Pada pagi yang cerah di Desa Pasuruan, hari itu, 27 November 2024, menjadi momen penting bagi banyak orang. Ini adalah hari Pilkada Serentak, hari yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat desa yang hendak memilih pemimpin baru untuk mereka, baik Gubernur maupun Bupati. Di tengah kegembiraan dan antusiasme warga desa, ada seorang pria bernama Pak Huntara, seorang Pegawai Negeri Sipil (ASN) yang dikenal dengan Punggawa IT dan Alumni Computer Science Harvard University, USA. Hari itu, seperti halnya warga desa lainnya, Pak Huntara juga memiliki kewajiban untuk menunaikan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pagi-pagi sekali, setelah menunaikan sholat Subuh, Pak Huntara sudah bangun dan bersiap-siap. Dengan tubuh GSP (Gendut Sekitar Perut) pria berusia 40-an ini tampak sangat mempesona, bahkan lebih tampan dibandingkan kebanyakan pria seusianya. Kulitnya yang bersih dan terawat serta rambut hitamnya yang disisir rapi membuatnya selalu menarik perhatian. Hari itu, Pak Huntara mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna kombinasi merah muda, biru muda, dan abu-abu yang membuatnya tampak segar dan bersemangat.
“Mami, sudah siap?” tanya Pak Huntara kepada istrinya, Fristinaini, yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur.
Fristinaini, wanita berusia 37 tahun yang sangat cantik, mengenakan pakaian serba ungu yang senada dengan nuansa harapan dan kedamaian. Mereka berdua terlihat serasi, seperti pasangan yang sangat cocok di dunia nyata. Fristinaini tersenyum dan mengangguk, kemudian berkata, “Saya sudah siap, Mas. Abiya juga sudah siap kan?”
Abiya Maisan Huntara, putra tunggal mereka yang berusia 12 tahun, tampak sedikit mengantuk tetapi dengan semangat, ia ikut keluar dari kamarnya. Walaupun ia masih anak-anak, Abiya tahu bahwa hari itu adalah hari yang penting. Meskipun belum memiliki hak suara, Abiya diajak oleh ayahnya untuk melihat langsung proses pemilihan umum, untuk mengenal lebih dekat bagaimana demokrasi di negeri ini berlangsung.
Setelah sarapan, keluarga kecil ini pun segera berangkat menuju lapangan tempat dilaksanakannya pemungutan suara. Di Desa Pasuruan, Pilkada tahun ini memang sedikit berbeda. Tempat pemungutan suara terpusat pada satu lokasi, ada enam TPS yang disatukan di satu lapangan luas. Hal ini dilakukan untuk efisiensi, mengingat banyaknya jumlah pemilih yang tinggal di desa tersebut. Para warga akan mendatangi lokasi ini, yang telah disiapkan dengan tenda-tenda dan bilik suara untuk masing-masing TPS. Lapangan yang biasanya hanya digunakan untuk kegiatan olahraga kini berubah menjadi arena demokrasi.
Sesampainya di lapangan, Pak Huntara dan keluarganya bergabung dengan warga lainnya yang sudah datang lebih awal. Suasana pagi itu sangat meriah. Warga desa Pasuruan tampak antusias. Beberapa warga tampak berbincang-bincang dengan tetangga mereka, sementara yang lain terlihat lebih serius, mempersiapkan diri untuk memberikan suara mereka. Abiya, yang merasa sedikit bingung melihat banyaknya orang, menggenggam tangan maminya dan sesekali menoleh ke papinya, bertanya tentang apa yang sedang terjadi.
“Papi, kenapa banyak sekali orang? Apa mereka semua akan memilih?” tanya Abiya dengan polos.
Pak Huntara tersenyum sambil membelai kepala anaknya. “Iya, nak. Mereka semua datang untuk memilih siapa yang akan memimpin kita, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Ini adalah tanggung jawab kita sebagai warga negara untuk memilih pemimpin yang baik.”
“Apakah abi juga bisa memilih suatu hari nanti?” tanya Abiya lagi.
“Tentu, Abiya. Suatu saat nanti, kamu juga akan memiliki hak suara seperti papi dan mami. Kamu harus belajar tentang pentingnya memilih pemimpin yang amanah,” jawab Pak Huntara.
Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju bilik suara tempat Pak Huntara terdaftar untuk memberikan suara. Lapangan yang luas tersebut dibagi menjadi enam area, masing-masing untuk TPS 001 hingga TPS 006. Suasana di sana sangat tertib, meski penuh sesak oleh warga yang datang untuk memilih. Petugas KPPS sibuk memberikan arahan kepada para pemilih yang datang.
Pak Huntara menuju TPS 001 dengan istrinya dan Abiya yang berjalan di samping mereka. Meskipun TPS ini dipusatkan di lapangan, suasana di dalamnya tetap khidmat. Beberapa warga terlihat duduk di kursi yang disediakan, menunggu giliran mereka untuk masuk ke bilik suara. Fristinaini mengingatkan Pak Huntara untuk tidak terburu-buru, karena masih ada beberapa orang yang harus menuntaskan urusan mereka di dalam bilik suara.
Akhirnya, giliran Pak Huntara pun tiba. Setelah menunjukkan kartu identitas, ia masuk ke dalam bilik suara yang terpisah oleh tirai putih. Di dalam bilik tersebut, ada dua surat suara yang harus dicoblos. Surat suara untuk pemilihan gubernur dan surat suara untuk pemilihan bupati. Pak Huntara dengan cermat memilih nama-nama yang menurutnya layak memimpin daerah mereka.
Setelah selesai, Pak Huntara keluar dengan senyuman puas. Ia melihat Abiya yang menunggu di luar, kemudian memberikan sedikit penjelasan mengenai proses pemilihan yang baru saja ia lakukan.
“Bagaimana, nak? Sudah paham belum cara pemilihan itu?” tanya Pak Huntara.
Abiya mengangguk pelan. “Iya, pi. Jadi kita mencoblos di surat suara, kan?”
“Betul, Abiya. Dengan mencoblos, kita memberi pilihan kita untuk siapa yang kita inginkan menjadi pemimpin kita. Itu adalah hak dan kewajiban kita sebagai warga negara.”
Fristinaini menambahkan, “Proses pemilihan ini juga sangat penting, karena pemimpin yang kita pilih akan mempengaruhi masa depan kita dan masyarakat. Jadi, kamu harus belajar tentang ini agar ketika saatnya tiba, kamu bisa memilih dengan bijak.”
Setelah selesai memberikan hak pilih, mereka berkeliling di sekitar lapangan, melihat bagaimana warga lainnya memberikan suara. Beberapa dari mereka tampak membawa anak-anak kecil mereka, seperti yang dilakukan Pak Huntara dengan Abiya. Meskipun usia mereka masih belia, anak-anak tersebut sudah diajarkan untuk mengerti tentang pentingnya pesta demokrasi ini.
Di sudut lapangan, terlihat pula sejumlah petugas keamanan yang menjaga jalannya pilkda. Masyarakat tampak sangat kooperatif dan tertib, semuanya ingin memastikan proses pemilihan berjalan lancar dan aman. Di beberapa sudut, ada pula petugas yang membagikan masker dan hand sanitizer untuk memastikan protokol kesehatan tetap terjaga.
Setelah selesai melihat seluruh proses, keluarga Pak Huntara memutuskan untuk melanjutkan ke Lampung Timur, tepatnya ke Sribhawono, untuk mengunjungi kerabat mereka. Perjalanan menuju Sribhawono memakan waktu sekitar dua jam. Meskipun perjalanan panjang, Pak Huntara mengemudi dengan tenang dan hati-hati. Abiya yang semula merasa bosan, kini mulai lebih tertarik mendengarkan cerita dari ayah dan ibunya tentang kehidupan di desa dan tentang apa yang terjadi dalam Pilkada tahun ini.
Setelah sekitar dua jam, mereka akhirnya sampai di Sribhawono, sebuah kecamatan yang sejuk di Kabupaten Lampung Timur. Rumah kerabat Pak Huntara terletak di pinggiran desa, dikelilingi oleh sawah dan pohon-pohon besar yang menambah kesejukan udara. Mereka disambut hangat oleh pakde dan keluarganya, yang sudah menunggu di rumah. Keluarga besar itu terlihat sangat bahagia melihat kedatangan mereka, terutama Abiya yang sangat dekat dengan sepupu-sepupunya.
Setelah beberapa jam berbincang-bincang dan menikmati kebersamaan, mereka melanjutkan perjalanan ke Bandar Lampung, yang hanya memakan waktu sekitar satu jam. Di Bandar Lampung, Pak Huntara harus menyelesaikan belanja peralatan IT. Setelah menyelesaikan belanjanya mereka, keluarga ini sempat menikmati makan malam di sebuah restoran di tepi pantai yang menyajikan hidangan laut segar. Fristinaini dan Pak Huntara berbicara tentang hari yang mereka lewati, mengenang momen-momen berharga dari Pilkada dan perjalanan mereka.
Malam mulai larut, dan jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Bandar Lampung yang mulai gelap memberikan suasana yang tenang, dan meskipun lelah, mereka merasa puas dengan hari yang panjang namun penuh makna. Dalam perjalanan pulang, Pak Huntara mengingatkan Abiya tentang pentingnya memilih pemimpin dengan bijak, serta bagaimana mereka telah menjalankan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.
“Semoga pemimpin yang kita pilih hari ini dapat membawa perubahan yang lebih baik untuk daerah kita, dan Indonesia secara keseluruhan,” kata Pak Huntara, melirik jalan yang terhampar di depan.
Abiya yang duduk di kursi belakang, menggenggam tangan ibunya dan berkata, “Abi juga ingin menjadi pemimpin yang baik suatu hari nanti, pi , mi. Seperti yang papi ajarkan.”
Pak Huntara tersenyum bahagia mendengar ucapan anaknya. Ia tahu
bahwa hari itu, tidak hanya Pilkada yang menjadi kenangan, tetapi juga sebuah pelajaran berharga tentang demokrasi, keluarga, dan masa depan yang penuh harapan.