Senin malam pukul 19:45, 25 November 2024, Handphone Pak Huntara bergetar di meja kerja. Ia baru saja menyelesaikan presentasi untuk mengajar besok. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar: pesan dari Opa Bono. Dengan penasaran, ia membuka pesan itu.
“Papa Abi, rumah opa yang di bbelakang chandra supermaket sudah dibayar ganti untungnya. Akhirnya opa bisa beli rumah baru. Ini lokasinya di Kedamaian. Rumahnya masih direnovasi, tapi nanti kalau selesai, opa akan pindah. Garasinya juga cukup besar untuk mobil Avanza Abi. Ini fotonya.”
Pak Huntara tersenyum melihat foto rumah yang dikirimkan Opa Bono. Rumah itu tampak sederhana namun nyaman, dengan dinding krem dan halaman kecil yang cukup luas. Di garasi yang sedang dibangun, terlihat tukang-tukang sibuk bekerja.
“Selamat, Opa. Rumahnya bagus sekali. Pasti nyaman tinggal di sana,” balas Pak Huntara sambil menyertakan emoji jempol.
Tak lama, Opa Bono menjawab, “Terima kasih, Papa Abi. Kalau sudah selesai, saya akan kabari. Insyaallah akhir bulan Desember nanti opa pindah kedamaian.”
Pak Huntara membayangkan betapa bahagianya Opa Bono akhirnya bisa memiliki rumah baru yang lebih besar dari rumah sebelumnya. Meski usia mereka terpaut jauh, hubungan persahabatan di antara mereka sangat erat. Apalagi, Opa Bono juga dekat dengan Abi, anak semata wayang Pak Huntara yang sedang meniti karier sebagai penyanyi cilik.
Hari demi hari berlalu. Komunikasi antara Pak Huntara dan Opa Bono tetap berjalan seperti biasa, Opa bono sangat baik , ramah dan perhatian dengan Pak Huntara dan abiya. Opa Bono sesekali mengirim kabar perkembangan renovasi rumahnya, mulai dari pemasangan keramik hingga pengecatan tembok.
Namun, di balik semangatnya, Opa Bono tak pernah menunjukkan kelemahan. Padahal, ia memiliki riwayat asma yang sering membuatnya keluar-masuk rumah sakit.
Kamis, 12 Desember 2024
Pagi itu, Pak Huntara mengantarkan Abi berangkat sekolah, Dalam perjalanan ke kantor Pak Huntara Tiba-tiba, teleponnya berdering. Kali ini, bukan pesan dari Opa Bono, melainkan telepon dari seorang teman di Bandar Lampung.
“Halo, Papa Abi. Saya punya kabar duka,” suara di seberang terdengar berat.
“Ada apa, Mas?” tanya Pak Huntara, merasa ada sesuatu yang tak beres.
“Opa Bono… meninggal dunia tadi malam. Asmanya kambuh, dan beliau sempat dibawa ke rumah sakit namun tidak tertolong.”
Berita itu menghantam hati Pak Huntara seperti petir di siang bolong. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja disampaikan, pak Huntara linglung dan menghentikan mobilnya ditepi jalan.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” ucapnya pelan. “Terima kasih sudah mengabari saya, Mas.”
Setelah menutup telepon, Pak Huntara termenung. Kenangan-kenangan bersama Opa Bono melintas di benaknya. Sosok pria paruh baya itu selalu ramah, penuh senyum, dan tulus dalam persahabatan.
Opa Bono bukan hanya teman bagi Pak Huntara, tetapi juga sosok kakek yang disayangi oleh Abi. Ketika Abi membuat video klip lagu pertamanya, “Aku Bukan Sultan Andara,” Opa Bono dengan senang hati menjadi modelnya. Dalam video itu, ia berperan sebagai seorang pria tua yang sederhana, namun tetap bahagia dengan kehidupannya. Perannya begitu natural, seolah-olah itu adalah cerita hidupnya sendiri.
Beberapa hari setelah kabar duka itu, Pak Huntara dan Abi menghadiri takziah di rumah duka. Abi tampak diam sepanjang perjalanan, wajahnya muram.
“Abi, kamu nggak apa-apa?” tanya Pak Huntara, memecah keheningan.
Abi mengangguk pelan, tapi matanya berkaca-kaca. “Opa Bono orang yang baik, Papi. Abi nggak nyangka beliau pergi secepat ini.”
Pak Huntara meremas bahu Abi dengan lembut. “Kita doakan yang terbaik untuk beliau, ya. Semoga Allah memberikan tempat terbaik di sisi-Nya.”
Di rumah duka, suasana haru menyelimuti. Banyak kerabat dan teman-teman Opa Bono datang memberikan penghormatan terakhir. Pak Huntara mengenang momen-momen ketika Opa Bono datang ke rumah sunat ABM saat Abi di khitan. Waktu itu, meski sibuk, Opa Bono menyempatkan diri untuk hadir dan memberikan dukungan kepada Abi.
Setelah tejiah, Pak Huntara dan Abi kembali ke rumah. Abi mengunci diri di kamarnya. Pak Huntara tahu, anaknya sedang berduka. Beberapa saat kemudian, Abi keluar sambil membawa buku Yasin .
“Papi, Abi mau baca yasin buat Opa Bono. Boleh, kan pi?” tanyanya dengan suara serak.
“Tentu, Nak. Itu ide yang bagus. Opa Bono pasti bangga kalau tahu , abiya mengrimkan doa buat beliau.”
Abi mulai membaca buku yasin nya, dengan nada-nada yang sedih. Lantunan suara yang sederhana mengalir dari mulutnya, penuh dengan kejujuran dan kenangan.
” Yā Sīn.
wal-qur’ânil-ḫakîm
innaka laminal-mursalîn
‘alâ shirâthim mustaqîm “
Pak Huntara mendengarkan dari kejauhan. Hatinya hangat sekaligus pilu. Kehilangan Opa Bono adalah luka,luka yang mendalam.
Desember berakhir dengan penuh kenangan. Rumah baru di Kedamaian yang diimpikan Opa Bono kini menjadi simbol harapan yang tertunda. Namun, bagi Pak Huntara dan Abi, kebaikan hati dan ketulusan Opa Bono akan selalu hidup dalam ingatan mereka.



Hatinya pak huntara hangat sekaligus pilu. Kehilangan Opa Bono adalah luka,luka yang mendalam.
Kisah ini menceritakan tentang opa bono yang semasa hidupnya selalu ceria dan baik jdi beliau tiada pun tetap diingat oleh orang lain kebaikannya dan ceria nya .
refleksi : seseorang yang kehilangan orang terdekat itu merupakan luka terberat bagi dirinya, oleh sebab itu kita sebagai manusia harus selalu berbuat baik dan iklas dengan kenyataan yang terjadi.
Turut berduka cita atas meninggalnya opa bono
OPA Bono adalah orang yang baik dan sangat ramah