Abiya membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Waktu menunjukkan pukul 04.30 pagi. Ia segera bangkit, merapikan tempat tidurnya, dan berjalan menuju kamar mandi untuk wudhu. Saat kembali, ia melihat ayah sudah menunggu di ruang keluarga.
“Sudah siap salat, Nak?” tanya ayah sambil tersenyum.
“Siap, Yah,” jawab Abiya, mengambil peci dan sajadah mau ke masjid
Setelah salat subuh, mereka berdoa bersama. Ayah kemudian menasihatinya, seperti yang biasa ia lakukan setiap pagi.
“Ingat, Abiya, hari yang dimulai dengan doa itu pasti penuh berkah. Jangan pernah lupa beribadah, ya,” ujar ayah lembut.
Abiya mengangguk. “Iya, Yah. Abiya nggak mau lupa. Rasanya tenang kalau habis salat.”
Setelah itu, Abiya mengganti pakaian olahraga. Ia mengambil sepatu larinya dan keluar ke halaman rumah. Udara pagi terasa segar, dan ia mulai berlari kecil mengelilingi kompleks.
“Abiya, rajin banget olahraganya,” sapa Bu Mira, tetangga sebelah, yang sedang menyiram tanaman.
“Harus, Bu, biar tubuh sehat. Kalau sehat, belajar juga jadi lebih fokus,” jawab Abiya sambil tersenyum.
Setelah sekitar 15 menit berlari, ia kembali ke rumah dengan keringat membasahi dahi. Di meja makan, ibu sudah menyiapkan sarapan.
“Pagi, Bu! Wangi banget nih sarapannya,” kata Abiya sambil mencium pipi ibunya.
“Selamat pagi, Sayang. Ibu masak telur rebus, sayur tumis, sama buah potong. Biar gizimu tercukupi,” jawab ibu sambil menuangkan susu ke gelas Abiya.
Saat makan, ibu memberikan nasihat seperti biasa. “Makan makanan bergizi itu investasi, Nak. Tubuh yang sehat itu modal untuk mengejar cita-cita.”
“Iya, Bu. Makasih ya, makanannya enak banget,” kata Abiya sambil menyelesaikan suapan terakhir.
Setelah sarapan, Abiya bersiap-siap ke sekolah. Ia memastikan semua buku pelajaran sudah masuk ke dalam tas. Di perjalanan, ia bertemu Senja, sahabatnya.
“Abiya, tugas Matematika kamu sudah selesai? Aku masih bingung cara ngerjain nomor tujuh,” keluh Senja sambil menghela napas.
Abiya tersenyum. “Sudah, kok. Nanti di kelas aku ajarin, ya. Nomor tujuh itu cuma butuh rumus turunan, nggak susah kok kalau tahu caranya.”
Di sekolah, Abiya dikenal sebagai siswa yang haus akan ilmu. Di sela-sela jam istirahat, ia sering terlihat di perpustakaan. Hari itu, ia meminjam buku tentang teknologi terbaru. Ketika membaca, Danu, teman sekelasnya, menghampiri.
“Abiya, aku boleh minta tolong nggak? Aku nggak ngerti pelajaran IPA yang tadi,” tanya Danu malu-malu.
“Tentu, Danu . Yuk, kita belajar bareng nanti pas pulang sekolah,” jawab Abiya tulus.
Sore itu, Abiya mengajari Danu di taman dekat rumah. Dengan sabar, ia menjelaskan materi hingga Edo mengangguk tanda paham.
“Terima kasih banyak, Abiya. Kamu baik banget,” kata Danu dengan wajah lega.
“Sama-sama. Kalau ada yang nggak paham lagi, bilang aja,” ujar Abiya sambil tersenyum.
Kepedulian Abiya terhadap orang lain tidak hanya terbatas pada teman-temannya. Suatu waktu, di pasar, ia melihat seorang ibu tua kesulitan membawa barang belanjaannya.
“Bu, saya bantu, ya,” kata Abiya sambil mengambil kantong belanjaan dari tangan ibu itu.
“Terima kasih, Nak. Kamu anak yang baik sekali,” ujar ibu itu dengan wajah penuh syukur.
Menjelang sore, setelah menyelesaikan tugas sekolahnya, Abiya main dengan Ayahnya, di halaman rumah nya yang asri
“Ayo, Yah, tendang bolanya! Aku pasti bisa menangkap!” seru Abiya dengan semangat.
Ayahnya tertawa. “Oke, siap-siap ya, abiya”
Mereka bermain hingga matahari terbenam. Setelah makan malam, Abiya kembali ke kamarnya untuk mengevaluasi hari itu. Ia membuka buku hariannya dan menulis apa saja yang telah ia pelajari serta rencananya untuk esok hari.
Pukul sembilan malam, Abiya mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur. Sebelum tidur, ia teringat nasihat ibunya.
“Tidur cukup itu penting, Abiya. Kalau tubuh kita kurang istirahat, besoknya pasti lemas,” kata ibu suatu waktu.
Abiya tersenyum dalam hati, mengingat semua kebiasaan baik yang sudah ia lakukan hari itu. Ia yakin, kebiasaan kecil ini akan membantunya mencapai impiannya suatu hari nanti. Dengan hati penuh rasa syukur, ia memejamkan mata, siap menyambut hari esok dengan semangat yang sama.
Anak-anak seperti Abiya adalah harapan bangsa. Dengan kebiasaan baik yang dilakukan setiap hari, mereka bukan hanya membangun masa depan yang cerah untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.