sibuk membantu teman-temannya melipat tenda di seberang sana. Sesekali, aku mencuri pandang ke arahnya, seperti yang kulakukan sepanjang perkemahan ini. Dia terlihat sibuk, tapi tetap tersenyum seperti biasa. Lesung pipitnya yang selalu aku ingat muncul setiap kali dia tertawa kecil, mungkin berbagi lelucon dengan teman-temannya. Rasanya aneh, melihat semua ini perlahan-lahan berakhir.
Patok terakhir dari tendaku akhirnya ditarik, meninggalkan jejak kecil di tanah yang akan segera hilang tertiup angin. Aku berdiri di sana sejenak, menatap bekas tempat di mana aku dan Dinda menghabiskan banyak waktu selama beberapa hari terakhir. Setiap percakapan kecil, tawa, dan momen kebersamaan seolah terserap ke dalam bumi, menyatu dengan tanah perkemahan yang akan kami tinggalkan.
Dinda kemudian berjalan ke arahku, senyumnya masih hangat meski matanya tampak sedikit sayu, mungkin karena perasaan yang sama. “Sudah siap, Damar?” tanyanya ringan.
Aku mengangguk, berusaha memasang wajah tenang meski ada sesuatu yang berat di dalam dada. “Sudah. Kamu?”
Dinda menatap sekeliling, memandang tenda-tenda yang sudah terlipat rapi, kemudian mengangguk perlahan. “Ya, siap pulang.” Tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku yakin bahwa, seperti aku, dia juga merasakan kesedihan kecil karena semuanya sudah berakhir.
Kami berjalan bersama menuju gerbang perkemahan, bersama teman-teman lain yang juga membawa barang-barang mereka. Langkah kami pelan, seolah masing-masing ingin memperpanjang waktu yang tersisa. Suasana yang tadinya ramai sekarang terasa hening, hanya ada suara angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di atas kepala kami.
Saat kami mendekati gerbang, aku memberanikan diri untuk berbicara. “Dinda… aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama di sini. Mungkin ini cuma perkemahan, tapi rasanya lebih dari itu buatku.”
Dinda berhenti, menatapku dengan senyum yang lembut namun penuh makna. “Aku juga, Damar. Perkemahan ini… rasanya memang istimewa. Mungkin kita akan pulang, mungkin patok-patok itu sudah dicabut, tapi bukan berarti kenangan itu ikut hilang.”
Aku terdiam, menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum. “Ya, mungkin kenangan itu akan tetap ada, meski tenda-tenda sudah dilipat dan patok-patok sudah ditarik.” Dinda mengangguk, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju gerbang, meninggalkan bumi perkemahan yang kini kosong. Tapi dalam hati, aku tahu, sesuatu telah tertinggal di sana—bukan hanya patok-patok tenda, tetapi juga perasaan yang mungkin akan tetap ada, meski semuanya telah usai
Cerita nya Sangat menarik saya suka
cerita yang bagus
Mantap betul pokonya ceritanya mantap
gacor pak
Seru bagus
Cinta
tak
selama
nya
indah
dek
ceritanya sangat keren dan menarik
aduh dek
Ceritanya sangat bagus
Cerita nya bagus dan menarik
Kisah yang sangat bagus