Hari Minggu pagi di Tanjung Duren Timur, Jakarta Barat. Tanjung Duren Timur adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Kawasan ini dikenal sebagai area pemukiman yang padat dengan suasana urban khas Jakarta.
Pasar kaget yang biasanya dipenuhi deretan pedagang sayur, pakaian murah, dan jajanan tradisional, menjadi tempat yang saya sukai untuk bersantai. Namun, yang selalu menarik perhatian saya adalah bakul jamu, seorang ibu paruh baya bernama Bu Sari, yang setia dengan gerobak kecilnya. Ia menjual berbagai jenis jamu tradisional dengan harga yang terjangkau, hanya tiga ribu rupiah per gelas.
Tiga tahun lalu, saya pertama kali membeli segelas jamu brotowali dari Bu Sari. Rasanya pahit, tetapi menenangkan. Saat itu, harganya juga tiga ribu, dan sampai pagi ini, harga tersebut tidak berubah. Sebuah keajaiban kecil di tengah inflasi.
“Pak, mau yang pahit lagi?” tanya Bu Sari sambil tersenyum ramah, tangannya sibuk meracik jamu.
Saya mengangguk. “Seperti biasa, Bu. Pahit tapi menyehatkan.”
Dengan cekatan, Bu Sari menuangkan cairan hitam pekat ke dalam gelas plastik. “Brotowali memang cocok buat bapak-bapak yang butuh tenaga ekstra. Tapi hati-hati ya, jangan kebanyakan. Pahitnya bisa bikin orang menyerah.”
Saya terkekeh. “Ah, saya sudah terbiasa, Bu. Satu botol untuk hari ini bagaimana?”
Bu Sari berpikir sejenak. “Besok saya bawakan saja, Pak. Kalau mau, saya siapkan pagi-pagi. Botolnya bapak bawa pulang atau saya cari yang baru?”
“Botol baru saja, Bu. Berapa totalnya nanti?”
“Sepuluh ribu, Pak. Bisa untuk pagi, siang, malam,” jawab Bu Sari.
Transaksi selesai. Saya menikmati jamu brotowali saya di tempat sambil memperhatikan keramaian pasar. Orang-orang lalu lalang, beberapa berhenti untuk membeli jamu. Mereka tampak percaya bahwa “a glass of jamu a day keeps the doctor away,” kecuali mungkin jika sakit gigi itu beda cerita.
Siang harinya, saya merenung di rumah sambil memikirkan betapa uniknya tradisi minum jamu di Indonesia. Sebagai orang yang tumbuh di kota besar, saya jarang menyentuh jamu sewaktu kecil. Namun, setelah mengenal Bu Sari, kebiasaan minum jamu mulai menjadi bagian dari rutinitas Minggu saya.
Istri saya, Nining, yang sedang sibuk di dapur, tiba-tiba keluar sambil membawa secangkir teh. “Mas, kok nggak sekalian bawa jamu buat aku tadi? Aku mau yang beras kencur.”
Saya tersenyum. “Aku pesan botol brotowali untuk besok. Kalau mau, nanti aku belikan beras kencur juga.”
“Kenapa harus besok? Hari ini aja, biar aku juga ikut sehat,” protes Nining, sambil melipat tangannya di dada.
“Aku lupa, Maaf, ya. Besok aku bawa dua botol, satu buat aku, satu buat kamu,” jawab saya dengan nada penuh penyesalan.
Nining menghela napas. “Ya udah. Tapi, jangan lupa ya, Mas. Jamu itu kan bagus buat kita.”
Esok paginya, saya kembali ke pasar kaget untuk mengambil pesanan. Seperti biasa, Bu Sari sudah ada di tempatnya dengan kerumunan pelanggan. Saat melihat saya, ia melambaikan tangan.
“Pak, botol jamunya sudah siap!” katanya sambil mengeluarkan dua botol plastik dari kotak di gerobaknya.
“Terima kasih, Bu. Ini bayarannya,” saya menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah.
Namun, sebelum saya pergi, seorang pria muda dengan pakaian olahraga menghampiri Bu Sari. “Bu, apa ada jamu untuk pegal linu? Lutut saya rasanya sakit setelah main futsal.”
Bu Sari segera meracik jamu dari botol-botol kecil di gerobaknya. “Pegal linu cocoknya yang ini. Campur jahe biar hangat, ya.”
Sambil menunggu, saya bertanya pada pria itu. “Mas sering minum jamu?”
Pria itu menggeleng. “Baru kali ini, Pak. Biasanya sih minum obat dari apotek. Tapi, teman saya bilang jamu lebih alami.”
Saya tersenyum. “Betul, Mas. Sekali-sekali coba yang tradisional. Bu Sari di sini sudah lama jualan. Racikannya selalu pas.”
Pria itu mengangguk, lalu meminum jamunya dalam sekali teguk. “Pahit, tapi enak. Terima kasih, Bu.”
Bu Sari tersenyum lebar. “Sama-sama, Mas. Kalau cocok, besok mampir lagi.”
Di rumah, saya dan Nining menikmati jamu kami sambil duduk di teras. Nining mencicipi jamu beras kencurnya, sementara saya menikmati brotowali.
“Mas, menurutmu kenapa orang-orang seperti Bu Sari tetap bertahan jualan jamu dengan harga segitu? Padahal bahan-bahan sekarang kan mahal,” tanya Nining tiba-tiba.
Saya merenung sejenak. “Mungkin karena itu sudah prinsip hidupnya. Bu Sari tahu bahwa banyak orang masih butuh jamu, terutama yang harganya terjangkau. Kalau dia naikkan harga, mungkin tidak semua orang bisa beli.”
Nining mengangguk pelan. “Iya, ya. Aku jadi merasa bersyukur ada orang seperti Bu Sari yang peduli pada kesehatan orang lain. Kadang, hal kecil seperti ini bisa berarti besar.”
Saya tersenyum, merasa hangat mendengar pemikiran istri saya. “Benar, Ning. Makanya, kita harus mendukung mereka. Kalau kita terus beli, itu juga bentuk apresiasi untuk kerja keras mereka.”
Hari Minggu berikutnya, saya kembali ke pasar kaget untuk membeli jamu. Namun, kali ini saya membawa Nining. Ia ingin melihat langsung bagaimana Bu Sari meracik jamu.
Ketika kami tiba, Bu Sari sedang melayani seorang ibu muda dengan dua anak kecil. Anak-anak itu tampak mengernyit saat mencium aroma jamu, tetapi sang ibu tersenyum. “Ini bagus buat kalian. Nanti kalian akan lebih sehat.”
Setelah ibu itu pergi, Nining mendekati Bu Sari. “Bu, saya ingin mencoba jamu galian singset. Katanya bagus buat menjaga tubuh tetap fit?”
Bu Sari mengangguk. “Betul sekali, Bu. Tapi, kalau minum ini harus diimbangi dengan makan yang teratur dan olahraga, ya.”
Nining tersenyum. “Baik, Bu. Saya juga mau belajar meracik jamu sendiri di rumah. Ada tipsnya?”
Bu Sari tampak senang. “Oh, tentu. Intinya, bahan-bahan harus segar dan proporsinya pas. Kalau mau, kapan-kapan mampir ke rumah saya, saya ajarkan.”
Mendengar itu, Nining tampak antusias. Saya hanya tersenyum melihatnya.
Minum jamu mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang. Namun, bagi saya dan Nining, ini adalah bentuk penghargaan terhadap tradisi dan upaya menjaga kesehatan secara alami. Di balik segelas jamu, ada cerita tentang kerja keras, ketulusan, dan dedikasi seorang bakul jamu seperti Bu Sari.
Ketika kami berjalan pulang sambil membawa botol-botol jamu, saya berpikir bahwa hal-hal kecil seperti ini yang membuat hidup di kota besar terasa lebih berarti. Di tengah hiruk-pikuk dan modernitas, ada kehangatan dari segelas jamu di Hari Minggu.
Cerita nya bagus