Di ujung Kabupaten Lampung Selatan, hidup sepasang suami istri yang baru saja menikah. Mereka adalah pasangan guru yang sangat dihormati di kampung mereka, dikenal karena dedikasi dan komitmen mereka terhadap pendidikan serta cinta yang tulus dalam kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka berjalan bersama menuju sekolah, dengan penuh semangat menanamkan ilmu dan nilai-nilai kehidupan kepada generasi muda di kampung tersebut.
Kehidupan mereka mencapai puncaknya ketika mereka dikaruniai seorang putri yang sangat cantik. Mereka menamainya Sakhi, sebuah nama yang dipilih dengan penuh kasih sayang. Sakhi menjadi pusat kebahagiaan mereka, bidadari kecil yang melengkapi kehidupan mereka. Ketika Sakhi tertawa, dunia terasa lebih cerah, dan saat ia tidur di pangkuan ibunya, segala sesuatu tampak berhenti sejenak untuk memberikan ruang bagi ketenangan yang tiada tara.
Dua tahun berlalu, kebahagiaan pasangan ini semakin bertambah ketika mereka mengetahui bahwa mereka akan memiliki anak kedua. Istri sang suami sedang mengandung lagi, dan mereka mulai merencanakan masa depan cerah untuk kedua anak mereka. Mereka membayangkan Sakhi tumbuh bersama adiknya, bermain di halaman rumah, dan belajar bersama dalam suasana penuh cinta dan kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Pada tahun 2019, dunia diguncang oleh wabah COVID-19 yang mengerikan. Virus ini menyebar dengan cepat, tanpa pandang bulu, menyerang siapa saja yang ditemuinya. Ketika wabah itu sampai ke Indonesia, Lampung Selatan pun tidak luput dari ancamannya. Ketakutan mulai merayap di hati setiap orang, termasuk pasangan suami istri bahagia ini.
Ketika kehamilan sang istri memasuki bulan ketujuh, takdir yang kejam menghampiri mereka. Sang istri terpapar virus COVID-19. Pada awalnya, mereka mengira bahwa itu hanya flu biasa, tetapi gejalanya semakin parah. Dengan segera, ia dibawa ke rumah sakit di Kota Kalianda. Harapan besar terpancar dari mata sang suami, berharap istrinya dapat sembuh dan mereka bisa kembali ke rumah dengan selamat.
Hari-hari berlalu di rumah sakit, namun kesembuhan yang diharapkan tak kunjung tiba. Kondisi sang istri semakin memburuk, dan dokter memutuskan untuk merujuknya ke rumah sakit yang lebih besar di Kota Bandar Lampung. Sang suami, yang sangat mencintai istrinya, tak pernah meninggalkan sisinya. Ia selalu mendampingi istrinya dalam setiap langkah, berharap dan berdoa agar keajaiban terjadi.
Namun, takdir berkata lain. Di rumah sakit di Bandar Lampung, sang istri berjuang sekuat tenaga, namun virus itu lebih kuat. Setelah beberapa hari, dengan suami yang selalu berada di sampingnya, sang istri menghembuskan napas terakhirnya. Dunia sang suami seakan runtuh. Istrinya, yang begitu dicintai dan telah memberikan begitu banyak kebahagiaan dalam hidupnya, kini telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Kesedihan mendalam menyelimuti sang suami. Ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur, membawa pulang kenangan-kenangan indah bersama istrinya, namun tanpa tubuhnya. Sakhi, yang masih terlalu kecil untuk memahami, tidak pernah tahu mengapa ibunya tak pernah kembali. Setiap malam, sang suami duduk di samping tempat tidur Sakhi, menatap wajah putrinya yang polos dan penuh cinta, sambil menahan tangis yang menyesakkan dada.
Waktu berlalu, namun rasa kehilangan tetap ada. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada istrinya, dan setiap tawa Sakhi mengingatkannya pada kebahagiaan yang dulu mereka bagi. Meski demikian, ia menyadari bahwa hidup harus terus berjalan. Ia harus kuat demi Sakhi, demi anak yang belum sempat dilahirkan oleh istrinya. Ia harus melanjutkan hidup, meskipun tanpa belahan jiwa di sisinya.
Hari-hari berlalu dalam kesendirian, namun ia tak pernah berhenti berdoa. Ia berharap, di suatu tempat di atas sana, istrinya bahagia, dan ia berjanji akan menjaga Sakhi dengan seluruh cinta yang ia miliki. Meski duka masih menyelimuti, ia tahu bahwa cinta istrinya akan selalu ada, menjaga dan melindungi mereka.
Namun, bayang-bayang kesedihan selalu menyelinap di setiap sudut kehidupannya. Sering kali, saat malam tiba dan Sakhi tertidur lelap di pelukannya, sang suami merasakan kehilangan yang begitu dalam. Ia merindukan kehangatan pelukan istrinya, senyum yang selalu menenangkan, dan kebersamaan yang tak pernah ia duga akan berakhir begitu cepat.
Setiap kali ia menatap Sakhi, ia merasakan campuran antara kebahagiaan dan kepedihan. Sakhi adalah kenangan hidup dari istrinya, darah daging yang terus mengingatkannya pada wanita yang paling ia cintai. Namun, Sakhi juga merupakan alasan untuk tetap berdiri, untuk terus melangkah meskipun dunia seakan kehilangan warnanya.
Suatu malam, saat angin dingin berhembus lembut melalui celah jendela, Sakhi tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia melihat ayahnya duduk di samping tempat tidurnya, menatap kosong ke luar jendela. Matanya yang kecil mengamati wajah ayahnya yang penuh kesedihan.
“Ayah, kenapa Ayah sedih?” tanya Sakhi dengan suara lembut, penuh rasa ingin tahu.
Pak Arif tersentak dari lamunannya. Ia menoleh pada Sakhi dan mencoba tersenyum, meski hatinya masih terasa perih. “Tidak, Sayang. Ayah hanya sedang memikirkan sesuatu.”
Sakhi merangkak keluar dari selimutnya, duduk di pangkuan ayahnya. “Ayah memikirkan Ibu, ya?” tanyanya lagi, matanya yang bening menatap langsung ke dalam mata ayahnya.
Pak Arif terdiam, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir perlahan. “Iya, Sayang. Ayah sangat merindukan Ibumu.”
Sakhi, dengan kepolosannya, memeluk ayahnya erat-erat. “Jangan sedih, Ayah. Ibu pasti bahagia di sana. Ibu selalu bilang bahwa kita harus kuat, kan? Ayah juga harus kuat.”
Kata-kata Sakhi seolah menyentak Pak Arif kembali ke kenyataan. Anak perempuannya yang masih begitu kecil, namun sudah mampu memahami kesedihan yang ia rasakan. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Ia harus bangkit, untuk Sakhi, untuk masa depan mereka.
Sejak malam itu, Pak Arif berusaha lebih keras untuk menguatkan diri. Ia menanamkan dalam hatinya bahwa istrinya tidak pernah benar-benar pergi. Cintanya akan terus hidup dalam diri Sakhi, dalam setiap tawa dan senyuman putrinya. Ia bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi Sakhi, seperti yang selalu ia dan istrinya impikan.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun rasa kehilangan tetap ada,
Pak Arif mulai menemukan kekuatan dalam cinta untuk putrinya. Ia kembali ke sekolah dengan semangat yang baru, mengajar dengan dedikasi yang lebih besar. Setiap kali ia melihat murid-muridnya, ia melihat masa depan Sakhi di antara mereka. Ia bertekad untuk menjadi guru dan ayah yang bisa Sakhi banggakan.
Sakhi pun tumbuh menjadi anak yang ceria dan pintar. Dia selalu membawa semangat ibunya dalam setiap langkahnya. Meskipun hidup tanpa kehadiran ibunya, Sakhi tahu bahwa cinta ibunya selalu ada di sampingnya, melalui ayahnya yang tak pernah lelah mencintainya. Mereka berdua menjalani kehidupan mereka dengan kenangan indah dan doa yang tak pernah putus.
Meski kehidupan mereka tidak lagi sempurna seperti dulu, mereka memahami bahwa mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga—cinta yang tak pernah pudar, yang akan terus mengikat mereka bersama, selamanya. Cinta itu memberikan mereka kekuatan untuk menghadapi setiap hari, untuk terus melangkah meskipun dunia kadang terasa kosong.
Setiap malam, saat angin dingin berhembus lembut melalui celah jendela, Pak Arif merasa kehadiran istrinya dalam setiap tawa dan senyuman Sakhi. Meskipun duka dan kesedihan masih menyelimuti hatinya, ia tahu bahwa cintanya akan selalu ada, melindungi mereka dan memberikan kekuatan. Dan meskipun hidup mereka dipenuhi dengan kenangan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, mereka tetap bergerak maju dengan harapan dan cinta yang tak pernah pudar.
Di tengah segala rintangan, Sakhi dan Pak Arif terus melangkah bersama, dengan keyakinan bahwa mereka bisa menghadapi apa pun yang datang, karena mereka memiliki satu sama lain—dan cinta yang tak pernah berhenti menghubungkan mereka.