Malam itu hujan turun deras di desa kecil yang sunyi. Petir sesekali menyambar, memecah keheningan malam. Pak Wargo baru saja selesai menunaikan shalat Isya ketika telinganya menangkap suara lirih dari arah beranda masjid. Awalnya ia mengira itu hanya suara angin atau binatang malam, tetapi suara itu semakin jelas—tangisan bayi.
Dengan rasa penasaran bercampur khawatir, Pak Wargo keluar dari masjid, menerobos hujan yang mengguyur deras. Di sudut beranda, ada sebuah kardus yang basah terkena tempias air hujan. Saat didekati, betapa terkejutnya Pak Wargo melihat seorang bayi terbungkus kain lusuh di dalamnya. Bayi itu menggigil, wajah kecilnya memerah karena kedinginan.
“Ya Allah…” bisiknya pelan. Dengan cepat, Pak Wargo melepas sarungnya, membungkus bayi itu dengan hati-hati.
Ia membawa pulang bayi itu ke rumah kecilnya yang sederhana di pinggir desa.
“Mulai malam ini, kau anakku,” gumamnya sambil menimang bayi itu. “Namamu Daka.”
Daka, Anak yang Berprestasi
Daka tumbuh menjadi anak yang cerdas dan rajin. Sejak kecil, ia menunjukkan kecintaan pada belajar. Buku-buku yang diberikan oleh Pak Wargo selalu habis dibacanya dengan penuh semangat.
Di sekolah dasar, Daka selalu mendapat nilai terbaik di kelas. Guru-guru memujinya sebagai anak yang pintar dan berbakat. Meski hidup sederhana bersama Pak Wargo, Daka tidak pernah merasa minder.
“Apa rahasia kau bisa pintar begitu, Dak?” tanya teman-temannya suatu hari.
Daka tersenyum polos. “Belajar saja tiap malam. Kata Bapak, ilmu itu lebih berharga daripada harta.”
Namun, kesuksesan Daka tidak selalu disambut dengan tangan terbuka. Ada beberapa teman yang merasa iri padanya. Salah satunya adalah Fikri, anak kepala desa yang selalu merasa dirinya paling hebat.
“Ah, Daka cuma sok pintar. Lagian bapaknya kan cuma petani tua,” sindir Fikri saat mereka bermain di halaman sekolah.
Daka hanya diam. Ia tidak suka berkonflik. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sedih mendengar ejekan itu.
Suatu hari, sekolah mengadakan lomba cerdas cermat antar kelas. Daka yang mewakili kelasnya tampil gemilang. Ia berhasil menjawab hampir semua pertanyaan dengan tepat dan membawa timnya menjadi juara.
Namun, kemenangan itu membuat Fikri semakin iri.
“Pasti Daka nyontek!” seru Fikri saat upacara pemberian piala.
Guru dan teman-teman terkejut mendengar tuduhan itu.
“Tidak mungkin!” sahut teman-teman Daka yang membelanya.
Tapi Fikri terus menyebarkan fitnah, mengatakan bahwa Daka mendapat bocoran soal dari guru.
Kabar itu sampai ke telinga Pak Wargo. Saat Daka pulang dengan wajah murung, Pak Wargo langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa, Nak?” tanya Pak Wargo lembut.
Daka menunduk. “Mereka bilang aku curang, Pak…”
Pak Wargo terdiam sejenak, lalu menepuk bahu anak itu dengan lembut.
“Dengarkan Bapak baik-baik, Nak,” katanya bijak. “Orang yang iri hanya berusaha menjatuhkan kita karena mereka tidak bisa menjadi seperti kita. Tapi kalau kau jujur dan benar, tidak perlu takut. Kebenaran akan selalu menang.”
Kata-kata itu menguatkan hati Daka.
Beberapa hari kemudian, pihak sekolah memutuskan untuk mengadakan ujian ulang bagi Daka, untuk membuktikan bahwa ia benar-benar layak menjadi juara.
Daka tidak gentar. Dengan percaya diri, ia mengerjakan semua soal dengan baik dan kembali mendapat nilai sempurna.
Guru-guru kagum. Bahkan kepala sekolah pun memberikan penghargaan khusus kepada Daka sebagai simbol kejujuran dan integritas.
“Kau anak yang luar biasa, Daka,” kata kepala sekolah saat menyerahkan piagam penghargaan.
Fikri yang semula sombong hanya bisa menunduk malu.
Sepulang sekolah, Daka berlari ke rumah dengan wajah berseri-seri.
“Pak! Aku tidak curang! Aku juara lagi!” serunya penuh semangat.
Pak Wargo tersenyum lebar, air matanya hampir jatuh.
“Bapak selalu tahu kau anak yang jujur dan hebat, Nak,” katanya bangga.
Sore itu, di bawah langit yang mulai meredup, Daka dan Pak Wargo duduk di beranda rumah sederhana mereka.
“Hidup ini tidak selalu mudah, Nak,” ujar Pak Wargo bijak. “Tapi kalau kau tetap jujur dan bekerja keras, dunia akan melihat usahamu.”
Daka mengangguk mantap. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, tetapi dengan Pak Wargo di sisinya, ia yakin mampu menghadapi segala tantangan