Kereta api Prambanan Ekspres sore itu menggerakkan roda besinya perlahan, membawa penumpang yang ingin cepat tiba di Yogyakarta. Di dalam gerbong yang penuh sesak, udara terasa lembap, sedikit pengap oleh keringat para pekerja yang baru saja pulang. Di dekat pintu gerbong, seorang pria muda bernama Dimas berdiri, mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang terguncang oleh gerakan kereta.
Dimas tak sabar menunggu kereta mencapai Stasiun Lempuyangan. Tiga tahun lalu, ia meninggalkan kota ini untuk meraih mimpi di Jakarta. Kini, setelah segala usaha dan jerih payahnya, ia memutuskan kembali ke Jogja kota yang selalu membuatnya merasa pulang. Namun bukan hanya kota ini yang membuatnya rindu. Ada sosok yang selalu terbayang dalam ingatannya, seseorang yang pernah ia tinggalkan tanpa pamit. Sosok itu adalah Lestari, perempuan yang dulu menjadi kekasih hatinya.
Di sudut lain gerbong, duduk seorang perempuan muda yang mengenakan kemeja krem dan celana jeans sederhana. Lestari. Ia sedang memandang keluar jendela, menyaksikan sawah yang membentang luas di sepanjang jalur kereta. Hatinya terasa kosong, meski di luar, langit sore begitu cerah dengan semburat warna oranye. Ia tak menyangka masih merasakan luka yang sama, meski sudah tiga tahun berlalu sejak Dimas pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata.
Ketika kereta berhenti di Stasiun Gawok, penumpang semakin banyak naik. Dimas mencoba mencari tempat duduk dan matanya tiba-tiba terhenti pada sosok yang tak asing baginya. Wajah itu, senyum itu, meskipun kini tanpa senyum, adalah wajah yang selama ini ia rindukan. Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari siapa yang dilihatnya. Lestari.
Dimas ragu untuk mendekatinya. Hatinya penuh dengan kebimbangan dan rasa bersalah. Apakah Lestari akan mengenalinya? Bagaimana jika ia marah? Dimas tak pernah memiliki keberanian untuk menjelaskan kepergiannya dulu. Namun kesempatan ini seolah menjadi takdir yang tak ia duga. Perlahan, ia mengumpulkan keberanian dan mulai melangkah mendekati Lestari.
“Tar, ini aku, Dimas,” suara Dimas terdengar gemetar.
Lestari yang tadinya menatap kosong keluar jendela, terkejut mendengar namanya disebut. Ia menoleh dan terkejut melihat wajah yang dulu begitu dikenalnya. “Dimas?” tanyanya tak percaya. Mata Lestari membelalak, sulit baginya mempercayai bahwa sosok yang selama ini berusaha ia lupakan tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Iya, ini aku,” jawab Dimas dengan senyum yang dipaksakan.
Lestari terdiam. Hatinya bergemuruh, berbagai emosi bercampur aduk—marah, rindu, benci, dan lega. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dingin.
Dimas menarik napas panjang. “Aku pulang ke Jogja, Tar. Dan… aku tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini.”
Lestari tertawa kecil, getir. “Setelah tiga tahun? Begitu saja kamu pergi tanpa kabar, dan sekarang kamu muncul tiba-tiba?”
Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Gawok, menuju Lempuyangan. Dimas duduk di bangku di sebelah Lestari, meskipun hati kecilnya merasa ia tidak pantas berada di dekatnya lagi.
“Aku tahu aku salah. Aku meninggalkanmu tanpa pamit, dan aku tidak punya alasan yang cukup baik untuk membenarkan itu,” kata Dimas. “Aku pergi karena aku merasa tidak bisa memberikan kamu masa depan yang layak. Aku merasa tidak cukup baik untuk kamu.”
Lestari menatapnya tajam. “Jadi, tanpa sepatah kata pun, kamu memutuskan pergi? Kamu pikir itu adil?”
Dimas terdiam. Ia tahu apa pun alasannya, ia telah melukai Lestari dengan cara yang paling pengecut. “Aku minta maaf, Tar. Setiap hari aku menyesali keputusan itu. Dan ketika aku mencoba menghubungimu, aku tahu aku sudah terlambat.”
Lestari menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. “Aku tidak tahu apakah maafmu cukup. Tapi aku tahu aku sudah berusaha melupakanmu selama tiga tahun ini. Aku sudah mencoba mengikhlaskan.”
Kereta berhenti sebentar di Stasiun Maguwo. Suasana gerbong semakin sunyi. Penumpang yang lain sibuk dengan pikiran dan aktivitas masing-masing, sementara Dimas dan Lestari terperangkap dalam dunia mereka sendiri, terpisah dari waktu dan tempat.
“Bagaimana hidupmu di Jakarta?” tanya Lestari, akhirnya membuka percakapan.
Dimas tersenyum pahit. “Cukup baik, aku mencapai apa yang aku impikan. Pekerjaan bagus, kehidupan yang nyaman, tapi ada yang selalu terasa kosong. Aku menyadari bahwa mimpi yang aku kejar tidak berarti tanpa seseorang untuk berbagi. Aku kehilangan kamu, dan tidak ada yang bisa mengisi ruang itu.”
Lestari menatap jauh ke luar jendela, menghindari tatapan Dimas. “Aku berharap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari,” katanya lirih. “Aku juga mencoba mencari kebahagiaan tanpamu, meskipun itu sulit.”
Dimas terdiam, kata-kata Lestari menohok hatinya. Ia tahu betapa egoisnya keputusannya dulu, dan sekarang ia dihadapkan dengan konsekuensi dari keegoisan itu.
“Aku tidak berharap kita kembali seperti dulu,” kata Dimas. “Aku hanya ingin meminta maaf dan berharap kita bisa berbaikan. Setidaknya sebagai teman.”
Lestari tersenyum kecil, senyum yang lelah. “Mungkin aku bisa memaafkanmu, Dimas. Tapi aku tidak tahu apakah kita bisa kembali menjadi seperti dulu.”
Dimas mengangguk, memahami. “Itu sudah cukup bagiku, Tar. Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk meminta maaf.”
Kereta memasuki kawasan kota Yogyakarta. Mereka bisa melihat atap-atap rumah yang padat dan mendengar suara hiruk-pikuk kota dari kejauhan. Dimas merasa perjalanan ini begitu cepat berlalu, padahal ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun ia tahu ini bukan saatnya.
“Tar, aku mungkin bukan orang yang pantas meminta ini, tapi… bolehkah aku bertemu denganmu lagi setelah ini? Mungkin hanya sekadar ngobrol, mengenang masa lalu?”
Lestari berpikir sejenak, menimbang dalam hatinya. “Kita lihat nanti,” jawabnya lembut. Ia menatap Dimas dan melihat kesungguhan di matanya. Ada bagian dari hatinya yang merasa lega setelah mendengar penjelasan Dimas, meskipun rasa sakit itu tak sepenuhnya hilang.
Stasiun Lempuyangan akhirnya terlihat. Penumpang mulai berdiri dan bersiap turun. Dimas dan Lestari berjalan beriringan keluar dari gerbong, menyusuri peron yang ramai.
“Jadi, kamu akan tinggal di Jogja?” tanya Lestari saat mereka melangkah keluar stasiun.
Dimas mengangguk. “Ya, aku memutuskan untuk kembali ke sini. Aku merasa lebih hidup di sini.”
Lestari tersenyum tipis. “Selamat datang kembali, Dimas.”
Mereka berdiri di peron, membiarkan kereta yang baru datang menggema di sekitar mereka. Suara deru mesin, panggilan petugas stasiun, dan hiruk pikuk penumpang melatarbelakangi pertemuan yang tak direncanakan ini. Meskipun kata-kata mereka terbatas, hati mereka saling berbicara dalam keheningan.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Ada janji dengan teman,” kata Lestari akhirnya, mencoba tersenyum.
Dimas mengangguk pelan, menatap sosok Lestari yang perlahan menjauh di tengah kerumunan. “Sampai bertemu lagi, Tar,” bisiknya, meskipun ia tahu suara itu tidak akan terdengar oleh Lestari.
Di bawah langit senja Yogyakarta yang mulai memudar, antara Stasiun Gawok dan Lempuyangan, dua hati yang pernah terpisah mencoba menemukan jalan kembali. Mungkin mereka tidak akan pernah seperti dulu lagi, tapi mereka telah menemukan keberanian untuk menghadapi masa lalu, dan itu cukup untuk memulai babak baru dalam hidup mereka.
Di sini, di antara rel-rel tua dan peron yang penuh kenangan, Dimas dan Lestari memulai perjalanan baru bukan sebagai sepasang kekasih, tapi sebagai dua orang yang siap untuk berdamai dengan masa lalu mereka dan melihat masa depan dengan harapan baru.