Jantungku berdegup kencang, rasa gelisah dan kecewa menyelimuti seluruh tubuhku. Aku berdiri di depan pintu besar bertuliskan “Pendaftaran TNI,” memandangi tulisan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Setelah bertahun-tahun berlatih, berharap, dan memupuk tekad untuk mengabdi sebagai prajurit TNI, hari ini justru berakhir dengan kenyataan pahit. “Aku terlambat.”
Semua usaha yang kulakukan seolah lenyap begitu saja. Pendaftaran sudah ditutup kemarin, dan tak ada yang bisa kuperbuat untuk mengubah hal itu. Keringat yang kuperas dalam latihan, setiap bangun pagi demi meningkatkan ketahanan fisik, dan deretan piala yang menjadi saksi kerja kerasku—semuanya kini terasa sia-sia.
Persiapanku selama di SMA benar-benar tak main-main. Setiap pagi, bahkan sejam sebelum berangkat sekolah, aku sudah berlari berkeliling tempat tinggal. Itu bukan sekadar latihan fisik, tapi cara untuk membentuk disiplin dan ketangguhan diriku. Setiap pelajaran yang kupelajari, kuserap dengan tekun hingga nyaris sempurna. Aku tahu, untuk menjadi prajurit TNI yang bisa kubanggakan, bukan hanya fisik yang harus kuat, tapi juga pikiran yang harus cerdas.
Setiap perlombaan yang kuikuti, baik itu olahraga ataupun kompetisi akademik, selalu kujalani dengan tekad untuk menjadi yang terbaik. Berkali-kali, aku pulang membawa piala dan penghargaan—juara pertama renang tingkat nasional, juara pelari jarak jauh nasional, bahkan pernah meraih juara pertama catur tingkat internasional. Semua pencapaian itu adalah bukti dari kerja keras yang kubangun sejak di SMA, langkah-langkah kecil yang kupijak menuju impian besarku untuk menjadi prajurit yang tangguh.
Pagi yang cerah , aku berpamitan dengan orang tuaku untuk berangkat ke pendaftaran TNI Angkatan Udara. Letaknya cukup jauh, berbeda provinsi, dan ini pertama kalinya aku pergi ke tempat sejauh itu sendirian. Ayah menepuk pundakku dengan bangga, sementara ibu menatapku dengan penuh haru, sambil mengingatkan untuk menjaga kesehatan dan hati-hati selama di perjalanan.
“Aku percaya padamu, Nak. Jaga dirimu baik-baik,” kata ibu sambil menggenggam tanganku.
Ada getaran di dalam dada ini, antara rasa bangga dan haru. Mimpi untuk menjadi prajurit TNI sudah lama kurajut, dan hari ini adalah langkah pertama untuk mewujudkannya. Ayah memberiku beberapa nasihat bijak, sementara ibu menyelipkan doa dan ucapan “ teteplah berbuat baik ya nak “ jika nnti ada ibu – ibu yang membutuhkan pertolongan ingatlah seberti ibu mu juga” “Berangkatlah dengan semangat. Ingat selalu untuk tetap teguh, apa pun yang terjadi,” ujar ayah dengan suara mantap.
Dengan bekal harapan dan restu dari mereka, aku naik ke mobil kijang kapsul tua berwarna hitam punya ayah ku, yang akan membawaku ke lokasi pendaftaran. Di sepanjang perjalanan, wajah ibu dan ayah terus terbayang. Dukungan dan doa mereka menjadi semangat yang tak henti-hentinya membara dalam dadaku. Perjalanan ini adalah untuk membuktikan bahwa aku bisa, demi impian yang telah tertanam sejak lama, dan demi membanggakan mereka.
Tak peduli sejauh apa jaraknya, aku siap untuk memberikan yang terbaik.
Tiba tiba suara keras terdengar “Braaaaaak” Aku memberhentikan laju mobil di tepi jalan, terdiam sejenak, melihat kendaraan menabrak pembatas jalan, bingung harus memilih antara terus melanjutkan perjalanan atau menolong mobil itu. Di tengah kebingunganku, kata-kata ibu terlintas di pikiranku, “Nak, jika nanti ada ibu-ibu yang membutuhkan pertolongan, ingatlah dia sebagai ibumu juga.” Akhirnya ku beranikan diri untuk membuka pintu mobil itu , ada sosok ibu hamil di dalamnya sendirian, Sekujur tubuhnya terlihat lemah, dan wajahnya pucat. Aku panik
Hati ini semakin tak tenang. Waktu pendaftaran TNI Angkatan Udara semakin menipis. Aku tahu, jika tidak segera bergegas, aku akan terlambat dan mungkin tidak punya kesempatan lagi untuk mendaftar tahun ini. Namun, melihat kondisi ibu hamil yang terluka dan butuh pertolongan, aku tak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku menguatkan diri, melupakan sementara impianku, dan memilih untuk menolongnya.
Dengan cepat, aku berusaha menenangkan ibu itu, meyakinkannya bahwa aku akan membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku mengangkatnya dengan hati-hati dan menaruhnya di kursi penumpang. Sepanjang perjalanan, aku terus berdoa semoga ibu dan bayinya selamat, meskipun hatiku juga berat membayangkan kesempatan menjadi prajurit TNI yang mungkin akan hilang karena hari itu adalah hari terakhir pendaftaran.
Setelah tiba di rumah sakit dan memastikan ibu itu mendapat perawatan yang diperlukan, aku segera berlari keluar, mencoba menuju kendaraan, agar bisa melanjutkan perjalanan ke tempat pendaftaran. Jam demi jam berjalan menunjukkan waktu terus berjalan. Rasanya seperti berpacu dengan detik-detik terakhir berharap ada kesempatan penambahan hari.
Sesampainya di lokasi pendaftaran, Jantungku berdegup kencang, rasa gelisah dan kecewa menyelimuti seluruh tubuhku. Aku berdiri di depan pintu besar bertuliskan “Pendaftaran TNI,” memandangi tulisan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Setelah bertahun-tahun berlatih, berharap, dan memupuk tekad untuk mengabdi sebagai prajurit TNI, hari ini justru berakhir dengan kenyataan pahit. “Aku terlambat.”
Semua usaha yang kulakukan seolah lenyap begitu saja. Pendaftaran sudah ditutup kemarin, dan tak ada yang bisa kuperbuat untuk mengubah hal itu. Keringat yang kuperas dalam latihan, setiap bangun pagi demi meningkatkan ketahanan fisik, dan deretan piala yang menjadi saksi kerja kerasku—semuanya kini terasa sia-sia.
Malam hari aku sampai kerumah, aku kembali ke rumah dengan langkah lesu. Aku merasa hampa, tak tahu harus bagaimana menghadapi rasa kecewa ini. Ayah dan ibu adalah orang pertama yang tahu tentang kegagalanku mendaftar. Mereka tak berkata banyak, hanya tersenyum dan berkata, “Sabar, Daffa. Jika memang itu impianmu, pasti ada jalan, tetap ikhtiar.”
Aku mengurung diri di kamar, memandangi serangkaian piala dan medali yang menggantung di dinding. Piala renang tingkat nasional, penghargaan sebagai pelari jarak jauh juara pertama tingkat nasional, hingga medali juara pertama catur di kejuaraan internasional. Semua itu kudapatkan dengan kerja keras selama bertahun-tahun. Namun kini, di depan pintu impianku yang tertutup, semua itu terasa tak berarti.
Beberapa hari berlalu, aku perlahan mencoba menerima kenyataan ini dan mulai merencanakan langkah berikutnya. Mungkin memang takdirku bukan menjadi seorang prajurit. Namun, ketika aku sedang melamun, sebuah panggilan telepon datang dari pihak panitia pendaftaran TNI.
“Apakah ini Daffa Pratama?” tanya suara di seberang telepon.
“Ya, saya sendiri,” jawabku dengan jantung berdebar.
“Kami ingin mengabarkan bahwa nama Anda telah masuk dalam daftar kandidat yang akan dipanggil untuk mengikuti seleksi khusus. Berdasarkan prestasi Anda di bidang olahraga, biodata Anda direkomendasikan sebagai calon prajurit yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut, apakah anda berminat” katanya dengan suara tegas.
Diam-diam, mereka Pasukan Khusus TNI Angkatan Udara menyusup ke berbagai perlombaan nasional, menyamar sebagai penonton, pelatih, atau bahkan sebagai juri. Mereka mengamati para atlet berbakat yang menonjol bukan hanya dari segi keterampilan, tetapi juga dari sikap, ketahanan mental, dan kemauan berjuang sampai titik terakhir.
Mereka tidak hanya tertarik pada juara, tetapi pada atlet yang menunjukkan semangat gigih, kerja keras, dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan. Mulai dari kompetisi renang, lari jarak jauh, hingga catur tingkat nasional, Pasukan Khusus ini memastikan mereka bisa mengidentifikasi para calon yang memiliki kualitas luar biasa. Atlet-atlet yang lolos dari seleksi tak langsung ini kemudian akan mendapatkan undangan khusus, tanpa
pemberitahuan sebelumnya, untuk mengikuti pelatihan awal TNI Angkatan Udara.
Strategi ini tidak hanya efektif untuk menemukan calon prajurit unggulan, tetapi juga memastikan bahwa mereka yang terpilih adalah individu-individu yang sudah terbukti mampu berkompetisi dalam situasi yang menuntut keberanian, fokus, dan daya juang. Mereka adalah generasi yang siap menjadi prajurit khusus TNI Angkatan Udara, dengan kemampuan fisik dan mental yang sudah terasah di lapangan, serta hati yang bersemangat untuk mengabdi pada Tanah Air.
“iya pak, saya sangat berminat” dan telfonpun di tutup. Sejenak, aku terdiam, tak percaya apa yang baru saja kudengar. Ternyata, informasi tentang prestasiku telah sampai ke pihak TNI, dan mereka memberiku kesempatan, Rasa bahagia dan haru bercampur aduk di dalam dada. Ternyata, apa yang kuanggap kegagalan hanyalah ujian kecil dari kesabaran dan ketekunanku.
Hari-hari berikutnya, aku mulai mempersiapkan diri untuk tes seleksi yang akan segera kujalani. Latihan fisik semakin intensif, dan semangatku seakan menyala-nyala kembali. Aku ingat kata-kata ibu dan ayah, “Jika memang itu impianmu, pasti ada jalan.” Ternyata benar, jalan itu selalu ada selama aku tidak menyerah.
Saat hari seleksi tiba, aku melewati serangkaian tes dengan tekad bulat. Setiap keringat yang menetes di sana adalah bukti perjuanganku yang tak kenal lelah. Hingga akhirnya, setelah beberapa minggu yang penuh tantangan, namaku dipanggil sebagai salah satu calon prajurit TNI Angkatan Udara yang berhasil lulus.
Saat aku berdiri dengan seragam itu di hadapan orang tuaku, tak ada kebahagiaan yang lebih besar. Bukan hanya karena aku telah menjadi prajurit, tetapi karena aku telah berhasil mewujudkan impianku dengan semua kerja keras dan kesabaranku.
Aku tersenyum, merasa lega karena akhirnya mimpiku tercapai. Kini, aku siap mengabdi pada negeri, membawa semua prestasi dan impian ini ke dalam kehidupanku sebagai prajurit yang setia pada Tanah Air.
jangan pernah pantang menyerah untuk menggapai mimpi yg sudah kita bulat kan,dengan ujian yg pahitt maka ada hasil yg manis
Berbuat lah baik ke pada orng yg sedang butuh pertolongan,dan Jangan pantang menyerah terus lah berjuang sampai engkau mendapatkan apa yg kau impikan selama ini, karna usaha tidak akan menghianati hasil,
Hal yang bisa kita ambil dari cerita ini adalah, jangan lh dulu menyerah karna semua masalah atau tantangan yang ada di hidup kita mempunyai jalannya yang terbaik. kita hanya perlu berusaha dan tetap ikhtiar.
berbuat baik tidak membuat mu rugi
terus lah berbuat baik,karena baik tidak akan membuat mu rugi
Merelakan impian demi membantu orang kesusahan
jangan pantang menyerah untuk menggapai mimpi yang sudah kita bulat kan.dengan udian yang pahit maka ada hasil yang manis
Teruslah berusaha untuk mencapai suatu yang di inginkan, dan jangan pernah menyerah seberat apapun rintangannya
Berbuat lah baik ke pada orng yg sedang membutuhkan bantuan,dan Jangan pantang menyerah teruslah berjuang sampai kamu mendapatkan apa yang kau impikan selama ini.
Jangan pernah menyerah sebelum mencapai impian yang kita impikan harus berjuang sampai tujuan yang kita impikan .
Cerita ini menginspirasi dan menunjukkan bahwa ketekunan, pengorbanan, dan keteguhan hati dapat membawa seseorang meraih impian, bahkan setelah mengalami kegagalan.