Setelah mengunjungi Pak Daryo di Magetan, Pak Huntara melanjutkan perjalanan ke Demak. Sebagai seorang pria yang masih aktif bekerja sebagai guru SMK di Kalianda di usia 40 an masih terlihat enerjik walupun sedikit GSP alias Gendut Sekitar Perut, ia memanfaatkan waktu luangnya untuk menjalin silaturahmi dengan sahabat-sahabat lamanya. Kali ini, ia hendak menemui Pak Drs. Budi Santoso, rekan semasa masih di Kalianda, Pak Drs. Budi Santoso guru SMAN 1 Kalianda dan telah pensiun sejak 10 tahun lalu, kini menetap di kampung halamannya di Demak.
Perjalanan dari Magetan ke Demak memakan waktu cukup panjang. Pak Huntara Urun di Terminal Terboyo. Dari Terminal Terboyo di Semarang, Pak Huntara berganti bus jurusan Pati yang akan membawanya ke Demak. Ia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, sambil mengenang masa-masa saat ia dan Pak Budi kerap berbagi cerita dan tawa di sela-sela saat main tenis bersama. Pak Huntara selalu mengagumi sosok Pak Budi yang tenang, sopan, ramah, bijaksana, dan penuh semangat.
Bus tiba di simpang Enam
Demak dekat Masjid Agung Demak pada pukul 14.05. Saat turun dari bus, pandangannya langsung tertuju pada sosok Pak Budi yang sedang menunggu di bawah pohon rindang. Dengan senyuman yang kas dan lambaian tangan, Pak Budi menyambutnya.
“Assalamu’alaikum, Huntara! Akhirnya kamu sampai juga,” sapa Pak Budi hangat.
“Wa’alaikumussalam, Budi. Senang sekali bisa ketemu lagi setelah sekian lama,” balas Pak Huntara sambil menjabat erat tangan sahabatnya.
Pak Budi kemudian mengajak Pak Huntara naik motor menuju rumahnya di kawasan Bintoro, hanya sekitar satu kilometer dari masjid. Rumah itu sederhana namun asri, dengan halaman kecil yang dipenuhi tanaman hias. Istri Pak Budi itu masih di Kalimantan dan Pak Budi Tinggal bersama anak bungsunya yang sedang Kuliah di Surakarta.
Setelah menyantap makan siang berupa garang asem dan tahu petis, Pak Huntara beristirahat sejenak di kamar tamu. Sore harinya, Pak Budi mengajaknya berziarah ke makam Sunan Kalijaga.
Makam Sunan Kalijaga begitu ramai sore itu. Para peziarah dari berbagai daerah datang dengan penuh harapan dan doa. Pak Huntara berjalan pelan, menyusuri lorong-lorong menuju makam, sambil mendengarkan kisah-kisah tentang Sunan Kalijaga yang diceritakan ulama di situ. Setelah membaca doa bersama, mereka duduk sebentar di bawah pohon besar yang teduh, berbicara tentang bagaimana tempat ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Islam di Jawa.
Saat kembali ke rumah, malam telah tiba. Setelah makan malam sederhana, keduanya menghabiskan waktu berbincang di ruang tamu. Gelak tawa terdengar saat mereka mengenang masa-masa main tenis bersama di Kalianda. Pak Budi menceritakan kehidupannya setelah pensiun, sementara Pak Huntara berbagi cerita tentang murid-murid SMK sekarang. .
“Sepuluh tahun itu terasa lama sekali, Pak Budi. Banyak yang sudah berubah,” ujar Pak Huntara sambil menghela napas.
“Memang. Tapi persahabatan kita tidak pernah berubah, kan?” jawab Pak Budi sambil tersenyum.
Keesokan paginya, suasana segar di Demak mengundang mereka untuk berolahraga. Pak Budi mengajak Pak Huntara joging ringan di sekitar Simpang Enam Demak. Mereka menyusuri jalan yang masih lengang, menikmati udara pagi yang bersih. Setelah itu, mereka berjalan-jalan di sekitar Masjid Agung Demak, mengagumi keindahan dan sejarahnya.
“Meskipun sudah sering ke sini, setiap kali melihat masjid ini, rasanya seperti pertama kali,” kata Pak Huntara sambil mengamati ukiran kayu yang rumit di dinding masjid.
“Betul, masjid ini punya nilai sejarah yang sangat besar,” tambah Pak Budi.
Pak Budi kemudian mengajak Pak Huntara melanjutkan perjalanan ke Wirosari, sebuah Desa di Kabupaten Grobogan yang terkenal dengan keindahan alamnya. Sepanjang jalan, mereka disuguhi pemandangan sawah hijau yang membentang luas. Sesampainya di sana, mereka mampir di sebuah warung kecil di tepi sawah. Makanan sederhana seperti nasi pecel dan tempe mendoan terasa begitu nikmat dinikmati sambil dikelilingi suasana pedesaan yang damai.
“Sekali-kali kita perlu menikmati hidup dengan cara seperti ini,” ujar Pak Budi sambil menyeruput teh hangatnya.
“Benar, Pak Budi. Suasana seperti ini membuat hati terasa lebih ringan,” balas Pak Huntara.
Setelah seharian menjelajahi Wirosari, mereka kembali ke Demak menjelang malam. Malam terakhir itu dihabiskan dengan berbincang lebih banyak lagi, seolah ingin menebus waktu sepuluh tahun yang telah berlalu. Namun, perpisahan tak terelakkan.
Malam itu, Pak Huntara bersiap untuk kembali ke Kalianda. Bus Shantika yang akan ia naiki dijadwalkan berangkat pukul 21.00. Pak Budi mengantar hingga ke agen bus di Demak. Ketika saatnya tiba, keduanya berpelukan erat seolah tidak mau berpisah.
“Terima kasih, Pak Budi, untuk semuanya. Jangan lupa mampir ke Kalianda kalau ada waktu,” ujar Pak Huntara, suaranya sedikit bergetar.
“Pastinya, Huntara. Kamu juga jaga kesehatan, ya,” balas Pak Budi dengan mata berkaca-kaca.
Perpisahan itu terasa berat, namun mereka tahu persahabatan mereka akan selalu terjaga. Saat bus mulai bergerak meninggalkan agen bus, Pak Huntara melambaikan tangan, sementara Pak Budi tetap berdiri di sana hingga bayangan bus menghilang dari pandangan.
Perjalanan panjang mengantar Pak Huntara kembali ke Kalianda. Sesampainya di rumah, ia disambut dengan pelukan hangat dari putra tunggal nya. Meskipun lelah, ia merasa bahagia. Kenangan perjalanan ke Demak menjadi salah satu momen tak terlupakan dalam hidupnya, sebuah pengingat akan arti persahabatan sejati yang tidak pernah pudar meskipun waktu terus berjalan.