Kampung kami biasanya damai, seperti aliran sungai yang tenang mengalir di sela-sela batu. Warga hidup rukun dan saling bantu, dari pagi hingga petang. Suara canda tawa anak-anak, sapaan hangat para ibu yang tengah menjemur pakaian, dan suara petani yang pulang dari sawah, semuanya mengalun seperti irama alam yang menyenangkan. Di setiap sudut kampung, terlihat wajah-wajah ceria yang saling menyapa, memberi senyum seolah hidup ini hanya ada untuk berbagi kebahagiaan.
Namun, hari itu suasana tiba-tiba berubah drastis. Seolah awan mendung menggantung di langit kampung kami, membawa kabar tak sedap yang perlahan-lahan menyulut api pertikaian. Semua bermula dari sebuah konflik sederhana, yaitu masalah batas tanah. Keluarga Pak Malik dan Bu Dini saling klaim satu sama lain mengenai pagar yang melintasi pekarangan mereka. Hal ini awalnya hanya berbisik-bisik, namun lama-lama tumbuh menjadi api yang semakin sulit dipadamkan.
Pak Hasan, kepala kampung, yang selama ini menjadi panutan bagi warga, mendapati dirinya terjebak di antara suara-suara keras yang tak mau saling mengalah. “Kenapa hanya diam saja, Pak Hasan? Tidak bisa lagi kita berdiam, ini harus dibereskan!” seru Ibu Darmi dengan suara tinggi. Tangannya gemetar memegang serbet lusuh yang tampak kusam karena terus-terusan digenggam. Warga lain ikut menimpali, semakin menyemarakkan keributan.
Suasana makin panas, seolah api yang diguyur bensin. Pak Hasan mencoba menenangkan mereka, tapi usahanya kalah oleh derasnya gelombang emosi warga yang tersulut. “Baiklah, ayo kita selesaikan masalah ini di gazebo kampung. Di sana, kita bisa duduk bersama dan berbicara dengan kepala dingin. Mudah-mudahan semua ini bisa kita tuntaskan dengan baik,” usul Pak Hasan akhirnya.
Warga pun bergerak menuju gazebo di tepi lapangan. Gazebo sederhana itu sudah berdiri sejak lama, terbuat dari bambu tua, tapi masih kokoh dan sering jadi tempat berkumpul warga. Di sana, di tengah hembusan angin sore yang lembut, mereka duduk dalam lingkaran, mencoba meredakan panas di hati masing-masing.
Pak Hasan memulai pembicaraan. “Bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini satu kampung. Kita hidup berdampingan, bersapa setiap pagi, saling menolong saat ada musibah. Bukankah sangat disayangkan jika kita saling bermusuhan hanya karena sepetak tanah? Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang artinya, ‘Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Perpecahan hanya akan melemahkan kita, melemahkan kampung yang kita cintai ini.”
Pak Hasan berhenti sejenak, memberi waktu agar kata-katanya bisa meresap dalam hati para warga yang tadinya dipenuhi amarah. Beberapa warga mulai menundukkan kepala, tampak sedikit tersentuh dengan perkataan Pak Hasan.
“Saya tahu, Pak Malik dan Bu Dini sama-sama merasa benar. Namun, tidak adakah jalan untuk meredakan masalah ini selain saling menyalahkan? Bukankah kita diajarkan untuk saling memaafkan, meski memaafkan belum tentu membuat kita lebih baik atau bahkan merasa lebih baik tetapi yang jelas membuka jalan kebaikan.”
Pak Malik, yang duduk di pojok dengan muka keruh, akhirnya angkat bicara. “Tapi Pak Hasan, saya merasa terzholimi. Pagar itu, sudah sejak lama ada di sana, dan Bu Dini tahu itu. Kenapa tiba-tiba ia mengklaim tanah itu miliknya?” Suaranya terdengar getir, penuh kekecewaan.
Bu Dini, yang dari tadi diam, menunduk, lalu dengan suara lirih berkata, “Saya pun tidak bermaksud menyinggung, Pak Malik. Saya hanya ingin tanah yang memang menjadi hak keluarga saya.” Suaranya gemetar, seolah menyimpan kepedihan yang sudah lama ia pendam.
Pak Hasan tersenyum kecil, lalu menghela napas. “Kadang kita lupa bahwa dunia ini bukan milik kita. Seberapapun kita mempertahankan harta, pada akhirnya, semua akan kita tinggalkan. Allah mengajarkan bahwa harta dan anak-anak hanyalah perhiasan dunia yang fana. Tidakkah lebih baik kita membangun cinta dan kasih sayang daripada terikat oleh harta benda?”
Pak Hasan pun melanjukan ucapannya, “Perdamaian itu lebih baik.” Kata-kata sederhana itu menggema di antara para warga, menyentuh hati yang tadinya keras. “ Dalam perdamaian, ada pahala dari Allâh dan ada dosa yang dihapuskan, namun butuh keinginan kuat dan niat tulus dari semua pihak.”
Sejenak, suasana di gazebo menjadi sunyi. Hanya desiran angin dan suara burung yang terdengar di sela-sela hening itu. Pak Malik tampak merenung, lalu dengan suara bergetar, ia berkata, “Mungkin, saya memang terlalu keras kepala. Saya… saya mau memaafkan dan mengalah. Demi ketenangan kampung kita.”
Tetes air mata jatuh dari mata Bu Dini, lalu ia mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak Malik. Maafkan saya juga. Saya tidak ingin kampung kita menjadi tidak harmonis karena masalah ini.”
Perlahan, warga mulai bertepuk tangan. Mereka tahu, konflik ini akhirnya bisa diselesaikan dengan damai, tanpa ada yang merasa benar-benar kalah. Hati mereka kembali tenang, dan senyuman kembali menghiasi wajah yang tadi penuh kemarahan.
Namun, cerita ini belum selesai. Setelah pertemuan di gazebo itu, beberapa warga masih memperbincangkan kejadian tersebut. Ada yang bertanya-tanya apakah keputusan Pak Malik benar-benar ikhlas, atau hanya sekadar untuk meredam situasi. Ada pula yang merasa bahwa perdamaian itu terlalu cepat terjadi, seakan ada yang belum terselesaikan.
Hari demi hari berlalu, namun perasaan itu tetap ada, menggantung seperti mendung yang menutup langit. Meskipun di permukaan semua tampak damai, ada hal yang seakan tertinggal, seperti perasaan yang belum sepenuhnya ikhlas.
Di gazebo yang penuh cinta itu, mereka pernah menyemai benih perdamaian. Namun, di balik senyum dan maaf, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Mungkin, butuh waktu lebih lama bagi luka itu untuk benar-benar sembuh. Mungkin pula, cinta dan kasih sayang yang mereka jalin akan perlahan menutup luka-luka kecil itu seiring berjalannya waktu.