Pak Huntara, pria berusia 40-an dengan paras tampan , kulitnya putihbersih namun tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda “mapan,” terutama di sekitar perut, memutuskan untuk meluangkan waktu menjelajahi tempat baru di sela kesibukan pekerjaannya sebagai guru di sebuah SMK di Kalianda Lampung Selatan. Tubuhnya yang gempal, yang ia sering sebut sebagai “GSP” alias Gendut Sekitar Perut, tidak mengurangi semangatnya untuk mengeksplorasi daerah yang selama ini hanya ia dengar dari kolega dan berita. Kali ini, tujuannya adalah Kulon Progo, kabupaten di Yogyakarta yang terkenal dengan makanan khasnya, geblek, serta keberadaan Bandara Yogyakarta International Airport (YIA).
Namun, perjalanan kali ini berbeda. Alih-alih menginap di hotel mewah seperti biasanya, Pak Huntara ingin merasakan kehidupan desa secara langsung. Melalui kenalan temannya, ia diperkenalkan dengan pasangan sederhana, Mbok Sarjiyem dan suaminya, Pak Paijan, yang tinggal di sebuah rumah kayu di desa Demangrejo Kecamatan Sentolo. Pak Paijan adalah penjual geblek yang sudah terkenal di desanya karena rasa geblek buatannya yang tiada duanya.
Hari Pertama: Sambutan Hangat di Rumah Mbok Sarjiyem
Setelah perjalanan dengan kereta api dari jakarta tiba di stasiun tugu dan melanjutkan perjalanan dengan grab menuju Desa Demangrejo Kecamatan Sentolo, Pak Huntara akhirnya tiba di rumah Pak Paijan. Rumah mereka sederhana, dengan pekarangan yang luas dan teduh karena pohon jambu air dan buah naga. Terlihat Mbok Sarjiyem sedang duduk di teras, menjemur geblek yang masih setengah matang.
“Assalamu’alaikum,” sapa Pak Huntara, turun dari mobil grab yang mengantarnya.
“Wa’alaikumussalam, wah, ini pasti Pak Huntara, tho?” sahut Mbok Sarjiyem dengan ramah, melambaikan tangannya. Pak Paijan muncul dari dalam rumah sambil menyeka keringat di dahinya.
“Monggo, Pak, ngge mlebet. Sugeng rawuh,” kata Pak Paijan sambil menyalami Pak Huntara dengan erat.
“Sugeng siang, Pak Paijan, Mbok Sarjiyem. Maaf merepotkan. Saya sangat bersemangat untuk mengenal Kulon Progo lebih dekat,” kata Pak Huntara sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang khas.
“Nggak merepotkan sama sekali, Pak. Rumah kami memang sederhana, tapi semoga njenengan betah di sini,” jawab Mbok Sarjiyem.
Geblek, Simbol Kulon Progo
Setelah makan siang dengan nasi, sayur lodeh, dan tempe goreng buatan Mbok Sarjiyem, Pak Paijan mengajak Pak Huntara melihat proses pembuatan geblek di dapur belakang. Dapur itu sederhana, dengan tungku tradisional dan meja panjang tempat Mbok Sarjiyem mengolah adonan.
“Ini bahan dasarnya tepung tapioka, Pak. Tapi rahasianya ada di bumbu dan santan segar yang kami pakai,” jelas Pak Paijan sambil menunjuk adonan yang sedang diuleni oleh Mbok Sarjiyem.
Pak Huntara memperhatikan dengan takjub. “Ini pertama kali saya melihat langsung proses membuat geblek. Aromanya saja sudah membuat saya lapar lagi,” katanya sambil tertawa.
Setelah adonan selesai dibentuk menyerupai angka delapan, Paijan menggorengnya hingga matang dan berwarna keemasan. Ketika geblek itu disajikan, rasanya benar-benar luar biasa. Teksturnya kenyal, gurih, dengan sedikit rasa manis yang khas.
“Ini rasanya sungguh berbeda dari yang pernah saya coba di kota. Geblek buatan Mbok Sarjiyem dan Pak Paijan memang luar biasa,” puji Pak Huntara.
“Ah, biasa saja, Pak. Tapi memang geblek ini sudah jadi ciri khas Kulon Progo sejak zaman dulu,” kata Pak Paijan dengan rendah hati.
Hari Kedua: Menjelajah Pasar Wates dan Bukit Menoreh
Keesokan harinya, Pak Paijan mengajak Pak Huntara menjelajahi beberapa tempat menarik di Kulon Progo. Tujuan pertama mereka adalah Pasar Wates. Suasana pasar itu ramai, dengan pedagang yang menjual segala macam kebutuhan, dari sayur-mayur hingga makanan tradisional.
“Ini pasar favorit kami. Kalau jualan geblek, kami biasanya ambil bahan-bahan dari sini,” kata Pak Paijan sambil memperkenalkan Pak Huntara kepada beberapa pedagang.
“Wah, sampeyan ini bawa tamu istimewa, ya, Pak Paijan ?” celetuk salah satu pedagang sambil tertawa.
Dari pasar, mereka melanjutkan perjalanan ke Bukit Menoreh. Dari puncak bukit, pemandangan hamparan hijau terlihat sejauh mata memandang. Udara segar dan suara burung yang berkicau membuat suasana begitu damai.
“Di sini ada banyak cerita rakyat, Pak. Salah satunya tentang Pangeran Diponegoro yang konon pernah bersembunyi di sekitar Bukit Menoreh,” cerita Paijan.
“Menarik sekali. Tempat ini benar-benar memadukan keindahan alam dan sejarah,” ujar Pak Huntara sambil mengabadikan momen dengan kameranya.
Hari Ketiga: Bandara YIA dan Refleksi Perjalanan
Hari terakhir perjalanan, Pak Huntara meminta Pak Paijan mengantarnya ke Bandara YIA, bukan untuk bepergian, tetapi untuk melihat langsung bandara yang sering ia dengar dari teman-temannya. Perjalanan ke bandara memakan waktu sekitar 30 menit dengan mobil pick-up sederhana milik Pak Paijan.
Ketika tiba di Bandara YIA, Pak Huntara terkesan dengan desainnya yang modern namun tetap memiliki sentuhan tradisional. “Bandara ini adalah simbol bagaimana Kulon Progo mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa melupakan akar budayanya,” kata Pak Huntara sambil berjalan-jalan di sekitar area terminal.
“Betul, Pak. Tapi meski modern, kami di desa tetap mempertahankan tradisi seperti membuat geblek,” ujar Paijan.
Mereka menghabiskan sore itu dengan menikmati pemandangan sekitar bandara sebelum kembali ke rumah Paijan. Malam harinya, sebelum beristirahat, Pak Huntara duduk di teras bersama Pak Paijan dan Mbok Sarjiyem. Di bawah cahaya lampu temaram, mereka menikmati secangkir teh hangat dan sepiring geblek.
“Perjalanan ini benar-benar mengajarkan saya banyak hal. Kehangatan, kesederhanaan, dan keindahan seperti ini jarang saya temukan di kota,” kata Pak Huntara.
Malam itu, sebelum tidur, Pak Huntara menulis dalam buku hariannya:
“Kulon Progo bukan hanya tentang geblek, pasar tradisional, atau bandara megah. Tempat ini adalah simbol kesederhanaan dan kehangatan yang sering terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota. Dari Mbok Sarjiyem dan Pak Paijan, saya belajar bahwa kebahagiaan bukan soal materi, tetapi rasa syukur dan hubungan antarmanusia. Perjalanan ini akan selalu saya kenang.”
Pak Huntara pulang ke Jakarta dengan hati yang lebih ringan dan penuh semangat baru, berjanji untuk kembali suatu hari nanti.