Dimas duduk di ruang kerjanya yang megah, seakan dunia luar tak mampu menjangkau dirinya. Layar ponselnya berkelip, penuh notifikasi yang datang layaknya badai yang tak kunjung reda. Meskipun ruangan itu berkilau dengan cahaya dari lampu kristal yang menggantung tinggi, Dimas merasa seperti berada di ruang gelap yang semakin menyempit.
Keputusan yang ada di hadapannya bagai dua jalan yang terpisah di tengah hutan lebat. Satu jalan mengarah pada kebohongan yang manis, menghaluskan realita dan menjaga kenyamanannya. Namun, di ujung sana, ia tahu ada jurang yang siap menelan seluruh keberadaannya. Jalan lain adalah kebenaran—tajam dan berbatu, jalan yang penuh duri dan air mata. Tapi di ujungnya, Dimas tahu, akan ada cahaya yang lebih terang dari apapun yang bisa ia bayangkan.
Ia meraih selembar kertas yang telah dipersiapkan—rencana penyelamatan perusahaan yang telah hancur, sebuah pengakuan penuh di dalamnya. Dengan tangan yang gemetar, Dimas menulis kata-kata yang seolah datang dari kedalaman hatinya: “Kami salah, dan saya bertanggung jawab.”
Begitu kata-kata itu terucap, Dimas merasa seperti langit runtuh di atas kepalanya. Ia merasakan setiap helai rambutnya seperti tercabut oleh angin kencang. Semua yang ia miliki—tahta, kekuasaan, dan kenyamanan—serta merta menguap seperti kabut pagi yang menghilang diterpa sinar matahari.
Ketika Dimas menyampaikan pengakuan itu kepada para investor dan rekan-rekannya, ruang itu seakan hening, beku, seperti air yang membeku di musim dingin. Semua mata menatapnya dengan kekagetan yang tak bisa disembunyikan. Kejujuran itu mengalir deras, meskipun pahit, seperti sungai yang membelah batuan keras.
Hari-hari berlalu, dan hidup Dimas berubah menjadi ruang gelap yang dipenuhi bayangan masa lalu. Ia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di lautan tak berujung, tanpa arah dan tujuan. Namun, di dalam kesendirian yang menggigit itu, suara lembut dari ibunya mengalir, seperti aliran sungai yang menenangkan jiwa yang keruh.
“Dimas, dunia ini akan menguji siapa dirimu sebenarnya. Jangan biarkan kebohongan menyembunyikan kebenaran. Kejujuran mungkin membawamu ke jurang, tapi di sana kamu akan menemukan jalan yang lebih indah, lebih murni.”
Kata-kata ibunya menembus kegelapan dalam diri Dimas, dan ia kembali berdiri. Seperti burung yang terbang setelah melewati badai, Dimas menatap horizon baru dengan pandangan yang lebih dalam. Ia mulai merangkai strategi baru untuk perusahaannya, tidak dengan kebohongan, tetapi dengan transparansi dan ketulusan. Langkah demi langkah, ia membangun kembali kepercayaan yang telah tergerus, memperbaiki semuanya, meski ia tahu tidak akan ada lagi jalan yang mudah.
Beberapa tahun berlalu, dan meskipun perusahaan yang ia pimpin tidak pernah mencapai puncak seperti sebelumnya, Dimas merasa damai. Kejujuran yang telah ia pilih seperti aliran sungai yang mengalir melalui lembah gelap, menuntunnya ke tempat yang lebih terang.
Kini, ia tahu bahwa meski harga kebenaran begitu mahal—dengan harga yang harus dibayar berupa kehilangan segalanya—pada akhirnya kebenaranlah yang memberikan kedamaian batin. Di tengah angin dan badai hidup, Dimas telah menemukan daratan yang lebih abadi, yang tak dapat digoyahkan oleh apapun
Saya belajar dari judul ini kita harus berkata jujur atau mengungkapkan kebenaran karena kebenaran lah yang memberi kedamaian
Dunia ini akan menguji siapa dirimu sebenarnya, jangan biarkan kebohongan menyembunyikan kebenaran
Apapun posisinya jangan ber bohong