Langit sore di Pasar Klithikan, Yogyakarta, menggelap perlahan. Warna keemasan senja menyapu atap kios-kios tua, memantulkan kilauan di celah-celah logam tua yang berjejer. Di antara riuhnya pembeli yang saling tawar-menawar, seorang wanita paruh baya bernama Bu Ratmi merapikan kios kelontongnya. Ia merasakan keletihan menjalar di lengan setelah seharian melayani pelanggan.
“Bu, ini sudah sore, ayo tutup saja. Nanti hujan,” seru Lina, anak sulungnya yang baru pulang dari kampus. Matanya berkaca-kaca menatap ibunya yang tampak lelah namun tetap bersemangat mengatur barang-barang di rak.
“Sabar, Nak. Kita rapikan dulu ini semua, siapa tahu masih ada pelanggan terakhir,” jawab Bu Ratmi sambil mengusap peluh di dahi. Dalam hati, ia tidak ingin menolak usulan Lina, tetapi sebuah firasat aneh menghampirinya—perasaan seperti ada yang hilang atau luput dari perhatiannya.
Satu jam kemudian, kios sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa barang dagangan yang belum diatur. Saat Bu Ratmi menutup laci kasirnya, tangannya bersentuhan dengan selembar nota belanja yang aneh. Kertas itu tampak utuh, namun kosong tanpa tulisan. Alisnya terangkat, seolah pertanyaan melayang di udara.
“Lina, ini nota dari mana? Kok kosong?” tanyanya dengan nada terheran-heran sambil menunjukkan kertas itu.
Lina mengerutkan keningnya. Ia mendekat, lalu mengambil kertas tersebut dari tangan ibunya. “Aneh. Biasanya nota seperti ini penuh dengan daftar belanja atau catatan pelanggan. Mungkin ada yang iseng meletakkannya di sini?” Lina menduga-duga.
Mereka terdiam sesaat. Bunyi hujan mulai terdengar memukul-mukul atap kios, membuat suasana semakin muram. Namun, sebelum keduanya sempat menyimpulkan apa pun, terdengar langkah kaki berat mendekati kios. Seorang pria tua berpakaian lusuh, dengan topi hitam yang sudah sobek di tepinya, muncul di pintu masuk. Matanya tajam menatap Bu Ratmi.
“Selamat sore, Bu Ratmi,” sapa pria itu. Suaranya rendah dan serak, seperti alunan kayu tua yang bergesekan.
“Oh, Pak Surono! Tumben malam-malam begini masih ke sini. Ada yang bisa dibantu?” tanya Bu Ratmi, menyembunyikan rasa gugupnya. Entah mengapa, kemunculan pria itu menambah rasa tidak nyaman di dadanya.
Pak Surono memandangi kios itu dengan mata yang menyipit. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Saya mencari sesuatu. Ada yang hilang dari sini.”
“Yang hilang? Apa maksud Bapak?” Lina menyela, merasa penasaran.
Pak Surono memandangnya sejenak, lalu beralih kembali ke Bu Ratmi. “Nota belanja kosong. Kertas itu tidak boleh berada di sini, Bu.”
Detik itu juga, darah Bu Ratmi berdesir. Tangannya yang memegang nota bergetar. “Apa maksud Bapak? Ini cuma selembar kertas kosong…”
“Bukan sembarang kertas, Bu Ratmi. Nota itu adalah penanda,” potong Pak Surono dengan nada serius. “Beberapa tahun yang lalu, saya bekerja di toko ini sebelum diwariskan kepada almarhum suamimu. Ada kisah lama tentang nota belanja kosong yang sering muncul ketika toko ini menjual sesuatu yang tidak seharusnya dijual.”
Kata-kata Pak Surono menembus suasana hening. Hujan semakin deras, seolah menjadi latar bagi ketegangan di kios itu.
“Bapak ini bicara apa sih? Jangan bikin Mama takut,” protes Lina, meski matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam.
Pak Surono menghela napas lagi, matanya tampak letih, seperti memikul berat ingatan masa lalu. “Nota kosong itu adalah tanda bahwa ada utang yang belum terbayar, bukan utang uang, tapi sesuatu yang lain. Dulu, ada barang-barang tertentu yang tidak semestinya dijual, barang yang… punya riwayat gelap.”
Lina menelan ludah. Matanya kini bergantian memandang kertas kosong itu dan Pak Surono. “Jadi, apa yang harus kami lakukan dengan ini, Pak?”
“Buang nota itu sebelum malam benar-benar larut. Kalau tidak, pengaruhnya bisa membawa bencana.”
Bu Ratmi menggenggam nota itu erat-erat, kini merasakan sesuatu yang berat di tangannya. Mata Lina mencari ibunya, berharap ada keputusan cepat.
Tanpa ragu, Bu Ratmi berjalan ke depan kios dan berdiri di bawah hujan. Ia melempar kertas itu sekuat tenaga ke sungai kecil yang mengalir di dekat pasar. Air yang membawa nota itu bergerak cepat, hilang di bawah rintik hujan yang semakin deras.
Pak Surono mengangguk pelan. “Semoga itu cukup, Bu. Kadang, hal-hal kecil seperti itu menyimpan kekuatan yang tak terduga.”
“Bapak tahu dari mana semua ini?” Lina tak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
“Saya hidup cukup lama untuk tahu bahwa di pasar ini, semua hal punya cerita. Semoga kalian tak menemui kertas kosong itu lagi,” jawabnya sebelum melangkah menjauh, membiarkan hujan menyelubungi tubuhnya yang renta.
Ketika Pak Surono hilang di kejauhan, Bu Ratmi dan Lina hanya bisa saling menatap, bertanya-tanya apakah malam itu hanyalah satu babak dari cerita yang lebih panjang. Di antara sisa hujan yang menyisakan aroma tanah basah, selembar nota kosong hanyut, menari-nari di arus yang semakin deras, seperti membawa cerita yang belum selesai dituturkan