Setelah menikmati hari yang penuh kegembiraan di Taman Mini, Pak Huntara dan Abiya melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya yang tak kalah ikonik: Monumen Nasional, atau Monas. Namun, sebelum itu, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak untuk sholat zuhur dan makan siang di sebuah rumah makan Padang di perjalanan.
“Papi, aku lapar banget. Kita makan apa?” tanya Abiya sambil duduk di mobil, wajahnya penuh harap.
“Kita makan di rumah makan Padang dulu, ya. Kamu suka rendang, kan?” jawab Pak Huntara sambil tersenyum.
Bang Satryo, yang mengemudikan mobil, tampak berusaha mengikuti instruksi Pak Huntara. Namun, kebiasaannya yang kurang fokus mulai memengaruhi perjalanan. Beberapa kali ia salah mengambil jalan, menyebabkan mereka harus memutar balik.
“Bang Satryo, saya sudah bilang belok kiri di sini tadi,” kata Pak Huntara, suaranya mulai terdengar tegas.
“Maaf, Pak. Saya tadi nggak lihat rambu,” jawab Bang Sat dengan nada canggung.
Abiya yang duduk di depan hanya bisa menghela napas kecil sambil melihat ke luar jendela. “Papi, lama banget ya sampai rumah makan?”
Pak Huntara berusaha menenangkan. “Sabar, Nak. Nanti kalau sudah makan, kamu pasti semangat lagi.”
Akhirnya, mereka sampai di rumah makan Padang yang nyaman dan bersih. Hidangan khas Padang dengan aroma rempah yang menggugah selera tersaji di meja. Abiya langsung menyantap rendang dengan lahap, sementara Pak Huntara menikmati ayam pop dan sayur nangka.
“Papi, makanannya enak banget. Aku mau tambah lagi,” ujar Abiya sambil menunjukkan piringnya yang sudah kosong.
“Tentu saja, Nak. Makan yang banyak, biar kuat jalan-jalan,” jawab Pak Huntara sambil tersenyum melihat antusiasme anaknya.
Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, mereka melanjutkan perjalanan ke Monas. Perjalanan dari Taman Mini ke Monas yang seharusnya memakan waktu 1,5 jam menjadi lebih lama karena Bang Sat kembali membuat kesalahan dengan melewatkan beberapa persimpangan penting.
“Bang Satryo, ini Monas di depan, kok malah belok ke kiri?” tegur Pak Huntara dengan nada frustrasi.
“Maaf, Pak, saya pikir jalan ini lebih cepat,” jawab Bang Satryo, berusaha membela diri.
Abiya yang duduk di depan mulai bosan. “Papi, kapan kita sampai Monas?” tanyanya dengan nada lelah.
“Sebentar lagi, Nak. Sabar, ya,” jawab Pak Huntara, mencoba tetap tenang.
Akhirnya, sekitar pukul 13:30, mereka tiba di kawasan Monas. Setelah menemukan tempat parkir, Pak Huntara segera membawa Abiya ke loket pembelian tiket masuk. Antrian panjang menyambut mereka, dan mereka harus menunggu selama 45 menit sebelum akhirnya mendapatkan tiket.
Untungnya, Pak Huntara sudah mempersiapkan Jakarta Card untuk memudahkan akses masuk. Dengan harga tiket 24 ribu untuk dewasa dan 6 ribu untuk anak, mereka memilih paket lengkap yang memungkinkan mereka naik hingga ke puncak Monas.
“Papi, apa itu Jakarta Card?” tanya Abiya sambil memegang kartu yang diberikan oleh ayahnya.
“Itu semacam kartu akses, Nak. Di Jakarta, banyak tempat yang menggunakan sistem ini biar lebih praktis,” jawab Pak Huntara sambil menggenggam tangan anaknya.
Mereka memasuki lorong menuju Monas, di mana suasana sejarah begitu kental terasa. Abiya terlihat takjub saat melihat diorama-diorama yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia. Suara Bung Karno yang membacakan teks proklamasi diputar di salah satu sudut, membuat suasana semakin khidmat.
“Papi, itu suara siapa?” tanya Abiya sambil menunjuk ke arah pengeras suara.
“Itu suara Bung Karno, Presiden pertama kita, saat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia,” jawab Pak Huntara, nada suaranya penuh kebanggaan.
Setelah puas menjelajahi museum di bagian bawah Monas, mereka melanjutkan perjalanan ke cawan Monas. Namun, tantangan kembali menghadang ketika hujan deras tiba-tiba turun. Antrian menuju lift ke puncak Monas menjadi lebih kacau karena para pengunjung berusaha mencari tempat berlindung.
“Hujannya deras sekali, Papi. Kita jadi tetap naik ke atas?” tanya Abiya dengan wajah cemas.
“Kita sudah sampai di sini, Nak. Nggak apa-apa, yang penting hati-hati,” jawab Pak Huntara sambil memegang erat tangan anaknya.
Setelah hampir 1,5 jam menunggu, akhirnya giliran mereka naik lift ke puncak Monas. Namun, sesampainya di atas, hujan deras dan angin kencang membuat suasana menjadi mencekam.
“Papi, aku takut. Kalau Monas-nya roboh bagaimana?” bisik Abiya dengan suara kecil.
“Jangan khawatir, Nak. Monas ini kokoh sekali. Kita hanya sebentar di sini, ya,” jawab Pak Huntara sambil menenangkan anaknya.
Pemandangan Jakarta dari puncak Monas yang seharusnya menakjubkan terhalang oleh kabut dan hujan. Setelah sekitar 10 menit di puncak, mereka memutuskan untuk segera turun. Antrian lift kembali menjadi tantangan, tetapi akhirnya mereka berhasil kembali ke bawah dengan selamat.
Hari sudah mulai gelap ketika mereka meninggalkan Monas. Tepat pukul 18:30, mereka memutuskan untuk makan malam di sebuah food court di daerah Cilandak sebelum kembali ke hotel.
“Papi, hari ini seru banget, meskipun hujan. Aku nggak akan lupa pengalaman naik ke Monas,” kata Abiya sambil menikmati sepiring nasi goreng yang dipesan di food court.
Pak Huntara tersenyum sambil menatap putranya. “Itu yang penting, Nak. Selama kamu senang, Papi juga bahagia.”
Malam itu, mereka kembali ke hotel dengan perasaan lelah tapi puas. Pak Huntara tahu, meskipun hari itu penuh tantangan, kenangan yang tercipta akan selalu terukir di hati mereka berdua.
Iya
seharusnya pemandangan Monas sangat lah
bagus , tetapi tertutup dengan kabut asap
Kesan yang dapat di ambil dari cerpen di atas adalah: meskipun hari itu penuh tantangan, namun kenangan yang tercipta akan selalu terukir di hati mereka
seharusnya pemandangan monas sangat lah bagus, tetapi tertutup dengan kabut asap.