Yasmin mematut dirinya di cermin toilet sekolah. Seragam putih abu-abunya masih rapi, tapi ada yang berbeda dari pantulan bayangannya pagi ini. Matanya sembab, hasil dari tangisan semalam. Ini hari ketiga ia harus menghadapi teror dari sekelompok siswi yang menamakan diri mereka “Queen Bees” di SMA Negeri 1 Nusmaka.
“Heh, anak teladan!”
Suara keras itu membuat Yasmin tersentak. Di belakangnya, Keisha, ketua geng Queen Bees, berdiri dengan tangan terlipat. Dua pengikutnya, Rena dan Putri, mengapit di kanan-kiri dengan senyum mengejek. Yasmin masih ingat bagaimana minggu lalu mereka menyiramnya dengan air bekas pel di toilet ini, membuatnya harus meminjam seragam dari Dina.
“Masih berani ya ke sekolah?” Keisha melangkah maju. “Udah dikasih tau baik-baik kemarin, jangan ikut lomba debat. Itu jatah aku!”
Yasmin mundur perlahan, punggungnya menabrak dinding dingin. “Tapi… Pak Bambang yang memilihku…”
“Peduli amat! Lo tau kan bokap gue ketua komite sekolah? Gue bisa bikin lo dikeluarin kapan aja!” Keisha mengeluarkan ponselnya. “Mau gue sebarin foto lo waktu nangis kemarin? Atau mending video lo jatuh di kantin minggu lalu? Oh iya, yang itu kan udah gue share.”
Air mata Yasmin nyaris jatuh, tapi ia menahannya. Ia teringat pesan ibunya semalam, saat ia akhirnya memberanikan diri bercerita: “Jangan pernah tunjukkan kelemahanmu pada orang yang ingin menjatuhkanmu. Mereka seperti serigala, Min. Sekali mencium ketakutanmu, mereka tak akan berhenti.”
Bel masuk berbunyi, menyelamatkan Yasmin dari konfrontasi lebih lanjut. Tapi ini baru permulaan. Selama pelajaran, ia menemukan mejanya penuh coretan spidol permanen. “PENGADU”, “SOK PINTER”, “MISKIN”, dan kata-kata kasar lainnya menghiasi permukaan meja.
Di grup chat kelas, fotonya yang telah diedit dengan berbagai tulisan memalukan mulai beredar. Beberapa teman mencoba membelanya, tapi kebanyakan hanya diam. Mereka tak ingin menjadi target berikutnya. Yasmin teringat nasib Sinta, yang semester lalu pindah sekolah karena tak tahan dibully geng Keisha setelah berani melaporkan mereka ke BK.
“Min,” Dina, sahabatnya, berbisik saat istirahat. Mereka duduk di pojok perpustakaan, tempat persembunyian favorit mereka. “Kamu harus lapor BK.”
Yasmin menggeleng lemah. “Percuma, Din. Waktu Randy kena bully semester lalu sampai depresi dan pindah sekolah, nggak ada yang peduli. Guru BK Cuma bilang ‘namanya juga anak muda, wajar konflik. Diselesaikan baik-baik aja.’” Ia mengeluarkan roti dari tasnya, sarapan yang belum sempat ia makan karena takut ke kantin.
“Tapi ini udah kelewatan! Mereka nyebarin foto editan kamu, bikin rumor yang enggak-enggak. Mereka bilang kamu nyontek waktu ulangan kemarin, padahal jelas-jelas Keisha yang nyontek ke kamu! Masa kamu mau diem aja?”
Yasmin menatap keluar jendela perpustakaan. Di lapangan, ia melihat sekelompok siswa kelas sebelah sedang “mengerjain” adik kelas. Memaksa mereka push-up sambil ditertawakan. Guru piket yang lewat hanya menggelengkan kepala, seolah pemandangan itu hal biasa.
“Kadang aku mikir, Din,” Yasmin berbisik. “Apa gunanya sekolah kalau yang dipelajari Cuma cara menindas yang lemah?”
Sore itu, saat sebagian besar siswa sudah pulang, Yasmin memberanikan diri menemui Pak Bambang di ruang guru. Ruangan itu sudah sepi, hanya ada beberapa guru yang masih sibuk memeriksa tugas.
“Pak… saya mengundurkan diri dari lomba debat.”
Pak Bambang mengangkat alis. “Kenapa? Kamu kan sudah latihan keras. Tema tentang krisis moral dalam pendidikan ini cocok banget sama pemikiran kritismu.”
“Saya… saya…” Yasmin tak sanggup melanjutkan. Air matanya tumpah.
Pak Bambang menghela napas panjang. Ia tahu persis apa yang terjadi. Sebagai guru yang sudah mengajar selama lima belas tahun, ia melihat bagaimana “kultur” sekolah berubah. Bullying menjadi hal lumrah, media sosial memperparah keadaan, dan yang berkuasa semakin berkuasa.
“Yasmin,” katanya lembut. “Bapak tau ini berat. Tapi justru karena ini, kamu harus ikut lomba itu.”
“Tapi Pak…”
“Kamu tau kenapa Bapak memilihmu? Bukan Cuma karena kamu pintar. Tapi karena Bapak lihat di matamu ada keberanian untuk bicara tentang hal yang benar. Tentang sistem pendidikan yang membiarkan yang kuat menindas yang lemah. Tentang guru-guru yang tutup mata. Tentang orangtua yang menggunakan kekuasaan untuk memanjakan anaknya.”
Yasmin mengangkat wajahnya, terkejut mendengar kata-kata gurunya.
“Dan Bapak rasa, kamu punya banyak hal yang bisa disampaikan di lomba ini. Bukan untuk menang, tapi untuk memberi suara pada mereka yang selama ini tak berani bersuara.”
Malam itu, Yasmin tak bisa tidur. Ia membuka laptop pemberian kakaknya yang sudah bekerja, mulai mengetik. Kalau ia harus berdebat, ia akan bicara tentang realita. Tentang bagaimana sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar, justru menjadi arena pertarungan ego dan kekuasaan.
Keesokan harinya, Keisha dan gengnya kembali menghadang Yasmin di toilet. Tapi kali ini, Yasmin tidak mundur.
“Kalian tau kenapa aku tetap ikut lomba?” Yasmin menatap mata Keisha. “Karena ini bukan Cuma tentang aku atau kalian. Ini tentang semua siswa yang pernah dibully sampai depresi. Tentang Randy yang terpaksa pindah sekolah. Tentang Lina yang sampai sekarang masih trauma karena video bullying-nya viral. Tentang Sinta yang kalian paksa pindah.”
“Lo ngancem gue?” Keisha mendekat.
“Nggak. Aku Cuma mau bilang, besok di lomba debat, aku akan bicara tentang kalian. Tentang sistem sekolah yang membiarkan bullying. Tentang guru yang tutup mata. Tentang orangtua yang pakai kekuasaan untuk menindas yang lemah.”
“Lo…”
“Dan ya, aku tau bokapmu ketua komite sekolah. Tapi tau nggak? Video kalian nge-bully aku di toilet kemarin udah aku kirim ke Pak Kepala Dinas Pendidikan. Beliau kebetulan juri di lomba debat besok. Termasuk semua bukti cyber-bullying yang kalian lakukan.”
Wajah Keisha memucat. Untuk pertama kalinya, Yasmin melihat ketakutan di mata sang “ratu sekolah” itu.
“Tapi aku nggak mau kalian dikeluarkan,” Yasmin melanjutkan. “Yang aku mau adalah perubahan. Kalian bisa mulai dengan minta maaf ke semua yang pernah kalian sakiti. Termasuk ke diri kalian sendiri.”
Yasmin melangkah keluar toilet dengan tegap. Di lorong, ia berpapasan dengan Pak Bambang yang tersenyum bangga.
“Kadang,” kata Pak Bambang, “keberanian bukan tentang menang atau kalah. Tapi tentang berani bersuara saat semua orang memilih diam.”
Tiga bulan kemudian, SMA Negeri 1 Nusmaka mengalami banyak perubahan. Kasus bullying Yasmin menjadi katalis gerakan anti-perundungan di sekolah. Keisha dan gengnya mendapat sanksi sosial, tapi yang lebih penting, mereka mulai menyadari dampak perbuatan mereka.
Yang mengejutkan, Keisha menjadi salah satu anggota aktif Komunitas Peduli Siswa yang dibentuk Yasmin. “Kadang kita jadi pembully karena kita sendiri takut dibully,” kata Keisha suatu hari. “Butuh seseorang yang berani untuk menghentikan lingkaran setan ini.”
Yasmin? Ia tidak hanya memenangkan lomba debat tingkat provinsi. Pidatonya tentang “Kekerasan Tersembunyi dalam Pendidikan” menjadi viral dan memicu diskusi nasional tentang bullying di sekolah. Ia membuktikan bahwa di balik tembok sekolah yang sering terlihat sempurna, ada suara-suara yang perlu didengar. Dan kadang, butuh satu orang untuk berani bersuara, agar yang lain ikut berani.
Di papan mading sekolah, artikel tentang kemenangannya dipajang besar-besar. Tapi yang membuat Yasmin lebih bangga adalah tulisan kecil di bawahnya: “Dibentuk: Komunitas Peduli Siswa Karena Setiap Suara Layak Didengar.”
Sore itu, saat bel pulang berbunyi, Yasmin duduk di bangku taman sekolah. Ia melihat seorang siswi kelas 10 yang terlihat murung. Tanpa ragu, ia menghampiri.
“Hai, aku Yasmin. Kamu mau cerita?”
Karena ia tahu, terkadang yang dibutuhkan hanyalah seseorang yang mau mendengar.
Jangan pernah tunjukkan kelemahanmu pada orang yang ingin menjatuhkanmu
bullying atau bully ini sering terjadi di lingkungan sekolah kalian pasti pernah melihat atau mendengar bully,bully ini perilaku yg sangat” buruk dan tak terpuji,jangan karena kalian merasa hidup tercukupi dan terjamin maka kalian membully dan menjelekkan orang di sekitar kalian,stop bully!!!