Pak Huntara menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang Bus Rosalinda yang melaju menuju Ponorogo. Hatinya diliputi rasa antusias sekaligus penasaran. Sudah lama ia ingin berkunjung ke rumah sahabatnya, Pak Drs. Bachtiar Rosidi, seorang mantan kepala sekolah yang pernah mengabdi selama lima tahun di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Jerman dan lima belas tahun di Indonesia. Selain menjalin silaturahmi, tujuan lainnya adalah mempelajari lebih banyak tentang warok Ponorogo yang telah lama menarik perhatiannya.
Setibanya di terminal Ponorogo, Pak Huntara segera memesan grab untuk menuju rumah Pak Drs. Bachtiar Rosidi. Perjalanan melewati perkampungan yang asri membuatnya merasa seperti kembali ke masa lalu. Rumah Pak Drs. Bachtiar Rosidi, sebuah rumah limasan yang sederhana, berdiri kokoh di tengah lingkungan yang teduh. Di depannya terparkir sebuah mobil Avanza keluaran 2009, simbol dari kesederhanaan seorang pensiunan kepala sekolah yang pernah memimpin baik di dalam maupun luar negeri.
Pak Drs. Bachtiar Rosidi menyambutnya dengan senyum lebar. “Huntara! Akhirnya sampai juga. Lama sekali kita nggak bertemu, ya?”
“Benar, Pak Drs. Bachtiar Rosidi,” jawab Pak Huntara sambil menjabat tangan sahabatnya erat. “Saya penasaran sekali dengan kehidupan di sini, terutama cerita tentang warok Ponorogo yang legendaris.”
Pak Drs. Bachtiar Rosidi tertawa kecil. “Wah, kalau soal itu, kamu datang ke tempat yang tepat. Tapi sebelum itu, kita makan siang dulu. Saya sudah siapkan pecel khas Ponorogo, kesukaanmu!”
Makan siang mereka dipenuhi dengan percakapan hangat tentang kehidupan masing-masing. Pak Drs. Bachtiar Rosidi bercerita tentang masa-masa menjadi kepala sekolah di SILN Jerman. Ia mengenang bagaimana tantangan memimpin sekolah di negeri orang, dari memahami budaya lokal hingga menjaga semangat kebangsaan di kalangan siswa. Setelah kembali ke Indonesia, ia melanjutkan pengabdiannya sebagai kepala sekolah selama 15 tahun sebelum pensiun.
“Pak Drs. Bachtiar Rosidi, meskipun pernah memimpin di luar negeri dan lama menjadi kepala sekolah di sini, kehidupan Anda tetap sangat sederhana,” komentar Pak Huntara.
Pak Drs. Bachtiar Rosidi tersenyum. “Bagi saya, kebahagiaan itu bukan diukur dari apa yang kita miliki, tetapi bagaimana kita hidup dengan kejujuran dan ketenangan. Jabatan adalah amanah, bukan alat untuk memperkaya diri.”
Setelah istirahat, Pak Drs. Bachtiar Rosidi membawa Pak Huntara ke beberapa tempat bersejarah dan pusat seni untuk mengenal lebih dekat budaya warok Ponorogo. Mereka bertemu dengan beberapa tokoh warok masa kini, termasuk Pak Marjuki, seorang warok senior yang telah menjadi panutan masyarakat.
“Warok itu bukan hanya tentang tari Reog,” jelas Pak Marjuki dengan suara berwibawa. “Warok adalah tentang filosofi kehidupan. Seorang warok harus menjaga kejujuran, melindungi masyarakat, dan memiliki pengabdian yang tulus.”
Pak Huntara menyimak dengan penuh perhatian. Ia kagum dengan bagaimana nilai-nilai luhur itu masih dijunjung tinggi hingga kini. “Jadi, warok itu bukan sekadar seni pertunjukan, ya, Pak? Ini juga soal tanggung jawab moral,” komentarnya.
“Betul sekali,” jawab Pak Marjuki. “Menjadi warok bukan hanya soal fisik yang kuat, tetapi hati yang teguh. Itulah kenapa warok dihormati, karena mereka adalah penjaga nilai-nilai.”
Hari kedua, Pak Drs. Bachtiar Rosidi mengajak Pak Huntara ke Desa Kauman, tempat lahirnya banyak warok legendaris. Di sana, mereka mendengarkan cerita tentang Ki Ageng Kutu, yang konon adalah pendiri seni Reog. Kisah tentang kekuatan, kebijaksanaan, dan pengabdian para warok membuat Pak Huntara semakin terpesona.
“Apakah benar bahwa warok dulu memiliki semacam kesaktian?” tanya Pak Huntara dengan rasa ingin tahu.
Pak Drs. Bachtiar Rosidi tertawa kecil. “Itu bagian dari mitos yang melekat pada budaya. Tapi kalau kita bicara soal kesaktian, mungkin lebih ke kemampuan mereka menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat. Itu yang lebih penting.”
Malam harinya, mereka duduk di serambi rumah sambil menikmati kopi hitam khas Ponorogo. Bintang-bintang bersinar terang di langit, menciptakan suasana yang damai. Pak Drs. Bachtiar Rosidi berbagi cerita tentang masa pensiunnya. Meskipun kehidupannya sederhana, ia merasa bahagia karena masih bisa berkontribusi kepada masyarakat dengan memberikan bimbingan kepada anak-anak muda.
“Yang terpenting adalah melihat generasi muda berkembang,” katanya dengan nada penuh rasa syukur. “Itulah yang membuat hidup saya terasa berarti.”
Setelah tiga malam yang penuh dengan pengalaman dan pelajaran, tiba waktunya bagi Pak Huntara untuk melanjutkan perjalanan. “Terima kasih banyak, Pak Drs. Bachtiar Rosidi, atas semuanya. Saya belajar banyak di sini,” ucapnya dengan tulus sambil menjabat tangan sahabatnya.
“Perjalananmu belum selesai, Huntara,” jawab Pak Drs. Bachtiar Rosidi. “Semoga apa yang kamu pelajari di sini menjadi bekal untuk langkahmu ke depan. Jangan lupa mampir lagi kapan-kapan.”
Pak Huntara kemudian naik bus menuju Madiun. Ia akan menemui Pak Yunus, seorang sahabat yang selama ini hanya ia kenal lewat media sosial. Perjalanan ini bukan sekadar petualangan fisik, tetapi juga perjalanan untuk memahami nilai-nilai kehidupan yang dalam. Duduk di kursinya, Pak Huntara memandang ke luar jendela bus, menyadari bahwa hidup adalah tentang mempelajari setiap hal kecil yang kita temui di sepanjang perjalanan