Entong, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, tinggal bersama ibunya, Fatimeh, di sebuah kampung kecil yang asri. Fatimeh adalah seorang ibu yang kuat dan penuh kasih sayang. Setelah kepergian suaminya yang meninggal dunia beberapa tahun lalu, ia bertekad memberikan kehidupan yang baik untuk Entong. Meski hidup sederhana, cinta dan perhatian Fatimeh tak pernah surut.
Di kampung itu, Entong dikenal sebagai anak yang ceria dan cerdas. Ia juga rajin mengaji di surau yang dipimpin oleh Ustadz Somad, seorang guru yang bijak dan dihormati warga. Ustadz Somad tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang membentuk kepribadian para santrinya.
“Entong, jangan lupa nanti bawa Al-Quran yang baru ya. Al-Quran yang lama sudah mulai rusak,” pesan Ustadz Somad suatu sore.
“Iya, Ustadz! Besok saya bawa,” jawab Entong dengan semangat.
Namun, kehidupan Entong tak selalu berjalan mulus. Di kampung itu, ada seorang anak bernama Mamat yang selalu menjadi sumber masalah. Mamat adalah teman sepermainan sekaligus musuh bebuyutan Entong. Setiap kali ada kesempatan, Mamat selalu berusaha mencelakai atau menjebak Entong. Namun anehnya, setiap kali Mamat berbuat onar, rencananya selalu gagal dan justru berbalik menjadi kesialan bagi dirinya sendiri.
Suatu hari, Mamat merencanakan aksi jahilnya. Ia memasang tali di jalan setapak yang biasa dilewati Entong saat pulang dari surau. Ia bersembunyi di balik semak-semak sambil menunggu Entong lewat.
“Hari ini pasti berhasil! Entong pasti jatuh jungkir balik!” gumam Mamat sambil tertawa kecil.
Tak lama kemudian, Entong pun datang. Dengan langkah ringan dan wajah ceria, ia berjalan menyusuri jalan setapak. Namun sebelum sempat melewati tali jebakan, tiba-tiba seekor kambing yang lepas berlari kencang ke arah Mamat.
“Aduh! Kambing! Pergi sana!” teriak Mamat panik.
Kambing itu menginjak tali yang dipasang Mamat dan membuat jebakannya terlepas. Bukannya Entong yang terjatuh, justru Mamat yang tersandung dan terjerembab ke dalam selokan.
Entong yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa tertawa geli. “Mamat, kalau mau jahil, lihat-lihat dulu dong!” katanya sambil berlalu.
Kejadian itu membuat Mamat kesal bukan main. Namun bukannya kapok, ia justru merencanakan aksi jahil lainnya.
Pada hari Minggu, Ustadz Somad mengajak para santri untuk gotong royong membersihkan surau. Semua anak ikut serta, termasuk Entong dan Mamat.
“Kalian semua harus bekerja sama ya. Bersihkan surau sampai bersih,” kata Ustadz Somad dengan suara tegas namun lembut.
Mamat yang masih menyimpan dendam kepada Entong mencoba membuat kekacauan. Ia diam-diam menuangkan air ke lantai surau yang sudah dipel oleh Entong.
“Biar dia jatuh terpeleset,” pikir Mamat sambil menyeringai.
Namun, rencana Mamat kembali berantakan. Ketika ia hendak melihat hasil perbuatannya, ia sendiri yang terpeleset dan jatuh terduduk.
“Aduh! Sakit!” teriak Mamat sambil meringis.
Entong yang melihat kejadian itu segera mendekat. “Mamat, kamu nggak apa-apa?” tanyanya dengan tulus.
Mamat hanya mengangguk sambil menahan malu. Meski sering dijahili, Entong tetap menunjukkan sikap baik hati kepada Mamat. Hal itu membuat Ustadz Somad bangga.
“Entong, kamu sudah menunjukkan sikap yang mulia. Membalas kebaikan dengan kebaikan itu adalah ajaran yang benar,” kata Ustadz Somad sambil menepuk bahu Entong.
Malam harinya, di rumah sederhana mereka, Fatimeh duduk bersama Entong di teras rumah. Bintang-bintang bertaburan di langit malam yang cerah.
“Entong, Ibu bangga sama kamu. Kamu tetap baik sama Mamat meskipun dia sering usil,” kata Fatimeh dengan penuh kasih.
“Iya, Bu. Ustadz Somad selalu bilang kalau kita harus berbuat baik sama semua orang, walaupun mereka nggak selalu baik sama kita,” jawab Entong.
Fatimeh tersenyum dan mengelus kepala Entong. “Ibu yakin kamu akan jadi anak yang hebat nanti.”
Hari-hari terus berlalu. Mamat yang awalnya selalu berusaha menjahili Entong, perlahan mulai berubah. Ia menyadari bahwa sikap baik Entong dan ajaran Ustadz Somad telah menyentuh hatinya. Suatu sore, Mamat datang ke rumah Entong dengan wajah canggung.
“Entong, aku mau minta maaf,” ucap Mamat dengan suara lirih.
Entong terkejut namun segera tersenyum. “Maafin? Untuk apa?”
“Aku sering jahil sama kamu. Tapi kamu nggak pernah marah. Aku malu,” kata Mamat.
“Udah lah, nggak usah dipikirin. Kita kan teman,” jawab Entong sambil mengulurkan tangan.
Mamat menyambut uluran tangan itu dengan wajah lega. Sejak saat itu, hubungan mereka berubah menjadi persahabatan yang erat.
Ustadz Somad yang mendengar kabar itu merasa bangga. “Inilah kemenangan sejati, ketika kebaikan mampu mengalahkan kebencian,” katanya.
Kehidupan Entong, Fatimeh, dan orang-orang di kampung itu pun menjadi lebih damai. Meski penuh lika-liku, cerita mereka menjadi bukti bahwa kebaikan dan kasih sayang selalu memiliki jalan untuk menyentuh hati siapa saja.
seberapa pun besar cobaan yang di dapat kalau di lakukan dengan iklas dan sabar pasti cobaan itu akan berlalu
Kelas 10 TSM 1
Walaupun jalan kita berlika-liku tetapi kebaikan dan kasih sayang selalu memiliki jalan yang baik
Meski penuh suka-liku, cerita mereka menjadi bukti bahwa kebaikan dan kasih sayang selalu memiliki jalan untuk menyentuh hati siapa saja.