Aku seorang sales. Dalam sehari bisa keliling tiga kecamatan, dan dalam seminggu hafal isi minimarket lebih baik dari nama-nama mantan. Tapi semua kesibukan itu mendadak terhenti ketika aku ikut MH Tour, perjalanan darat ke Bali selama 6 hari 4 malam. Bus besar biru dengan logo “Wisata Bahagia Bersama MH Tour” membawa rombongan dari kampung kami.
Di kursi depan bus, duduk seorang pria lansia yang wajahnya penuh semangat tapi bersih dan bersinar: Pak Muhari, pemilik MH Tour. Dari awal aku tahu, beliau bukan pemandu biasa. Beliau ini semacam campuran antara sesepuh kampung, motivator jalanan, dan stand-up comedian dadakan.
“Kamu sendiri aja ikut, Mas?” katanya saat bus berhenti istirahat di Probolinggo.
“Iya, Pak. Lagi pengin istirahat dari kehidupan,” jawabku.
“Hidup memang capek, Mas. Makanya harus dicuci. Kalau bisa, pakai sabun kesabaran,” katanya sambil nyengir dan menyeruput teh manis dari gelas plastik.
Sejak saat itu, aku dan Pak Muhari jadi akrab. Di bus, beliau sering pindah duduk ke sampingku. Katanya, “Saya udah hafal cerita bapak-bapak lain. Sekarang giliran kamu.”
Selama di perjalanan, beliau sering mengajak ngobrol dengan gaya khasnya santai, banyak humor, tapi dalam maknanya. Kadang kami bahas cinta, kadang soal hidup. Kadang cuma diam sambil lihat sawah di balik jendela.
Begitu sampai Bali, kami disambut oleh Beli, pemandu lokal dengan logat Bali yang sejuk.
“Selamat datang di Bali, pulau seribu senyum. Tapi hati-hati, jangan sampai senyumnya tertinggal di sini ya,” kata Beli sambil tertawa.
“Tuh, dengerin,” bisik Pak Muhari. “Kalau senyummu sampai ketinggalan, nanti pulang mukamu bisa kayak rekening kosong.”
Pantai Kuta jadi destinasi pertama. Aku turun dari bus, membuka sandal, dan berjalan di atas pasir hangat. Di kejauhan, matahari turun perlahan. Orang-orang tertawa, bermain, dan bersantai. Aku duduk diam, tersenyum sendiri.
“Lagi jatuh cinta?” tanya Pak Muhari yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku.
“Jatuh cinta sama tempat ini, Pak,” jawabku.
“Hati-hati. Kadang tempat juga bisa bikin kita kangen lebih dalam dari orang,” katanya sambil menepuk bahuku.
Di Pantai Pandawa, aku menyewa kano. Ombak kecil menggoyang-goyang ringan. Laut biru terbentang luas, dan langit begitu terang. Di momen itu, aku merasa hidup bukan soal ke mana kita pergi, tapi bagaimana kita hadir di tempat itu, sepenuhnya.
“Mas Frans!” teriak Pak Muhari dari pinggir pantai sambil ngacungin kamera. “Mau saya fotoin? Biar ada kenangan waktu kamu belum punya mantan di Bali!”
Pantai Melasti, Tanah Lot, dan Sunset
Pantai Melasti menyambut kami dengan tebing tinggi dan jalan meliuk indah. Air lautnya jernih, langitnya bersih. Aku berdiri di atas batu besar, memandangi lautan. Seorang ibu meletakkan canang sari di pura kecil.
“Pak, saya pengin tinggal di sini,” kataku.
“Kalau kamu tinggal di sini,” jawab Pak Muhari sambil tersenyum,
“saya rela jadi tukang sapu di depan rumahmu tiap pagi.”
“Nyapu halaman?” tanyaku.
“Nggak. Nyapu kenanganmu yang berat-berat. Biar kamu bisa buka lembar baru.”
Sore hari di Tanah Lot, matahari mulai tenggelam. Siluet pura terlihat seperti lukisan. Aku berdiri lama, tak ingin pulang.
“Kalau ini bukan surga,” kataku lirih, “entah apa lagi.”
“Ini memang bukan surga,” ujar Pak Muhari pelan, “tapi tempat yang bisa bikin kita kembali jadi manusia.”
Bedugul, Kintamani, dan Penglipuran
Di Bedugul, hujan rintik menyambut kami. Danau Beratan tenang. Kabut turun pelan-pelan. Aku duduk di dekat pura sambil menggigil sedikit. Tiba-tiba jaket plastik ponco warna hijau mendarat di pundakku.
“Biar nggak masuk angin,” kata Pak Muhari.
“Pak, ini model jaket zaman Orde Baru ya?” candaku.
“Betul. Ini jaket legenda. Pernah nemenin saya ngajak jalan perempuan. Sayangnya, dia milih dosen kampus,” jawabnya datar.
Kami tertawa bersama. Tapi dalam diam, aku tahu ada cerita lama yang disimpan rapi dalam canda.
Di Kintamani, kami duduk di warung kopi. Gunung Batur berdiri megah di depan kami.
“Pak, saya merasa kecil sekali di depan gunung ini.”
“Bagus. Kadang kita memang perlu merasa kecil… supaya sadar bahwa sombong itu konyol.”
Perjalanan ditutup di Desa Penglipuran. Jalan rapi, rumah adat, bunga kamboja, dan aroma dupa di udara. Aku berjalan pelan, menyapa ibu-ibu yang sedang membuat sesajen.
“Mas,” kata Pak Muhari tiba-tiba, “kalau nanti kamu tinggal di kota dan mulai lupa bahagia, ingat aja jalan ini.”
Aku mengangguk. “Saya kayaknya ninggalin senyum saya di sini, Pak.”
“Bagus. Berarti kamu nggak sia-sia ke Bali.”
Perpisahan
Hari kelima, bus kami melaju pelan meninggalkan pulau. Di jendela, pantai terakhir hilang ditelan pagi.
Pak Muhari berdiri di depan mikrofon bus. Suaranya tak seceria biasanya. Tapi tetap hangat.
“Sahabat MH Tour…
Kalau ada yang merasa hatinya berubah di sini, itu wajar.
Kadang kita cuma butuh tempat yang tenang untuk dengar suara diri sendiri.
Kalau ada senyum yang tertinggal di Bali…
biarkan saja.
Biar jadi alasan kamu datang kembali,
bukan cuma sebagai wisatawan…
tapi sebagai orang yang ingin benar-benar pulang.”
Aku menoleh keluar. Langit mulai cerah. Tapi dadaku… masih penuh awan. Awan yang indah.
Dan di sanalah aku sadar…
Senyumku tertinggal di sana.
Bukan karena cinta yang menggantung.
Tapi karena damai yang menempel erat.
Di pasir Pantai Kuta,
di tebing tinggi Melasti,
di kabut dingin Bedugul,
dan di senyum hangat seorang pria tua bernama Pak Muhari.
Kalau suatu hari aku kembali ke Bali…
Aku tak cuma mencari pura, sunrise, atau laut.
Aku akan mencari senyumku.
Yang dulu pernah kutinggalkan…dengan ikhlas.