Pagi itu, 15 Desember 2024, matahari terbit dengan lembut, menghangatkan kota Jakarta. Abiya terbangun lebih awal dari biasanya. Ia bersemangat karena hari ini Papi-nya, Pak Huntara, telah berjanji akan mengajaknya ke salah satu tempat terkenal di Jakarta.
“Papi, ayo bangun! Kita kan mau jalan-jalan,” seru Abiya sambil menggoyangkan tubuh ayahnya yang masih berbaring di ranjang.
Pak Huntara membuka matanya perlahan, lalu tersenyum. “Iya, iya, Papi sudah bangun. Kamu sudah siap belum?” tanyanya sambil bangkit dari tempat tidur.
Abiya mengangguk penuh semangat. “Sudah dong, Papi! Aku sudah pakai baju sejak tadi!”
Setelah bersiap, mereka turun ke restoran untuk sarapan. Namun, Pak Huntara punya rencana lain. “Abiya, hari ini kita sarapan di luar. Papi mau ajak kamu ke tempat yang spesial dulu sebelum ke Taman Mini,” ujarnya sambil menggandeng tangan anaknya menuju lobi.
Mereka meninggalkan hotel dengan mobil, dipandu oleh Bang Satryo, yang hari itu tampak lebih tenang dibandingkan perjalanan sebelumnya. Tujuan pertama mereka adalah kompleks Pertanian Tanaman Pangan di Pasar Minggu, tempat yang menyimpan banyak sejuta kenangan bagi Pak Huntara.
“Papi, kenapa kita ke sini? Ini tempat apa?” tanya Abiya penasaran.
“Sini, Nak, tempat Papi sering datang waktu masih kuliah dulu. Papi dulu tinggal di sekitar sini, jadi banyak kenangan yang nggak bisa dilupakan,” jawab Pak Huntara dengan senyuman penuh nostalgia.
Mereka masuk ke sebuah warung makan sederhana yang terlihat bersih dan nyaman. Aroma bubur ayam, lontong sayur, dan kopi hitam memenuhi udara. Pak Huntara memesan nasi uduk lengkap dengan lauk, sementara Abiya memilih bubur ayam.
Sambil menikmati sarapan, Pak Huntara bercerita tentang masa-masa kuliahnya. “Dulu, Papi sering sarapan di tempat seperti ini sebelum berangkat kuliah. Rasanya nggak jauh beda sama yang dulu,” katanya.
Abiya mendengarkan dengan antusias. Ia membayangkan Papi yang muda, berjuang mengejar cita-citanya di Jakarta. “Papi pasti keren waktu muda, ya,” katanya sambil tersenyum kecil.
Setelah selesai sarapan dan bernostalgia, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke Taman Mini Indonesia Indah. Jaraknya hanya sekitar 12 kilometer dari hotel, sehingga mereka tiba di sana dalam waktu kurang dari satu jam.
Setibanya di Taman Mini, Abiya langsung terpesona dengan luasnya area tersebut. “Papi, ini besar banget! Kita mau ngapain dulu?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Kita mulai dengan naik kereta gantung, biar kamu bisa lihat semuanya dari atas,” jawab Pak Huntara sambil menggandeng tangan putranya menuju loket tiket.
Mereka membeli tiket kereta gantung seharga 40 ribu per orang. Tak lama kemudian, mereka dipersilakan naik ke salah satu kabin kereta gantung. Abiya duduk di sisi kaca, memandangi pemandangan di bawahnya dengan takjub.
“Papi, lihat! Itu peta Indonesia! Keren banget, ya, bisa lihat pulau-pulau dari sini,” serunya dengan penuh semangat.
Pak Huntara tersenyum melihat kegembiraan anaknya. Dari atas kereta gantung, mereka bisa melihat replika peta Indonesia yang dibuat dengan sangat detail. Anjungan-anjungan daerah yang merepresentasikan budaya setiap provinsi terlihat indah, diperjelas dengan narasi audio dari kereta gantung.
“Ini pulau Sumatera, Abiya. Yang panjang di sana itu Kalimantan, dan yang di ujung itu Papua,” jelas Pak Huntara sambil menunjuk ke bawah.
Abiya mengangguk penuh antusias. “Papi, ini pengalaman terbaikku!” katanya sambil terus memandang ke luar.
Setelah sekitar 40 menit perjalanan pulang pergi dari Stasiun A ke Stasiun B, mereka turun dari kereta gantung. Namun, eksplorasi mereka di Taman Mini belum selesai.
“Kita sewa motor listrik, ya, biar bisa keliling lebih banyak tempat,” kata Pak Huntara sambil mengarahkan Abiya ke tempat penyewaan motor listrik.
Motor listrik itu disewa seharga 70 ribu untuk satu jam. Pak Huntara mengendarai motor, sementara Abiya duduk di belakang dengan tangan memeluk erat pinggang ayahnya.
“Papi, kok Taman Mini luas banget, sih? Kapan ya aku bisa keliling semuanya?” tanya Abiya.
“Makanya kita pakai motor listrik. Kalau jalan kaki, nggak bakal selesai sehari,” jawab Pak Huntara sambil tertawa.
Mereka menyusuri jalan-jalan kecil di dalam Taman Mini, melewati anjungan-anjungan yang menampilkan keunikan budaya dari berbagai daerah di Indonesia. Abiya terus mengomentari apa yang dilihatnya, mulai dari bangunan tradisional hingga patung-patung besar yang menarik perhatiannya.
Setelah satu jam berkeliling, mereka mengembalikan motor listrik ke tempat penyewaan. Abiya, yang mulai kehausan, meminta minuman.
“Papi, aku haus. Boleh beli minum di sana?” tanyanya sambil menunjuk pedagang minuman di pinggir jalan.
“Tentu, Nak. Kamu mau apa?” tanya Pak Huntara sambil mengeluarkan e-money untuk membayar.
Abiya memilih es teh manis. Setelah meneguk minumannya, ia terlihat segar kembali. Namun, anak itu belum puas. “Papi, aku mau coba sepeda. Tapi Papi yang kayuh ya, aku duduk di belakang saja,” pintanya sambil tersenyum manis.
Pak Huntara tertawa kecil. “Baiklah, Nak. Kita sewa sepeda sekarang.”
Mereka menyewa sepeda manual yang dilengkapi tempat duduk tambahan di belakang. Pak Huntara mengayuh sepeda perlahan, sementara Abiya duduk di belakang sambil terus berbicara.
“Papi, ini asyik banget! Aku bisa lihat semuanya pelan-pelan,” katanya dengan gembira.
Pak Huntara hanya tersenyum sambil terus mengayuh. Meski lelah, ia merasa senang bisa memberikan pengalaman yang berharga untuk anaknya.
Mereka menghabiskan waktu hingga pukul 12:13 di Taman Mini. Sebelum meninggalkan tempat itu, Abiya berkata, “Papi, terima kasih sudah ajak aku ke sini. Aku suka banget!”
Pak Huntara menatap putranya dengan penuh kasih. “Apa pun untuk kamu, Nak. Yang penting kamu bahagia.”
Perjalanan mereka hari itu adalah kenangan yang akan selalu teringat dalam hati Abiya. Ia belajar banyak tentang kebudayaan Indonesia, sekaligus merasakan kasih sayang Papi-nya yang begitu besar. Bagi Pak Huntara, melihat senyum bahagia di wajah putranya adalah hadiah terbaik dari perjalanan ini.