Pak Huntara menatap hamparan sawah di Kulon Progo yang menguning di bawah mentari pagi. Tiga hari ia habiskan di sini, tinggak bersama keluarga Pak Paijan dan Mbok Sarjiem, yang berjualan geblek. Ada yang Pak Huntara pikirkan sehingga gelisah. Sebuah surat yang diterima sebulan lalu dari Pak Djonot Subagijo, Pakdenya di Lamongan, terus mengusik pikiran,. Surat itu berisi tentang istri pak de nya meninggal dunia tiga bulan lalu dan pak huntara belum sempat datang ke lamongan. “Pak Huntara, kapan berangkat ke Lamongan?” tanya Pak Paijan di pagi terakhir mereka bersama, menyerahkan secangkir kopi hitam.
“Sebentar lagi, lepas tengah hari,” jawabnya. Ia menatap cangkir itu, lalu menambahkan, “Entah kenapa, rasanya ada yang mendesak dalam surat itu. Seperti panggilan yang harus segera dijawab.”
Bus antarkota berangkat dari terminal Wates tepat pukul satu siang. Perjalanan ini tak singkat, tapi langit cerah dan deru mesin bus yang menggumam rendah menjadi teman yang cukup. Ia memandang keluar jendela, menyaksikan bayangan sawah, rumah, dan pepohonan yang berlari mundur. Setiap tikungan jalan membawa pikirannya ke masa kecil di rumah Pak Djonot.
Pak Djonot adalah sosok yang memukau di mata kecilnya. Ia seorang insinyur pertanian dan pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian yang berwibawa dan penuh canda. Namun, di balik itu, Pak Djonot punya kebiasaan sederhana yang membuatnya spesial: keahliannya memasak soto Lamongan. Bukan sembarang soto, tapi soto yang memiliki rasa yang selalu membekas. “Resep ini rahasia keluarga,” kata Pak Djonot suatu kali, sambil tertawa lebar.
Matahari sudah condong ke barat saat Pak Huntara tiba di terminal Lamongan. Udara di sini terasa berbeda. Ada kehangatan yang memeluk dan keramaian khas pasar malam yang mulai menggeliat. Ia turun dari bus, menyesuaikan ranselnya, dan menghela napas panjang.
“Pakde tinggal di Andansari, tidak jauh dari sini,” gumamnya, mengingat-ingat petunjuk arah dalam surat itu. Ia memutuskan berjalan kaki untuk menikmati suasana kota kecil ini. Setiap langkah terasa seperti menyibak kenangan lama, membawanya lebih dekat ke masa kecil.
Namun, aroma yang menyelinap dari sebuah warung kecil di pinggir jalanlah yang membuatnya berhenti. Wangi kaldu ayam, rempah-rempah, dan serbuk koya menggoda. Warung itu sederhana, hanya beberapa bangku kayu dan meja panjang, tapi pengunjungnya ramai. Tulisan di papan kecil di depan warung menyebutkan satu menu: Soto Lamongan.
Pak Huntara duduk di salah satu bangku. Pemilik warung yang bernama Pak Yanto, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, mendekat. “Soto satu, Pak?” tanyanya.
“Ya, Pak. Soto Lamongan,” jawabnya sambil tersenyum.
Tak butuh waktu lama, semangkuk soto panas disajikan di hadapannya. Kuah kuning keemasan dengan taburan koya dan irisan ayam suwir menggoda. Potongan telur rebus dan bihun tipis melengkapi hidangan itu. Ia menyuapkan sesendok pertama, dan tiba-tiba, semua kenangan tentang soto Pak Djonot menyeruak. Rasanya hampir sama gurih, hangat, dan penuh cinta.
Hari mulai gelap saat Pak Huntara melanjutkan perjalanannya. Warung soto itu memberinya energi baru, tapi juga rasa penasaran. Bagaimana kabar Pak Djonot? Apakah ia masih setangguh dulu? Dan apakah soto buatannya masih seistimewa yang ia ingat?
Pak Huntara tiba di Andansari tepat saat adzan Isya berkumandang. Rumah Pak Djonot masih seperti dulu sebuah rumah besar dengan halaman luas, pohon mangga di sudut, dan lampu teras yang temaram. Ia mengetuk pintu dengan ragu.
Pintu terbuka, dan di ambangnya berdiri seorang pria tua berwajah ramah. “Huntara? Kamu akhirnya datang juga!” seru Pak Djonot sambil memeluknya pak huntara ponakan nya. Meski rambutnya sudah dua warna hitam dan putih dan tubuhnya sedikit kurus, senyumnya tetap sama.
Pak Huntara tertawa kecil, memeluk erat sosok itu. “Pakde, saya rindu. Rasanya seperti pulang ke rumah.”
Mereka berbincang lama di ruang tamu, mengisahkan hidup masing-masing. Pak Djonot, meski pensiun, masih aktif mengurus kebun kecilnya di belakang rumah. Ia juga bercerita tentang kesukaannya memasak yang tetap ia jalani.
“Besok pagi, kita masak soto Lamongan,” kata Pak Djonot tiba-tiba, matanya bersinar penuh semangat.
“Saya sudah mencicipi soto di warung tadi. Enak, tapi belum ada yang mengalahkan buatan Pakde,” balas Pak Huntara, tertawa.
Pagi-pagi sekali, dapur rumah Pak Djonot sudah ramai. Pak Djonot memimpin proses memasak dengan penuh keahlian. Ia mulai dengan membuat kaldu dari ayam kampung yang direbus lama bersama rempah-rempah: lengkuas, serai, daun jeruk, dan kunyit. Aroma harum segera memenuhi ruangan.
“Rahasia soto Lamongan itu di koya,” kata Pak Djonot, sambil menghaluskan kerupuk udang dan bawang putih goreng. “Tapi, lebih dari itu, rasa yang enak datang dari hati yang senang.”
Pak Huntara membantu semampunya, memotong daun bawang dan merapikan meja. Ia terpesona melihat Pak Djonot yang tampak begitu hidup saat memasak.
Ketika semuanya selesai, mereka duduk di meja makan, masing-masing dengan semangkuk soto Lamongan di depan mereka. Pak Huntara mencicipinya dengan hati-hati. Rasa itu membawa pulang semua kenangan masa kecilnya hari-hari bermain di halaman, tawa riang, dan cinta keluarga yang tak tergantikan.
“Pakde, ini sempurna. Rasanya seperti pulang ke masa lalu,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Djonot tersenyum, mengusap-usap janggut putihnya. “Kamu tahu, Nak, hidup itu seperti soto ini. Campuran berbagai rasa ada yang manis, ada yang gurih, bahkan kadang ada pahitnya. Tapi kalau diracik dengan hati, semuanya jadi indah.”
Hari itu, Pak Huntara merasa menemukan kembali sebagian dari dirinya yang hilang. Semangkuk soto Lamongan, perjalanan ke Andansari, dan kebersamaan dengan Pak Djonot mengingatkannya akan nilai sederhana dari keluarga dan cinta.
Ketika ia berpamitan tiga hari kemudian, Pak Djonot menyerahkan selembar kertas padanya. “Resep soto ini, buat kenangan. Kalau kamu rindu, masaklah. Dan jangan lupa, pulanglah sesekali.”
Pak Huntara mengangguk, menyimpan kertas itu dengan hati-hati. Perjalanan pulangnya terasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini ia pikul perlahan terangkat. Dan di dalam hatinya, ia tahu, aroma soto Lamongan akan selalu membimbingnya pulang.