Seorang gadis sederhana bernama Sita bersama ibunya, Bu Sadikem. Sehari-hari, Bu Sadikem adalah seorang petani yang bekerja keras menggarap sawah demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sita sendiri adalah gadis periang, tulus, dan mandiri. Diam-diam, ia menjalin hubungan istimewa dengan Gendon, seorang pemuda desa yang juga anak petani dan sering membantu ibunya di sawah.
Namun, hubungan mereka tidak sepenuhnya mendapat restu dari Bu Sadikem. Baginya, masa depan Sita terlalu berharga jika hanya dihabiskan dengan Gendon yang dianggap tidak punya masa depan cerah.
“Aku hanya ingin kau hidup layak, Ta,” ucap Bu Sadikem suatu hari sambil menatap lembut anaknya.
“Tapi, Bu, aku mencintai Gendon. Dia baik dan jujur,” jawab Sita dengan lirih.
Bu Sadikem menggeleng pelan, “Baik dan jujur saja tidak cukup. Ibu ingin kau menikah dengan orang yang punya pekerjaan tetap. Ibu sudah punya calon yang lebih baik untukmu.”
Mendengar hal ini, Sita hanya bisa menunduk dan terdiam. Di hatinya, ia yakin bahwa Gendon adalah orang yang tepat baginya. Meski sederhana, Gendon selalu tulus dan tidak pernah memandangnya rendah. Tapi Bu Sadikem sudah menetapkan pilihannya pada Gatot, seorang pegawai kecamatan yang kerap datang ke rumah mereka. Bagi Bu Sadikem, Gatot adalah sosok calon menantu ideal. Setiap kali Gatot datang, dia tidak lupa membawa bingkisan dan amplop berisi uang, yang membuat Bu Sadikem semakin membandingkannya dengan Gendon.
“Lihat itu, Ta,” ujar Bu Sadikem sambil mengeluarkan amplop yang diberikan Gatot. “Kalau kamu menikah dengan Gatot, hidupmu bakal lebih baik. Bukannya harus ngurusin sawah terus!”
Sita hanya terdiam. Setiap kali ia mencoba meyakinkan ibunya tentang Gendon, Bu Sadikem selalu kembali pada hal-hal yang sama, bahwa Gendon tidak akan bisa membuat Sita hidup kaya.
Pada suatu pagi, Gendon pergi ke pasar untuk membantu ibunya menjual hasil panen. Di sana, ia tidak sengaja melihat Gatot bersama dua orang rekannya. Mereka sedang mendatangi beberapa pedagang di sudut pasar sambil menerima uang yang diberikan pedagang-pedagang itu dengan wajah ketakutan.
Gendon yang merasa penasaran mendekati seorang pedagang yang tampak baru saja menyerahkan uangnya.
“Pak, itu tadi uang apa yang diserahkan?” tanya Gendon penuh heran.
Pedagang itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Uang keamanan, Nak. Kalau nggak ngasih, nanti kami diusik-usik, diancam.”
Gendon terkejut mendengarnya. Rupanya Gatot yang selama ini dianggapnya sopan ternyata terlibat dalam tindakan pungli. Gendon pulang dari pasar dengan hati penuh gelisah. Di satu sisi, ia merasa ingin memberitahu Sita dan Bu Sadikem tentang kelakuan Gatot. Namun di sisi lain, ia tahu kalau Bu Sadikem mungkin tidak akan percaya.
Sementara itu, Gatot semakin sering datang ke rumah Sita, berusaha menarik perhatian Bu Sadikem dengan membawa lebih banyak bingkisan dan amplop. Ketika Sita menolak perhatiannya, Gatot tidak mempermasalahkan. Ia tahu, selama Bu Sadikem di pihaknya, kesempatan untuk mendekati Sita tetap ada.
Suatu hari, Bu Sadikem memanggil Sita ke ruang tamu setelah Gatot pamit pulang. “Ta, Ibu sudah memutuskan. Minggu depan, keluarga Gatot akan melamar kamu.”
Sita terperangah, tidak menyangka ibunya akan mengambil keputusan sepihak. “Bu, aku belum siap,” ujarnya pelan, berharap ibunya akan mempertimbangkan perasaannya.
“Tidak ada yang perlu disiapkan lagi, Ta. Gatot sudah jelas masa depannya. Dia bekerja di kantor kecamatan, pakai seragam rapi, penghasilan tetap. Bukan seperti Gendon yang cuma jadi petani. Kamu mau hidup miskin?”
Kalimat terakhir itu menusuk hati Sita. Ia tahu ibunya tidak merestui Gendon, tapi dia juga tidak menyangka ibunya akan memaksakan kehendak sejauh ini. Sita berusaha memendam rasa sakit di hatinya, namun ia tidak bisa berhenti memikirkan nasib hubungannya dengan Gendon.
Hari yang dinanti-nantikan oleh Bu Sadikem pun tiba. Hari itu, keluarga Gatot datang membawa seserahan dan siap untuk melamar Sita. Seluruh tetangga diundang, dan rumah Bu Sadikem dipenuhi dengan suasana meriah. Di luar rumah, Gendon hadir, menyaksikan dari kejauhan dengan perasaan bercampur aduk. Ia hanya bisa melihat kekasihnya dipinang oleh pria lain, sementara dirinya tidak bisa melakukan apa-apa.
Namun, kejutan tak terduga terjadi. Di tengah-tengah proses lamaran, tiba-tiba terdengar suara mobil patroli berhenti di depan rumah. Dari dalam, keluar Pak Camat dan beberapa petugas polisi yang langsung menuju ke dalam rumah.
Pak Camat, dengan wajah tegas, menyampaikan maksud kedatangannya, “Kami mendapat laporan bahwa saudara Gatot terlibat dalam pungli di pasar. Kami harus membawa Gatot untuk penyelidikan lebih lanjut.”
Kerumunan di rumah Bu Sadikem mendadak hening. Gatot, yang tadinya tersenyum penuh percaya diri, kini hanya bisa tertunduk saat dibawa pergi oleh polisi. Lamaran yang seharusnya berlangsung meriah berubah menjadi situasi yang menegangkan.
Bu Sadikem terpana melihat kejadian itu, masih tidak percaya bahwa Gatot yang ia banggakan ternyata terlibat dalam tindakan melawan hukum. Ketika polisi sudah pergi, ia beralih pandang ke arah Sita, yang terlihat bingung namun juga lega.
Dalam keheningan itu, Gendon maju ke depan, mengambil keberanian untuk berbicara.
“Bu Sadikem, saya tahu saya mungkin bukan pilihan Ibu. Tapi saya mencintai Sita dengan tulus. Saya sudah dapat pekerjaan baru sebagai sopir pribadi dari kawan masa kecil saya yang sukses. Sekarang saya punya seragam dan penghasilan tetap, Bu,” kata Gendon dengan suara bergetar.
Bu Sadikem terkejut melihat penampilan Gendon yang kini rapi dengan seragam sopir. Hatinya mulai luluh, melihat kesungguhan dan ketulusan pemuda itu yang selama ini ia pandang rendah. Di depan para tetangga, Bu Sadikem terdiam lama sebelum akhirnya menundukkan kepalanya, merasa bersalah atas semua prasangkanya terhadap Gendon.
Dengan suara bergetar, Bu Sadikem berkata, “Gendon… Ibu salah menilaimu. Ibu minta maaf. Kalau memang kau mencintai Sita, dan kau bisa membuatnya bahagia, Ibu merestui kalian.”
Sita tersenyum bahagia mendengar kata-kata ibunya. Ia langsung menggenggam tangan Gendon, mengisyaratkan bahwa perasaan mereka kini bisa disatukan tanpa halangan lagi.
Bu Sadikem menatap mereka dengan penuh haru. “Maafkan Ibu yang selama ini keras kepala, Ta, Gendon. Ibu hanya ingin kalian bahagia, dan Ibu percaya kau, Gendon, bisa menjaga Sita dengan baik.”
Gendon mengangguk penuh rasa syukur, “Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan selalu menjaga Sita dan membuatnya bahagia.”
Hari itu, desa kecil di pinggiran Sleman menjadi saksi cinta tulus antara Sita dan Gendon. Di tengah kesederhanaan dan segala tantangan, mereka membuktikan bahwa cinta yang kuat bisa menembus segala perbedaan
Di tengah kesederhanaan dan segala tantangan, mereka membuktikan bahwa cinta yang kuat bisa menembus segala perbedaan
cinta sejati harus di perjuangkan dengan sepenuh hati
Baguss ceritanyaa kerennn..