Di suatu malam yang sunyi, Reza duduk di teras rumahnya, ditemani suara jangkrik dan desau angin yang menyapu dedaunan. Langit berhiaskan bintang-bintang yang berkerlap-kerlip, namun di balik keindahan malam itu, pikirannya diselimuti kegelisahan. Pertanyaan yang didengar sore tadi dari mulut Raka terus mengganggu pikirannya.
“Reza, kalau kamu melihat seseorang sukses, apa yang pertama kali kamu rasakan?” tanya Raka dengan mata yang tajam. Mereka sedang duduk di sebuah kafe, dikelilingi aroma kopi yang menenangkan, namun percakapan itu malah membuat suasana hati Reza berkecamuk.
“Aku… senang, mungkin?” jawab Reza dengan senyum kaku. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu, tidak selalu begitu. Terkadang ada perasaan iri yang mencuat, walau ia berusaha menutupinya. Raka hanya mengangguk kecil, seolah tahu bahwa jawaban itu tidak sepenuhnya benar.
Sekarang, duduk sendiri di teras rumahnya, Reza mencoba menjawab pertanyaan itu dengan lebih jujur. Cahaya lampu taman memantulkan bayangan samar di wajahnya. Apakah hatiku ini bersih? pikirnya. Ia teringat obrolan dengan ibunya saat ia masih remaja.
“Reza, hati manusia itu seperti kebun. Jika tidak dirawat, ia bisa dipenuhi rumput liar. Tapi kalau kamu merawatnya dengan baik, bunga-bunga indah akan bermekaran,” kata ibunya suatu sore sambil menyapu halaman rumah. Ingatan itu membuat Reza menghela napas panjang. Ibunya selalu punya cara untuk menyampaikan hal-hal sederhana dengan makna mendalam.
Suara dering ponsel memecah lamunannya. Sebuah pesan masuk dari Sarah, teman lamanya yang baru saja pindah kembali ke kota ini setelah sekian tahun tinggal di luar negeri.
Za, aku tahu ini mendadak, tapi aku butuh teman bicara. Boleh aku datang?
Reza menatap pesan itu cukup lama. Di satu sisi, ia lelah setelah hari panjang di kantor, namun di sisi lain, Sarah adalah teman yang pernah sangat berarti baginya.
“Datang saja, aku di rumah,” balas Reza akhirnya.
Tak lama, terdengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Sarah keluar dengan langkah tergesa, matanya merah seperti habis menangis.
“Reza, maaf mengganggumu malam-malam begini,” ujar Sarah dengan suara gemetar. Reza hanya menggeleng pelan, menunjukkan bahwa ia tak keberatan.
“Masuk, kita bicara di dalam,” ajaknya sambil membuka pintu rumah. Sarah duduk di sofa, dan Reza menyusul dengan dua gelas teh hangat di tangan.
“Ada apa, Sar? Kamu kelihatan sangat terganggu,” tanya Reza, mencoba membuka percakapan dengan nada lembut.
Sarah memandang kosong ke lantai sebelum akhirnya bicara. “Aku baru dapat kabar buruk dari kantor. Proyek yang kupimpin mengalami kerugian besar, dan aku harus bertanggung jawab di hadapan semua direksi minggu depan.”
Reza terdiam sejenak, memproses kata-kata itu. Dulu, mereka pernah bersama di universitas, berjuang menyelesaikan proyek-proyek yang penuh tantangan. Sarah selalu menjadi sosok yang tegar dan cerdas. Melihatnya rapuh seperti ini membuat Reza teringat betapa hidup bisa membalikkan peran seseorang dalam sekejap.
“Kamu pasti merasa semua ini tak adil, kan?” ujar Reza, mencoba menebak perasaan Sarah.
“Iya, Za. Aku bekerja keras selama bertahun-tahun, tapi satu kesalahan ini menghancurkan segalanya,” katanya sambil menahan tangis. “Dan yang membuatku lebih sakit, beberapa rekan di kantor justru senang melihat aku gagal.”
Reza merasakan dentingan dalam hatinya. Perasaan iri dan senang melihat orang lain jatuh—pernahkah ia merasa begitu? Dalam keheningan itu, ia mengingat momen-momen ketika melihat teman-teman yang lebih sukses darinya. Terkadang ia bersikap suportif di depan mereka, tapi dalam hati kecilnya, ia merasakan perasaan cemburu.
“Sarah, kamu tahu, tidak semua orang yang terlihat mendukung itu benar-benar tulus. Kadang-kadang, orang menutupi perasaan negatif dengan kata-kata manis,” ujar Reza. Ia mengucapkan itu setengah untuk Sarah, setengah untuk dirinya sendiri.
“Ya, aku tahu,” balas Sarah sambil menyeka air mata. “Tapi aku tidak mau menjadi seperti mereka, Za. Aku ingin tetap jujur dan kuat, meski rasanya sulit.”
Reza menatap wajah Sarah yang kini tampak lebih tenang. Di saat itu, ia merasakan sebuah kehangatan di hatinya, seolah-olah ada sesuatu yang tercerahkan. Mungkin inilah yang ibu maksud dengan merawat kebun hati, pikirnya. Ia sadar, bahwa kebersihan hati bukan soal tidak pernah merasa iri atau marah, tapi tentang bagaimana ia menanganinya.
“Sarah, kamu masih ingat saat kita memimpin proyek besar di kampus? Bagaimana kita hampir menyerah karena kendala finansial, tapi akhirnya bisa menyelesaikannya bersama?” kenang Reza, mencoba mengembalikan semangat lama itu.
Sarah tersenyum samar. “Iya, aku ingat. Kamu bilang sesuatu yang selalu kuingat sampai sekarang. ‘Keberhasilan bukan tentang tidak pernah gagal, tapi tentang bangkit setelah jatuh.’”
Reza tertawa kecil, tak menyangka kata-katanya di masa lalu justru kembali padanya malam ini. “Mungkin sekarang giliranmu untuk bangkit lagi, Sar. Ingat, lubuk hati kita selalu punya tempat untuk cahaya, selama kita mau membukanya.”
Sarah mengangguk pelan, tatapannya kini dipenuhi harapan. Mereka berbicara lama malam itu, tentang kegagalan, harapan, dan bagaimana hati manusia selalu bisa berubah. Saat Sarah pamit, Reza mengantar ke mobilnya.
“Terima kasih, Za. Aku butuh ini,” ucap Sarah dengan senyum hangat.
“Selalu, Sar. Kamu tahu di mana harus mencariku,” jawab Reza sambil melambaikan tangan.
Setelah mobil Sarah pergi, Reza kembali duduk di teras. Kini, pertanyaan tentang lubuk hati yang bersih atau kotor tak lagi menghantui. Ia tahu jawabannya: bahwa hati tidak sepenuhnya bersih atau kotor. Hati adalah medan pertempuran antara kedua sisi itu, dan yang penting adalah bagaimana ia memilih bertindak.
Malam itu, Reza tersenyum pada bintang-bintang di langit, merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.