Erna duduk termenung di tepi ranjang dengan Sari yang masih bayi dalam gendongannya. Matanya basah, tapi ia tahu keputusan ini yang terbaik. Ia tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya.
“Pur, aku titip Sari, ya?” suaranya bergetar saat menyerahkan bayi mungil itu kepada Purwanti, budenya yang seorang pengacara sukses.
Purwanti menerima Sari dengan hati-hati. “Aku akan menjaganya seperti anakku sendiri, Erna. Tapi kau harus yakin dengan keputusan ini.”
Erna mengangguk, meskipun hatinya menjerit. Ia ingin membesarkan Sari sendiri, tapi kondisi hidupnya tidak memungkinkan. Dengan hati berat, ia merelakan putrinya diadopsi oleh Purwanti.
Tahun demi tahun berlalu, Sari tumbuh menjadi gadis cerdas dan berprestasi. Purwanti mendidiknya dengan disiplin tinggi. Sari mendapatkan pendidikan terbaik, hidup berkecukupan, dan tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang.
Meski begitu, di lubuk hatinya, ia tetap bertanya-tanya tentang ibu kandungnya. Mengapa ia ditinggalkan? Seperti apa kehidupannya sekarang?
Purwanti tak pernah menutupi kenyataan. Ia menceritakan bahwa Erna menyerahkan Sari karena ingin kehidupan yang lebih baik untuknya.
Namun, satu hal yang Sari tidak tahu—Erna kini sudah menikah lagi dengan seorang pria bernama Zainal dan hidup berkecukupan di Medan.
Suatu hari, di sekolahnya, seorang wanita mendekatinya. Wajahnya cantik dan lembut, ada sesuatu yang familiar dalam tatapan matanya.
“Sari?” wanita itu menyapa dengan suara gemetar.
Sari tertegun. “Iya, saya Sari. Ibu siapa?”
Wanita itu tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. “Aku ibumu, Nak.”
Sari terdiam. Ibu kandungnya? Ia tak tahu harus merasa bagaimana. Kecewa? Marah? Senang?
Dameria, yang dulu Erna, mengajak Sari jalan-jalan. Mereka makan bersama, berbincang lama. Dameria sangat ramah dan hangat, berbeda dengan kesan yang selama ini ia bayangkan.
“Kau tahu, Nak, aku selalu merindukanmu. Aku ingin menemuimu sejak lama, tapi aku takut kau membenciku.”
Sari mulai merasa nyaman dengan Dameria. Kedekatan mereka semakin terjalin.
Namun, di rumah, Purwanti mulai menyadari perubahan Sari. Gadis itu sering melamun, kadang terlihat gelisah. Purwanti bisa menebak penyebabnya.
“Kau bertemu ibumu, bukan?” tanyanya lembut.
Sari menunduk. “Iya, Bude. Aku bingung…”
Purwanti menghela napas. “Aku tahu saatnya akan tiba. Jika kau ingin mengenalnya lebih jauh, aku tidak akan menghalangi.”
Sari tersentuh. Bude Purwanti memang selalu memahami perasaannya.
Sepuluh tahun sejak pertemuan pertama itu, saat Purwanti harus ke luar negeri untuk urusan pekerjaan, Sari mengambil keputusan besar.
Ia pergi ke Medan menemui ibu kandungnya.
Dameria menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Sari kini berusia 18 tahun, sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan pintar. Ia berharap Sari mau tinggal bersamanya untuk selamanya.
Zainal, suami Dameria, juga menerima Sari dengan tangan terbuka. Saudara tirinya, Rafi dan Zulaikha, tampak ramah.
Namun, perlahan, Sari mulai merasakan perbedaan gaya hidup keluarga kandungnya. Dameria dan Zainal terbiasa hidup mewah, sedangkan Sari yang dibesarkan dengan kedisiplinan tinggi oleh Purwanti merasa canggung dengan gaya hidup santai dan penuh kemewahan itu.
Ia mulai merasa tidak cocok. Ia juga rindu dengan kehidupannya di rumah Bude Purwanti, dengan rutinitasnya yang sudah teratur.
Saat Purwanti kembali dari luar negeri, ia langsung menyusul ke Medan.
Dameria terkejut melihat kedatangan Purwanti. Mereka berbicara dengan tegang.
“Sari anakku! Aku berhak mendapatkannya kembali,” ujar Dameria.
Purwanti tetap tenang. “Aku tidak pernah menganggap Sari sebagai milikku. Aku hanya menjaganya. Jika Sari ingin tinggal denganmu, aku tidak akan menghalangi.”
Dameria terdiam. Ia mengira Purwanti akan melawan, tapi ternyata tidak.
Kini keputusan ada di tangan Sari.
Sari menunduk, hatinya bimbang.
Akhirnya, ia berkata pelan, “Aku ingin tetap tinggal di sini, bersama ibu kandungku.”
Hati Purwanti terasa nyeri, tapi ia menghormati pilihan Sari.
Bulan demi bulan berlalu, tapi Sari mulai merasa gelisah. Ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga barunya. Ia merindukan rutinitasnya di rumah Bude.
Suatu hari, dengan hati berat, ia mengutarakan keinginannya kepada Dameria.
“Ibu, aku ingin kembali ke rumah Bude…”
Dameria terkejut dan terluka. “Kenapa, Sari? Apa aku kurang baik padamu?”
Sari menggenggam tangan ibunya. “Bukan begitu, Ibu. Aku hanya merasa lebih nyaman di rumah Bude. Aku merasa… lebih cocok di sana.”
Dameria akhirnya mengerti. Dengan hati berat, ia merelakan Sari kembali ke rumah Purwanti.
Saat melihat Bude Purwanti menjemputnya, Sari langsung memeluknya erat.
Purwanti tersenyum lembut. “Selamat datang di rumah, Nak.”
Sari tersenyum. Ia tahu kini bahwa kasih sayang bukan hanya soal darah, tetapi juga tentang di mana hatinya merasa paling nyaman.