Setiap petang, Dinda akan menempati tempat duduk yang nyaman di dekat jendela kamarnya dan menengadah ke langit yang perlahan mulai berganti warna. Petang ialah jam favoritnya: langit berubah dari biru cerah menjadi jingga, lalu merah muda dan akhirnya hitam pekat penuh bintang. Jendela adalah “sebuah lubang kelebihan kecil” untuk dunia luar tempat ia bisa berimajinasi kan diri, pura-pura mengigau, tentang apa jauh di sana sana jauh cakrawala.
Dinda tidaklah perempuan yang banyak berkata-kata. Di sekolah, ia lebih suka menyendiri, membengkokkan diri dalam buku-buku atau menggambar di pojok ruang baca. Teman-temannya sering berkata bahwa ia silih tak muncul dan tidak dikenal, seperti langit yang dibebas mata menyaksikannya dari jendela jendela–indah tetapi tak bisa dijangkau.
Namun Dinda tahu satu hal pasti: bahwa langit di luar jendelanya adalah saksi bisu dari semua mimpi Dinda. Dinda bermimpi dari tempat-tempat berjauhan, petualangan yang belum terwujud, dan orang-orang yang mungkin dia temui. Namun semua hanya mimpi, yang mengarah ke himalaya seperti awan, tidak pernah menyentuh tanah. Hingga suatu hari, ketika Dinda menatap ke horison langit senja di luar jendelanya, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Bima, yang jarang bicara di kelas tapi entah kenapa selalu mengamatinya, berdiri di depan pintu, tersenyum dengan malu-malu. “Bisa kita ngobrol sebentar? ” tanya Bima. Dinda agak terkejut, tapi dia setuju. Bima duduk di tempat tidur. “Jadi, ini dirimu?” katanya, melihat kamarnya yang dipenuhi buku panjang yang tertata rapi dan gambar-gambar sketsa.gambar apa itu?” tanyanya sambil menunjuk ke salah satu sketch langit yang hampir selesai.
“Ya.” Jawab Dinda singkat. Dia selalu lebih nyaman melakukannya dengan kata-kata di atas kertas atau goresan pensil di atas kanvas daripada dengan suara. Bima tersenyum lagi. “Aku sering melihatmu menatap langit dari jendela ini. Apa yang kamu lihat di sana?” Pertanyaan Bima untuk saat ini membuat Dinda menggigit bibirnya di atas. Tak seorang pun pernah bertanya tentang hal yang sama sebelum ini. Setelah beberapa saat, dalam suara pelan dia menjawab, “Aku melihat mimpi. Tempat-tempat yang ingin aku kunjungi, hal-hal yang ingin aku lakukan. Tapi semuanya seperti jauh, seperti langit di luar sana.” Bima menatap langit dari jendela selama beberapa detik, kemudian kembali memperhatikan Dinda. “Langit itu jauh, tetapi kamu harus mencobanya. Kenapa kamu tidak mencobanya?” Tidak ada dari mereka yang pernah benar-benar berpikir tentang hal itu.
Dinda tidak pernah berpikir tentang hal itu. Mungkin karena dia terlalu takut untuk mencobanya, terlalu nyaman dengan dunia aman di balik jendela. “Bagaimana caranya?” tanya Dinda ragu. “Mulai dengan satu langkah,” jawab Bima, “Setidaknya kamu bisa memulainya dengan beberapa hal yang kecil. Bahkan dengan menunjukkannya ke orang lain. Mungkin kamu bisa mencoba hal baru yang sama sekali tidak kamu lakukan sebelumnya.” Tidak sukar untuk dicerna, tetapi secara ajaib itu membuka semuanya baginya. Sejak hari itu, Dinda mulai berani. Dia mendaftarkan dirinya ke beberapa ekstrakurikuler seni. Dia mulai memamerkan karya-karyanya kepada orang lain, bahkan mulai lebih banyak berbicara dengan teman-temannya. Langit di luar jendelanya masih sama, tetapi kini Dinda merasa lebih dekat dengan mimpi-mimpinya. Senja masih berwarna oranye saat ia mulai mengerjakan tugasnya.
Setiap sore, ia masih menatap senja yang jauh dari jendela kamarnya. Hanya saja kali ini, Dinda melakukannya sambil tersenyum. Karena langit mungkin terlihat jauh, tetapi bagi Dinda, tidak ada yang tak bisa dijangkau. Di hari-hari yang dihabiskan sejak saat itu, Dinda menyadari sesuatu yang sangat penting – bahwa langit di balik jendela bukan hanya tempat untuk bermimpi, tetapi juga saksi dari keberaniannya untuk meraih mimpi-mimpi itu. Dan, siapa tahu, mungkin suatu hari, langit itu akan menjadi saksi dari petualangan besar yang harus dilaluinya.
Cerpen yang syarat makna, membuat pembaca terhanyut dalam diorama yang disajikan tentang mimpi dan asa seorang anak .