Di sudut jalan Malioboro, setiap pagi, Melly Sagita berdiri di balik gerobak cendol sederhana. Wajahnya yang manis dan lembut sering kali menarik perhatian orang-orang yang lewat. Mengenakan topi lebar dan pakaian sederhana, tak ada yang menyangka bahwa Melly adalah putri seorang pengusaha sukses di Wonosobo.
Setelah ayahnya menikah lagi, Melly memilih kabur dari kehidupan mewahnya dan memulai semuanya dari awal di Yogyakarta. Hidup mandiri dengan menjual cendol, siang harinya dia berkuliah untuk mengejar impian menjadi seorang sarjana ekonomi.
“Cendol, Bu? Pak?” Suaranya lembut setiap kali menawarkan dagangan.
Tak jarang pria-pria yang lewat mencoba menggoda.
“Mbak, cendolnya manis kayak kamu nggak?” tanya seorang pria iseng.
Melly hanya tersenyum tipis dan tak menggubris. Dia tahu godaan semacam itu sudah jadi hal biasa setiap hari.
Sore itu, seorang pemuda tampan dengan kemeja putih dan rambut rapi mendekati gerobaknya. Tak seperti pria lain yang sering bercanda garing, pemuda itu terlihat sopan.
“Permisi, Mbak, satu cendol ya. Tanpa gula berlebihan, kalau bisa,” katanya sambil tersenyum.
Melly menatapnya sesaat, merasa ada yang berbeda dari pemuda ini.
“Baik, Mas. Tunggu sebentar ya,” jawabnya sambil cepat-cepat menyiapkan cendol.
Saat menyerahkan gelas plastik berisi cendol, pemuda itu mengulurkan uang.
“Makasih ya, Mbak. Nama saya Reza, by the way. Kamu jualan di sini setiap hari?” tanyanya dengan nada ramah.
“Iya, Mas. Setiap pagi, tapi sore saya kuliah,” jawab Melly dengan senyum ringan.
“Kuliah? Hebat, sambil jualan juga. Nggak banyak yang kayak kamu,” puji Reza.
Melly hanya tertawa kecil. “Ah, biasa aja, Mas. Namanya juga hidup. Harus kerja keras.”
Hari demi hari berlalu, dan Reza mulai sering mampir ke gerobak cendol Melly. Obrolan ringan pun mengalir setiap kali Reza membeli. Dari sekadar pembeli dan penjual, mereka mulai semakin akrab. Melly merasa nyaman berbicara dengan Reza, pria yang sopan dan tak pernah menggoda berlebihan.
Suatu sore, setelah sepi pembeli, Reza datang lagi.
“Melly, aku udah lama mau nanya,” kata Reza sambil duduk di bangku dekat gerobak.
“Nanya apa, Mas?” Melly membalas dengan sedikit penasaran.
“Kamu nggak keberatan aku ajak jalan bareng suatu hari? Maksudku, makan bareng atau sekedar nonton film mungkin?” tawarnya dengan nada canggung namun serius.
Melly terdiam sejenak, mencoba memahami niat Reza. Ia tak merasakan godaan seperti yang sering diterimanya dari pria lain. Hati kecilnya mengatakan Reza tulus.
“Aku boleh pikir-pikir dulu, Mas?” jawabnya dengan senyum simpul.
“Tentu. Aku nggak buru-buru,” Reza membalas dengan senyum hangat.
Semakin sering mereka bertemu, Melly merasa Reza adalah sosok yang berbeda. Kehidupan barunya di Yogyakarta yang awalnya sulit mulai terasa lebih ringan dengan kehadiran Reza.
Sejak hari itu, tak hanya cendol manis yang menjadi daya tarik di gerobak sederhana Melly, tapi juga hubungan manis yang mulai tumbuh antara penjual cendol dan pria tampan yang kerap datang membawa senyum.
Setelah beberapa bulan saling mengenal dan menjalin hubungan, Reza merasa semakin yakin bahwa Melly adalah wanita yang ingin ia habiskan hidupnya bersama. Di suatu hari yang cerah, Reza mengajak Melly untuk pulang ke Wonosobo.
“Melly, aku mau ketemu keluargamu,” kata Reza suatu malam saat mereka duduk di salah satu kafe kecil di Yogyakarta.
Melly terdiam sejenak. Ia tahu hubungan dengan keluarganya di Wonosobo tidak begitu baik, terutama setelah kepergian ibunya dan ayahnya menikah lagi. Namun, kehadiran Reza membuatnya ingin memberi kesempatan. Setelah berpikir, Melly akhirnya setuju.
Mereka tiba di kediaman Melly di Wonosobo, sebuah rumah besar yang pernah menjadi tempat ia tumbuh. Reza tampak gugup, namun tetap berusaha tenang. Di sana, ayah Melly menyambut mereka dengan senyum lebar, meski Melly tahu ada kejanggalan dalam hatinya.
Setelah berbincang cukup lama, Reza berlutut di hadapan Melly dan mengeluarkan cincin dari sakunya.
“Melly, aku nggak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya. Kamu membuat hidupku jadi lebih bermakna. Will you marry me?” tanyanya penuh harap.
Melly, yang tak pernah menduga momen itu akan datang secepat ini, tertegun. Tapi tatapan penuh cinta dari Reza membuatnya yakin. Ia mengangguk pelan, dan air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Iya, Reza… Aku mau.”
Di tengah suasana penuh haru itu, ayah Melly mendekat, namun wajahnya tampak heran saat melihat Reza lebih dekat.
“Reza… Siapa nama ayahmu?” tanya ayah Melly tiba-tiba.
Reza, yang masih dalam euforia, menjawab dengan penuh kebanggaan, “Ayah saya, Pak. Namanya Bapak Yusuf.”
Wajah ayah Melly seketika berubah. “Yusuf? Yusuf yang kuliah di Universitas Diponegoro?”
Reza mengangguk. “Iya, Pak. Ayah saya sering cerita tentang masa kuliahnya dulu.”
Ayah Melly tersenyum lebar. “Astaga, Yusuf! Dia kawan baik saya saat kuliah. Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Ternyata dunia ini kecil sekali.”
Melly dan Reza saling menatap, tidak menyangka bahwa ayah-ayah mereka memiliki sejarah panjang. Percakapan hangat pun mengalir antara ayah Melly dan Reza, membuat suasana semakin akrab dan penuh canda. Melly merasa lega. Meski awalnya kabur dari rumah karena masalah keluarga, kini semua perlahan-lahan membaik, bahkan dengan kehadiran sosok Reza yang membuat hidupnya lebih berwarna.
Dengan restu dari kedua keluarga, kisah cinta mereka pun melangkah ke arah yang lebih serius, membawa kebahagiaan baru bagi Melly dan Reza di masa depan.