Di usia tujuh tahun, dunia bagi Alta Dinata masih penuh warna dan keceriaan. Tapi hari itu, semua berubah. Ketika dia berada di sekolah, seorang teman sekelasnya berlari sambil membawa kabar buruk. “Alta Dinata! Kakakmu, Dinda, pingsan di lapangan sekolah! Dia kena bola di kepalanya!” Tanpa pikir panjang, Alta Dinata langsung berlari menuju ruang guru, tempat Dinda berbaring lemah dengan wajah pucat.
Pemandangan itu mengiris hatinya. Alta Dinata menggenggam tangan kakaknya yang dingin. Dinda, kakaknya yang biasanya tersenyum hangat, kini terbaring tak sadarkan diri. Ibunya tiba tak lama kemudian dengan wajah panik, menggendong Dinda ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Alta Dinata ikut naik, duduk di sebelah ibunya, mengamati wajah kakaknya dengan hati cemas.
Sesampainya di rumah sakit, dokter memeriksa Dinda dan memberi kabar yang lebih menyesakkan. “Dinda mengalami gegar otak ringan akibat benturan bola,” ujar dokter sambil memeriksa hasil rontgen. Namun setelah beberapa hari, kondisi Dinda tak kunjung membaik. Sebaliknya, tubuhnya semakin lemah, dan wajahnya semakin pucat. Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan kenyataan yang jauh lebih berat.
“Dinda menderita tumor otak,” kata dokter kepada orang tua mereka. Mendengar hal itu, wajah ibu langsung pucat, sementara ayah menundukkan kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca. Alta Dinata tak sepenuhnya mengerti apa itu tumor, tapi dari tangisan ibunya, dia tahu bahwa itu bukan kabar baik.
Hari-hari berikutnya, Alta Dinata sering mendengar orang tuanya berbicara pelan di ruang tamu, membahas biaya pengobatan Dinda yang mahal. Dia melihat ayahnya sering keluar malam, entah untuk bekerja atau mencari pinjaman. Kadang-kadang, terdengar suara keras dari arah pintu ketika para penagih utang datang, menuntut pembayaran. Alta Dinata tak mengerti mengapa mereka sering marah dan berteriak. Yang dia tahu hanyalah wajah ibunya yang semakin pucat, dan ayahnya yang semakin jarang tersenyum.
Setiap hari, Alta Dinata menyaksikan kakaknya berjuang melawan penyakitnya. Dinda yang dulu ceria, kini hanya bisa terbaring lemah. Tak jarang, Alta Dinata duduk di sampingnya, menggenggam tangan kakaknya sambil berbisik, “Kak, aku rindu main bareng kamu.”
Suatu hari, setelah melihat ayahnya diusir penagih utang dengan nada kasar, Alta Dinata merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan. Meski usianya baru tujuh tahun, dia tahu betul bahwa keluarganya sedang dalam masalah besar. Dengan kepolosannya, Alta Dinata memutuskan untuk menulis surat. Namun, bukan surat biasa. Ia ingin menulis surat untuk Tuhan.
Di malam hari, ketika semua sudah tidur, Alta Dinata duduk di meja kecil di kamarnya, dengan selembar kertas dan pensil di tangannya. Cahaya remang-remang lampu kamar membuatnya lebih khusyuk menulis.
“Tuhan, namaku Alta Dinata. Aku anak bungsu di keluarga ini. Tuhan, aku ingin keluargaku bahagia lagi. Aku ingin Kak Dinda sehat lagi, supaya kami bisa main bareng lagi. Tuhan, aku kasihan melihat ayah dan ibu yang sering sedih. Aku tahu ayah sering keluar malam untuk cari uang, dan ibu sering menangis diam-diam. Tolong bantu mereka, Tuhan, agar mereka tidak sedih lagi. Aku rindu keluarga kami yang utuh seperti dulu.”
Sambil menulis surat itu, Alta Dinata merasakan dadanya sesak. Namun, ia melanjutkan kalimat terakhirnya dengan perasaan penuh harap.
“Tuhan, aku tahu Kau Maha Baik. Tolong bantu aku menjaga keluargaku. Aku sangat sayang mereka. Amin.”
Alta Dinata melipat surat itu dengan rapi dan menyimpannya di laci meja. Esoknya, saat hendak ke sekolah, dia memasukkan surat itu ke dalam tas, berharap menemukan cara untuk mengirimkannya ke Tuhan.
Hari itu di sekolah, Alta Dinata tidak bisa berhenti memikirkan suratnya. Saat jam istirahat, ia mendekati guru agamanya, Bu Zahra, dan bertanya dengan polos, “Bu, kalau mau mengirim surat ke Tuhan, lewat mana?”
Bu Zahra tersenyum lembut. “Alta Dinata, Tuhan itu tidak membutuhkan surat untuk tahu apa yang kita rasakan. Dia mendengar setiap doa kita, setiap kata yang kita ucapkan dengan tulus.”
“Tapi, Bu… aku ingin Tuhan tahu apa yang aku tulis. Itu penting sekali,” jawab Alta Dinata dengan wajah serius.
Guru itu terdiam sejenak, lalu berlutut di hadapan Alta Dinata dan menatapnya dalam-dalam. “Nak, kalau kau menulis surat itu dengan hati, percayalah, Tuhan sudah membacanya. Doamu sudah sampai ke-Nya.”
Kata-kata Bu Zahra menenangkan hati Alta Dinata. Ia tersenyum kecil, meski hatinya masih penuh rasa rindu akan kebahagiaan keluarganya.
Malamnya, Alta Dinata menutup matanya sambil berdoa. Ia mengulang permintaan yang sama, berharap Tuhan mendengar harapannya. Di sisi lain, keajaiban mulai terjadi. Meski berat, ayahnya akhirnya bertemu seorang dermawan yang rela membantu biaya pengobatan Dinda. Dengan bantuan itu, Dinda bisa menjalani operasi yang telah lama dinantikan. Prosesnya tidak mudah, dan perjalanan kesembuhan Dinda masih panjang. Namun, setiap kemajuan yang terlihat di wajah kakaknya, meski sekecil senyuman, adalah harapan baru bagi keluarga.
Beberapa bulan setelah operasi, Dinda mulai pulih perlahan. Meski belum sepenuhnya sehat, ia sudah bisa duduk dan berbicara lagi. Suatu hari, saat Dinda bisa berbicara sedikit lebih kuat, Alta Dinata duduk di sampingnya sambil menggenggam tangan kakaknya.
“Kak, aku kangen lihat kamu ketawa lagi,” kata Alta Dinata sambil tersenyum.
Dinda menatap adiknya dengan mata berkaca-kaca. “Alta Dinata… aku juga rindu bercanda denganmu.”
Melihat kakaknya kembali tersenyum, meski masih lemah, memberi Alta Dinata kebahagiaan luar biasa. Ia tahu bahwa perjuangan keluarganya belum berakhir, tetapi dia merasa lebih kuat, karena dia telah melakukan apa yang bisa dilakukan, yaitu percaya pada Tuhan dan menjaga harapan.
Hari demi hari berlalu, dan kondisi Dinda semakin membaik. Orang tua mereka pun tampak lebih tenang. Meski utang masih harus dilunasi, ayah dan ibu Alta Dinata merasa lebih ringan karena Dinda mulai pulih. Kesulitan hidup belum sepenuhnya hilang, tapi setidaknya, harapan itu sudah terbangun kembali. Satu per satu, kebahagiaan yang dulu hilang mulai hadir lagi di tengah keluarga kecil itu.
Alta Dinata tidak pernah tahu apakah suratnya benar-benar sampai kepada Tuhan. Tapi melihat senyum di wajah kakaknya, ia yakin bahwa Tuhan telah mendengar doanya.
Dari cerpen di atas kita belajar tentang agar selalu berdoa kepada tuhan yang maha esa agar di berikan kesehatan dan keselamatan di dunia maupun akhirat…