Pagi itu, sinar matahari menembus dedaunan di taman kota. Tere duduk di bangku kayu, memainkan ponselnya dengan malas. Gadis berambut hitam panjang dengan kepangan khas itu memang sering menarik perhatian orang yang lewat. Dengan kulit putih bersih dan senyumnya yang ramah, Tere tak ubahnya bunga di antara rerumputan.
Namun ada hal unik yang membuatnya berbeda dari gadis kaya lainnya: kesukaannya pada jajanan tradisional. Alih-alih croissant atau brownies mewah, Tere lebih menyukai cenil—jajanan sederhana dari singkong, ditaburi kelapa parut, dan disiram gula merah.
Di taman itulah, Tere pertama kali bertemu Suparjo.
Suparjo adalah pemuda tampan, dengan tubuh tegap dan mata yang tajam. Dia mahasiswa semester akhir di salah satu universitas negeri, namun kesehariannya dihabiskan menjual cenil untuk mencukupi kebutuhan kuliahnya. Setiap pagi, Suparjo mendorong gerobak cenilnya dan berhenti di taman kota.
“Mas, cenil satu ya,” ujar Tere dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Suparjo menoleh. Sejenak, ia terpaku pada kecantikan gadis itu. Namun segera saja ia tersadar, mengambil piring kecil dan menyendokkan cenil yang masih hangat. “Ini, Mbak. Cenilnya baru saja matang. Silakan dicoba.”
Tere mengambil piring itu dengan tangan mungilnya. “Terima kasih. Hm, wanginya enak sekali.”
Sejak hari itu, Tere menjadi pelanggan tetap Suparjo. Hampir setiap pagi ia datang ke taman, membeli cenil, dan menyempatkan diri berbincang dengan Suparjo. Mereka berbagi cerita tentang banyak hal—tentang tugas kuliah Suparjo yang menumpuk, tentang Tere yang bosan dengan pesta-pesta mewah di rumahnya, dan tentang cita-cita mereka di masa depan.
“Aku ingin punya toko kue sendiri suatu hari nanti,” kata Suparjo suatu pagi. “Toko yang menjual jajanan tradisional, agar orang-orang tidak melupakan makanan khas kita.”
Tere tersenyum mendengar impian itu. Ada kekaguman dalam matanya.
“Aku yakin kamu bisa mewujudkannya, Mas Suparjo,” ucapnya penuh semangat.
Namun, kebahagiaan sederhana itu tidak berlangsung lama. Hubungan Tere dan Suparjo segera tercium oleh orang tua Tere.
“Tere, Mama dengar kamu sering bergaul dengan penjual cenil di taman?” suara Mama Tere terdengar tajam saat mereka sedang makan malam.
Tere tertegun, sumpit di tangannya berhenti di udara. “Mas Suparjo, Ma? Iya, dia teman baikku.”
“Teman baik? Dia cuma pedagang kecil, Tere!” Papa Tere menimpali. “Kamu tahu kan keluarga kita seperti apa? Kamu nggak cocok bergaul dengan orang seperti dia.”
“Tapi, Pa, dia orang baik. Dia bekerja keras untuk kuliahnya, dan…”
“Dan apa? Apa kamu jatuh cinta padanya?” suara Papa semakin meninggi.
Tere tidak menjawab. Pipinya memerah, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya.
“Kamu harus berhenti bertemu dengannya, Tere. Ingat status kita. Kamu tidak boleh mempermalukan keluarga ini,” ujar Mama dengan nada tegas.
Sejak saat itu, Tere dilarang pergi ke taman. Ia hanya bisa memandangi jendela kamarnya, merindukan senyum hangat Suparjo dan aroma cenil yang selalu membangkitkan selera.
Namun cinta membuatnya keras kepala. Suatu pagi, ia diam-diam keluar dari rumah dan pergi ke taman.
“Mas Suparjo,” panggilnya sambil terengah-engah. “Aku nggak bisa lama-lama di sini. Tapi aku harus bilang… aku suka sama kamu.”
Suparjo terkejut, tak tahu harus berkata apa. Namun ia juga tak bisa membohongi hatinya. “Tere, aku juga suka sama kamu. Tapi… kita dari dunia yang berbeda. Orang tuamu pasti tidak akan setuju.”
Tere menggenggam tangan Suparjo erat-erat. “Aku nggak peduli. Aku ingin kita bersama.”
Hari-hari berikutnya, Tere dan Suparjo bertemu secara diam-diam. Namun hubungan mereka tidak bertahan lama setelah keluarga Tere mengetahui pertemuan itu.
“Tere, kamu bikin Papa malu! Kalau kamu terus begini, Papa nggak akan menganggap kamu anak lagi!” teriak Papa suatu malam.
Hati Tere hancur mendengar kata-kata itu. Ia merasa terjebak di antara cinta dan kewajibannya sebagai anak. Pada akhirnya, ia mengambil keputusan nekat.
Malam itu, Tere pergi ke kebun belakang rumah. Di sana, ada pohon kencur tua yang tumbuh rindang. Dengan seutas kain, ia mencoba mengakhiri hidupnya.
Namun sayang, usahanya tidak berhasil. Kain itu robek sebelum sempat menahan tubuhnya, dan Tere jatuh ke tanah dengan keras.
Esok paginya, ia ditemukan oleh pembantu rumah tangga, pingsan dengan tubuh penuh luka ringan.
Kabar itu sampai ke telinga Suparjo. Dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada, ia datang ke rumah Tere.
“Maaf, Pak, Bu. Saya hanya ingin memastikan Tere baik-baik saja,” ujarnya penuh sopan.
Mama Tere menatapnya dengan dingin. “Pergi dari sini. Semua ini salah kamu!”
Namun sebelum Suparjo sempat pergi, Tere muncul dari balik pintu. Wajahnya pucat, namun matanya tetap memancarkan kekuatan.
“Papa, Mama, aku mencintai Mas Suparjo. Kalau kalian nggak bisa menerima itu, aku nggak peduli,” katanya tegas.
“Tere, kamu nggak tahu apa yang kamu katakan,” ujar Papa sambil menahan marah.
“Tidak, Pa. Aku tahu persis apa yang aku rasakan.”
Suparjo maju ke depan, menatap Papa Tere dengan penuh keberanian. “Pak, saya tahu saya bukan siapa-siapa. Tapi saya benar-benar mencintai Tere. Saya akan bekerja keras untuk membuatnya bahagia. Tolong beri saya kesempatan.”
Namun Papa Tere tetap tidak luluh. Ia menarik Tere masuk ke dalam rumah, meninggalkan Suparjo di depan pintu.
Hari-hari berlalu, dan Tere semakin terpuruk. Ia tidak diizinkan keluar rumah, bahkan untuk sekadar melihat taman. Sementara itu, Suparjo terus menjalani hidupnya, namun hatinya selalu tertinggal di taman tempat mereka biasa bertemu.
Namun cinta sejati tidak pernah padam. Pada suatu hari, Tere nekat kabur dari rumah dan menemui Suparjo.
“Mas, aku nggak bisa hidup tanpa kamu,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Suparjo menggenggam tangan Tere, menatapnya dalam-dalam. “Tere, aku juga nggak bisa hidup tanpa kamu. Tapi aku nggak ingin kamu melawan orang tuamu. Kita harus mencari cara lain.”
Akhirnya, mereka memutuskan untuk menunggu. Suparjo bertekad menyelesaikan kuliahnya dan membuktikan kepada keluarga Tere bahwa ia pantas mendapatkan cinta Tere.
Lima tahun kemudian, Suparjo berhasil membuka toko kue tradisional, seperti yang selalu ia impikan. Toko itu dinamai “Cenil Cinta”, sebagai penghormatan atas kisah cinta mereka yang penuh liku.
Orang tua Tere akhirnya luluh melihat ketulusan dan kerja keras Suparjo. Mereka memberikan restu, dan Tere serta Suparjo pun menikah dalam sebuah upacara sederhana namun penuh kebahagiaan.
Cinta mereka, yang berawal dari sepotong kue cenil, kini tumbuh menjadi sesuatu yang lebih manis dan abadi.
Nama: Rifky abdilah
Kelas:10 TSM 1
Komen:
Tentang kerja keras dan ketulusan suparjo
setelah saya membaca karya ini,sy tahu jikaa orang yang kita pandang rendah tidak mungkin jika tidak bisaa berjaya
Sedih
Alpin jaya santosa
Kelas 10 tsm 1
Komen:tentang kerja keras dan ketulusan suparjo
jangan melihat orang dari penampilan nya saja,roda kehidupan berputar dan yang namanya cinta akan selalu bersama.
okeh saya sedih membaca ini