Pak Sidjabat melangkah pelan di lorong Mall Pondok Indah meggandeng Sindu, anak bungsunya siswa kelas 10 SMA. Meski umurnya sudah 66 tahun, ia masih tampak gagah. Rambut dua warna hitam dan putih dipotong rapi, dan walau tubuhnya tak sekuat dulu, aura kewibawaan seorang pensiunan pejabat pemerintah masih terpancar, usia nya 64 tahun. Tiga tahun sudah sejak istrinya, wanita yang setia menemaninya selama berpuluh-puluh tahun, berpulang karena COVID. Kini, Pak Sidjabat punya harapan baru wanita impiannya, Marleha, yang berasal dari Solo dan kini menetap di Jakarta. Mereka berencana menikah dalam waktu dekat.
“Papa, kita ke kafe yang itu yuk. Sindu mau beli es matcha , kue ,” kata Sindu riang, menunjuk ke arah kafe di ujung lorong.
Pak Sidjabat tersenyum dan mengangguk. Namun, langkahnya mendadak terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tak asing di salah satu sudut kafe tersebut. Itu Marleha, duduk berdua dengan seorang pemuda yang jauh lebih muda dari Pak Sidjabat. Mereka terlihat begitu mesra. Tangan pemuda itu dengan lembut memegang tangan Marleha, dan tawa mereka bercampur dalam obrolan hangat.
Hati Pak Sidjabat mencelos. Dadanya terasa sesak, seolah-olah udara di mall yang luas itu tiba-tiba menghilang.
“Papa, ada apa?” tanya Sindu, menyadari perubahan raut wajah ayahnya.
Namun, Pak Sidjabat tidak menjawab. Ia melangkah mendekati Marleha, matanya tak lepas dari wanita yang selama ini ia bayangkan akan menjadi pendampingnya di masa tua. Sindu mengikuti dari belakang, kebingungan.
“Marleha,” suara Pak Sidjabat terdengar serak. Marleha menoleh, dan raut wajahnya yang ceria langsung berubah. Pemuda di sampingnya hanya menatap Pak Sidjabat tanpa berkata apa-apa.
“Kamu…” Pak Sidjabat terdiam sejenak, mencari kata-kata, tapi hanya ada kepedihan yang bergemuruh di hatinya. “Ini yang kamu lakukan? Di belakangku?”
Marleha menatap Pak Sidjabat dengan tatapan dingin. “Jadi, kamu tahu. Ya sudah, Pak. Memangnya kenapa?” suaranya tak sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.
Pak Sidjabat tercekat. “Aku kira kita akan menikah. Aku kira kita saling mencintai.”
Tawa kecil keluar dari mulut Marleha. “Kamu pikir aku benar-benar mencintaimu? Kamu sudah tua, pak. Sudah tak punya apa-apa lagi selain masa lalu dan uang pensiunmu. Aku tidak butuh itu.”
Sindu, yang mendengar semuanya, maju dan menatap Marleha dengan marah. “Kamu tidak boleh bicara begitu pada Papa ku!”
Namun, Marleha hanya menatap dingin ke arah Sindu sebelum beralih kembali pada Pak Sidjabat. “Tua bangka. Sudahlah, pak. Kau lebih baik pulang saja. Kau sudah tak punya apa-apa untukku.”
Kata-kata itu menghantam hati Pak Sidjabat seperti ribuan duri. Ia berdiri kaku, tak mampu berkata apa-apa lagi. Pandangan matanya kabur, dan rasa malu, kecewa, dan hancur membanjiri dirinya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan pergi. Sindu segera menyusulnya, menggandeng lengan ayahnya erat-erat.
Sepanjang perjalanan pulang, Pak Sidjabat tak bicara. Matanya hanya memandang kosong ke depan, sementara hatinya remuk redam. Begitu sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan berbaring tanpa berkata apa-apa. Pikirannya masih tenggelam dalam kata-kata Marleha, kata-kata yang menyayat hati.
“Papa, makan dulu ya,” kata Sindu, masuk ke kamar dengan sepiring nasi dan lauk kesukaannya. Namun, Pak Sidjabat hanya menggeleng pelan, tak berselera.
Hari-hari berlalu, tapi Pak Sidjabat masih saja murung. Ia tak mau makan, tak mau mandi, bahkan jarang berbicara. Tubuhnya semakin lemah, dan Sindu tak henti-hentinya berusaha menghiburnya.
Sindu menyiapkan makanan dengan penuh cinta setiap hari, menyuapi ayahnya yang terbaring lemah. Kadang kala ia duduk di samping tempat tidur, memegang tangan Pak Sidjabat erat-erat, memberikan dukungan tanpa perlu banyak bicara. “Papa, jangan sedih lagi, ya. Papa masih punya aku. Kita bisa bahagia lagi, aku janji.”
Pak Sidjabat menatap putranya dengan mata yang berlinang air mata. Di tengah kesedihannya, ia merasakan cinta yang begitu tulus dari Sindu. Perlahan, ia mulai menerima kenyataan bahwa cinta yang ia harapkan dari Marleha tak pernah nyata, tapi cinta dari anaknya, Sindu, adalah sesuatu yang tak ternilai.
Hari demi hari, dengan kasih sayang dan kesabaran Sindu, perlahan Pak Sidjabat mulai bangkit kembali. Meski hatinya pernah patah di Mall Pondok Indah, cinta seorang anak berhasil menyatukannya kembali.