Turimin dan Tulkiyem telah mengenal satu sama lain sejak awal masuk SMP. Di antara pertemuan-pertemuan sederhana di kantin sekolah, perpustakaan, atau sekadar berbagi pandangan saat jam pelajaran, benih cinta mulai tumbuh tanpa mereka sadari. Meskipun berbeda kelas, mereka selalu menemukan cara untuk bersama, berbagi cerita, dan tertawa.
Namun, ada satu hal yang mereka sembunyikan dari semua orang, termasuk sahabat-sahabat terdekat mereka: kedua orang tua mereka, Sabar dan Komar, terlibat dalam perseteruan bisnis yang memanas. Kedua pria itu adalah pengusaha besar di kota kecil mereka, namun perbedaan visi dan ambisi telah menciptakan jurang permusuhan.
Turimin tahu bahwa ayahnya, Komar, tidak akan pernah mengizinkan dia mendekati anak dari Sabar. Sementara Tulkiyem pun menyadari betapa keras kepala ayahnya dalam menyimpan dendam. Tapi, cinta tidak peduli dengan konflik. Mereka tetap bertemu secara diam-diam, merencanakan masa depan yang indah bersama.
“Turimin, kita tidak bisa terus begini,” kata Tulkiyem suatu sore, duduk di bawah pohon beringin di belakang sekolah.
“Apa maksudmu?” tanya Turimin, menatap mata Tulkiyem yang penuh kekhawatiran.
“Kita harus pergi. Kalau kita tetap di sini, mereka tidak akan pernah mengizinkan kita bersama,” jawab Tulkiyem sambil menggenggam tangan Turimin erat.
Turimin terdiam. Ia tahu Tulkiyem benar, tapi ide untuk meninggalkan rumah dan keluarga bukanlah hal yang mudah. “Kita mau ke mana?”
“Ke mana saja. Selama kita bersama, aku tidak peduli,” jawab Tulkiyem dengan penuh keyakinan.
Setelah berminggu-minggu memikirkan rencana, akhirnya mereka memutuskan untuk kabur. Pada malam yang gelap, mereka meninggalkan rumah masing-masing dengan membawa tas kecil berisi pakaian dan beberapa makanan.
Setelah berjalan selama berjam-jam melewati hutan yang lebat, Turimin dan Tulkiyem mulai kelelahan. Mereka menemukan sebuah gua kecil yang tampak seperti tempat berlindung sementara.
“Kita istirahat di sini dulu,” ujar Turimin sambil meletakkan tasnya.
Tulkiyem mengangguk. Meski lelah, ia merasa lega bisa berada jauh dari tekanan orang tua mereka. Mereka menyalakan senter dan duduk di dalam gua yang dingin.
Namun, hari-hari berikutnya menjadi semakin sulit. Makanan yang mereka bawa habis lebih cepat dari perkiraan, dan air mulai sulit ditemukan. Cuaca yang dingin membuat Turimin mulai jatuh sakit.
“Turimin, kamu kenapa? Kamu kelihatan pucat,” tanya Tulkiyem dengan cemas, memegang kening Turimin yang panas.
“Aku… aku baik-baik saja,” kata Turimin lemah, meski tubuhnya gemetar karena demam.
Tulkiyem tahu ia harus melakukan sesuatu. “Tunggu di sini. Aku akan mencari obat atau bantuan.”
Turimin mencoba menahan Tulkiyem, tapi kekuatannya sudah habis. “Hati-hati, Tulkiyem,” bisiknya sebelum kembali terbaring lemas.
Dengan langkah yang gemetar, Tulkiyem keluar dari gua, menyusuri hutan dengan hati-hati. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, tapi pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyelamatkan Turimin.
Di tengah perjalanan, Tulkiyem menemukan sebuah desa kecil. Dengan keberanian yang tersisa, ia meminta bantuan dari seorang wanita tua yang baik hati.
“Nak, kamu kelihatan sangat cemas. Apa yang terjadi?” tanya wanita itu.
“Sahabat saya sakit. Dia demam tinggi dan lemah,” jawab Tulkiyem, tidak ingin menjelaskan terlalu banyak.
Wanita itu memberikan ramuan tradisional dan menyarankan Tulkiyem untuk segera membawa Turimin ke desa. Namun, Tulkiyem ragu. Jika mereka kembali ke desa, kemungkinan besar orang tua mereka akan menemukannya. Tapi demi Turimin, ia tahu ia harus mengambil risiko.
Sementara itu, di kota, Sabar dan Komar mulai panik setelah menyadari anak-anak mereka hilang. Meski masih menyimpan dendam satu sama lain, keduanya sepakat untuk bekerja sama mencari Turimin dan Tulkiyem.
“Saya tidak peduli dengan urusan bisnis kita sekarang. Yang penting anak-anak kita ditemukan,” ujar Sabar dengan nada tegas.
Komar mengangguk. “Setidaknya untuk saat ini, kita sepakat.”
Mereka mengerahkan orang-orang untuk mencari ke seluruh penjuru kota, hutan, dan desa-desa terdekat.
Tulkiyem kembali ke gua dengan ramuan di tangannya. Ia segera memberikan ramuan itu kepada Turimin, yang perlahan mulai merasa lebih baik.
“Kamu hebat, Tulkiyem,” kata Turimin dengan suara lemah tapi penuh rasa terima kasih.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suara langkah kaki terdengar dari luar gua. Tulkiyem langsung berdiri, bersiap menghadapi siapa pun yang datang.
Ternyata, itu adalah Sabar dan Komar bersama beberapa orang lainnya.
“Tulkiyem! Turimin!” seru Sabar, berlari mendekati mereka.
“Ayah?” Tulkiyem terkejut sekaligus lega.
Komar segera menghampiri Turimin dan memeriksanya. “Kamu baik-baik saja, Nak?”
Turimin mengangguk pelan. “Ayah… aku minta maaf.”
Melihat kondisi anak-anak mereka yang lemah dan terluka, kebencian di antara Sabar dan Komar perlahan mencair.
“Kita terlalu sibuk dengan ego kita sampai lupa bahwa mereka yang harus menanggung akibatnya,” ujar Sabar dengan nada menyesal.
Komar mengangguk. “Kita harus berubah, demi mereka.”
Turimin dan Tulkiyem akhirnya dibawa pulang dan dirawat hingga pulih. Sementara itu, Sabar dan Komar memutuskan untuk mengakhiri perseteruan mereka. Mereka menyadari bahwa bisnis tidak seharusnya menghancurkan hubungan keluarga dan kebahagiaan anak-anak mereka.
Beberapa bulan kemudian, Turimin dan Tulkiyem kembali ke sekolah, kali ini tanpa harus menyembunyikan hubungan mereka. Cinta mereka, yang teruji oleh banyak rintangan, kini menjadi simbol rekonsiliasi antara dua keluarga yang pernah berseteru.
Di bawah pohon beringin di belakang sekolah, mereka duduk bersama, menikmati ketenangan yang baru ditemukan.
“Kita berhasil, Turimin,” kata Tulkiyem sambil tersenyum.
“Iya, semua berkat kamu,” balas Turimin, menggenggam tangan Tulkiyem dengan erat.
Cinta mereka, seperti gua tempat mereka berlindung, kini menjadi tempat yang aman untuk bermimpi dan berharap.