Langit pagi tampak cerah saat Pak Huntara menaiki bus dari terminal Ponorogo menuju Madiun. Tas kecil yang ia bawa berisi oleh-oleh sederhana Skerupuk gendar dan jenang khas Ponorogo—untuk sahabat dunia mayanya, Pak Yunus Singodimedjo. Meski belum pernah bertemu langsung, mereka sudah lama akrab di grup media sosial yang membahas kuliner tradisional Jawa Timur.
“Dengar-dengar, Pak Yunus ini mantan kepala dinas, sekarang malah buka usaha pecel. Hebat juga,” gumam Pak Huntara sambil menatap keluar jendela bus.
Perjalanan sekitar satu jam terasa singkat dengan pemandangan hijau persawahan di kiri dan kanan jalan. Ketika bus tiba di terminal Madiun, Pak Huntara segera turun dan mencari ojek menuju alamat yang diberikan oleh Pak Yunus. Setelah menempuh perjalanan singkat, ia tiba di depan sebuah rumah megah dan asri. Halaman depannya penuh dengan tanaman hijau, lengkap dengan kolam ikan kecil di sudut taman.
“Assalamu’alaikum!” seru Pak Huntara sambil mengetuk pagar.
Dari dalam rumah, muncul seorang pria paruh baya dengan senyum ramah. Pria itu langsung menyapa dengan hangat.
“Wa’alaikumsalam! Ini pasti Pak Huntara! Silakan masuk, Pak,” kata Pak Yunus, membuka pagar.
Pak Yunus tampak gagah meski usianya sudah 65 tahun. Di belakangnya, seorang wanita dengan senyum keibuan, Bu Sri, menyusul menyambut.
“Pak, mari masuk. Lelah di jalan, ya? Ayo, silakan duduk,” ujar Bu Sri, mempersilakan tamu masuk ke ruang tamu yang luas.
Ruang tamu itu dipenuhi hiasan dinding berupa wayang kulit dan lukisan pemandangan alam. Bu Sri segera menyiapkan teh hangat dan kudapan untuk tamunya.
“Silakan, Pak. Ini teh asli Madiun, aromanya khas,” ujar Bu Sri, menyodorkan cangkir teh.
“Terima kasih, Bu. Rumahnya megah sekali. Tidak salah saya menduga, Pak Yunus ini pasti orang penting,” kata Pak Huntara sambil tersenyum.
Pak Yunus tertawa ringan. “Ah, jangan dipikir begitu, Pak. Memang dulu saya kepala dinas, tapi setelah pensiun, saya ingin hidup santai saja. Maka itu, saya dan Bu Sri mulai usaha pecel ini. Alhamdulillah, malah berkembang.”
Obrolan mereka mengalir hangat. Pak Yunus bercerita bagaimana ia dan istrinya memulai usaha Gerai Pecel Madiun Pak Yunus. Saat ini, mereka sudah memiliki beberapa cabang di Madiun dan sekitarnya.
“Awalnya cuma coba-coba, Pak Huntara. Kami punya resep sambal pecel keluarga turun-temurun. Saya pikir, kenapa tidak dijadikan usaha? Ternyata banyak yang suka,” kata Pak Yunus.
“Pak Yunus, resep pecel Madiun yang asli itu seperti apa, sih? Apa rahasianya sampai pelanggan ketagihan?” tanya Pak Huntara penasaran.
Pak Yunus tersenyum. “Rahasia utamanya itu kesegaran bahan, Pak. Kacangnya harus yang terbaik, daun jeruknya harus wangi, dan jangan terlalu banyak cabai supaya rasa pedasnya pas. Tapi sebenarnya, kunci suksesnya adalah lauknya. Pecel tanpa rempeyek, lodeh, dan tempe gembus, rasanya kurang lengkap.”
Pak Huntara tertawa kecil. “Jadi makin penasaran, Pak Yunus. Besok pagi saya harus coba pecel di gerai Bapak!”
“Kenapa besok? Malam ini juga bisa! Bu Sri sudah buatkan sambal pecel spesial untuk tamu istimewa kita,” kata Pak Yunus sambil melirik istrinya.
Bu Sri tersenyum. “Tunggu sebentar, ya, Pak. Saya siapkan dulu di dapur.”
Sambil menunggu makan malam, Pak Yunus mengajak Pak Huntara berkeliling rumah. Ia menunjukkan taman belakang yang dihiasi tanaman hias dan kolam ikan kecil.
“Rumah ini saya desain sendiri, Pak. Saya ingin suasana yang adem dan menenangkan,” ujar Pak Yunus.
Pak Huntara mengangguk kagum. “Pak Yunus ini inspirasi. Sudah sukses di dunia kerja, masih sempat juga merawat rumah dan mengembangkan usaha.”
Tak lama kemudian, Bu Sri memanggil mereka ke ruang makan. Di atas meja terhidang sepiring nasi pecel lengkap dengan tempe goreng, tahu bacem, rempeyek kacang, dan ayam goreng. Aromanya begitu menggoda.
“Coba ini, Pak. Sambal pecel andalan kami,” kata Pak Yunus sambil menyodorkan piring.
Pak Huntara mengambil sesuap nasi, mencampurnya dengan sambal pecel dan sayuran. Ketika suapan pertama masuk ke mulut, matanya langsung berbinar.
“Masya Allah, ini pecel paling enak yang pernah saya coba! Sambalnya lembut, rasanya pas, dan daun jeruknya bikin segar!” puji Pak Huntara.
Pak Yunus tertawa senang. “Terima kasih, Pak. Sambal ini memang dibuat dengan cinta, bukan asal-asalan.”
Sambil menikmati makan malam, mereka melanjutkan obrolan tentang pengalaman hidup masing-masing. Pak Yunus mengenang masa dinasnya dulu yang sering membawa ia ke Ponorogo.
“Makanya, saya senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan Pak Huntara. Dunia maya mempertemukan kita, tapi dunia nyata yang mempererat silaturahmi,” ujar Pak Yunus.
Setelah makan malam, mereka duduk santai di teras sambil menyeruput kopi. Pak Yunus mengajak Pak Huntara untuk mengunjungi salah satu gerai pecelnya keesokan harinya.
“Pagi-pagi nanti, kita ke gerai utama. Di sana, saya akan tunjukkan proses pembuatan sambal pecel dari awal sampai akhir,” kata Pak Yunus.
Keesokan paginya, Pak Yunus dan Pak Huntara berangkat bersama ke gerai pecel di pusat kota Madiun. Gerai itu sederhana tapi bersih dan ramai. Di dapur, Bu Sri memimpin para karyawan menyiapkan sambal dan lauk.
“Inilah dapur kami, Pak. Semua bahan di sini diproses manual, tidak pakai mesin, supaya rasanya tetap otentik,” jelas Pak Yunus.
Pak Huntara terkesan melihat dedikasi pasangan itu menjaga kualitas makanan mereka. Ia mencatat setiap detail, mulai dari cara menggoreng kacang hingga mencampur bumbu sambal.
Ketika waktu sarapan tiba, pelanggan mulai berdatangan. Pak Yunus menyapa mereka dengan ramah, seolah-olah semua adalah teman lamanya.
“Hidup saya sekarang jauh dari hiruk-pikuk kantor, tapi saya merasa lebih bahagia. Pelanggan ini seperti keluarga,” ujar Pak Yunus sambil tersenyum.
Pak Huntara mengangguk setuju. Perjalanan ini tidak hanya mempertemukannya dengan sahabat baru, tetapi juga memberi inspirasi tentang bagaimana hidup sederhana dengan cinta dan kehangatan bisa lebih bermakna. Pecel Madiun Pak Yunus bukan sekadar makanan; ia adalah simbol ketulusan dan semangat berbagi.