Pak Huntara memutuskan liburannya kali ini harus berbeda. Ia ingin menjelajahi kota Semarang, kota yang terkenal dengan berbagai kuliner khasnya. Namun, bukan Lawang Sewu, Sam Poo Kong, atau Simpang Lima yang menjadi tujuan utama. Ia terobsesi dengan lumpia Semarang, makanan legendaris yang sudah lama hanya ia dengar dari cerita teman-teman dan postingan media sosial.
Di Facebook, ia menemukan sosok Bu Niniek Wolisutinah. Akunnya sering muncul di grup pecinta kuliner tradisional. Wajahnya yang ramah dan sering tersenyum itu seolah memancarkan kehangatan khas ibu-ibu yang mencintai dapurnya. Menurut banyak orang, lumpia buatan Bu Niniek adalah yang terbaik di Semarang. Setelah berbalas pesan singkat dengannya, mereka sepakat bertemu di kedai kecil milik Bu Niniek yang terletak di sudut Jalan Pandanaran.
Saat tiba di kedai, Pak Huntara langsung disambut aroma harum lumpia goreng. Udara pagi yang masih dingin seakan kalah oleh kehangatan dari dapur kecil di dalam kedai itu. Di depan pintu, seorang perempuan paruh baya dengan senyum lebar sudah menunggunya.
“Pak Huntara ya? Wah, akhirnya ketemu juga. Ayo, masuk, Pak!” ajaknya penuh semangat.
Pak Huntara mengangguk sopan dan mengulurkan tangan. “Iya, Bu Niniek. Saya senang sekali akhirnya bisa mencoba lumpia buatan Ibu langsung di tempat asalnya.”
Di dalam, suasana kedai begitu sederhana. Meja kayu tua, kursi rotan, dan dinding penuh dengan foto-foto pelanggan yang pernah datang. Di salah satu sudut, ada pajangan yang menjelaskan sejarah lumpia Semarang, lengkap dengan foto keluarga Bu Niniek yang tampaknya sudah membuat lumpia ini sejak beberapa generasi lalu.
“Sebelum kita bicara panjang lebar, Pak, coba dulu lumpia spesial yang sudah saya siapkan. Bapak suka goreng atau basah?” tanya Bu Niniek sambil menyodorkan sepiring lumpia.
“Kalau boleh, saya ingin coba keduanya, Bu. Katanya rasanya beda sekali dengan lumpia di tempat lain.”
Bu Niniek tertawa. “Tentu beda, Pak. Bapak coba dulu yang basah ini, karena rasa aslinya paling terasa di lumpia basah.”
Pak Huntara menggigit lumpia basah yang disajikan. Kulitnya lembut dan kenyal, sementara isiannya gurih dengan aroma khas bawang putih dan rebung. Ada rasa manis yang halus, berpadu sempurna dengan saus kental yang disiramkan di atasnya.
“Luar biasa, Bu. Gurihnya pas, dan rebungnya tidak bau seperti yang sering saya dengar dari orang lain,” ujar Pak Huntara dengan mata berbinar.
“Ah, itu karena kita pilih rebung muda, Pak. Banyak orang pikir rebung itu sama saja, padahal kalau salah pilih, rasanya bisa pahit dan berbau tak sedap. Kunci lumpia yang enak ada di isiannya,” jelas Bu Niniek dengan bangga.
Pak Huntara mencoba lumpia goreng setelahnya. Tekstur kulitnya renyah, tapi tidak berminyak berlebihan. Saat digigit, rasa isian rebung, telur, dan udang langsung menyeruak di mulutnya.
“Ini seperti karya seni, Bu. Tiap gigitan punya rasa dan tekstur yang berbeda,” katanya sambil tersenyum puas.
“Terima kasih, Pak. Saya belajar dari ibu saya, yang dulu sering bilang, ‘Makanan itu harus dibuat dengan cinta.’ Kalau tidak, orang yang makan pasti bisa merasakannya,” tutur Bu Niniek sambil menuangkan teh hangat untuk mereka berdua.
Seiring waktu, obrolan mereka semakin akrab. Pak Huntara bertanya banyak hal, mulai dari sejarah lumpia hingga kehidupan sehari-hari Bu Niniek.
“Bu, kenapa Ibu masih setia membuat lumpia di tengah banyaknya makanan modern sekarang?” tanya Pak Huntara, penasaran.
Bu Niniek menghela napas dan tersenyum tipis. “Saya percaya, Pak, lumpia itu bukan cuma makanan. Ini adalah cerita, warisan budaya yang harus dijaga. Kalau saya berhenti, siapa lagi yang akan meneruskan?”
Mata Bu Niniek berbinar ketika ia mulai bercerita tentang neneknya yang dulu adalah penjual lumpia keliling. Dengan pikulan kayu, sang nenek menjajakan lumpia dari kampung ke kampung. “Dulu, lumpia itu sederhana sekali, hanya rebung dan telur. Tapi nenek saya bilang, dari yang sederhana itu, kita bisa mengenal keikhlasan dan kerja keras.”
Pak Huntara mengangguk kagum. “Luar biasa, Bu. Jadi lumpia ini bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang perjuangan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.”
“Betul sekali, Pak. Dan saya ingin anak-anak muda sekarang juga tahu itu. Makanya, saya sering undang mereka untuk belajar membuat lumpia di sini. Tidak mudah memang, tapi saya percaya kalau kita terus mencoba, pasti ada hasilnya.”
Obrolan mereka berlanjut hingga tak terasa siang mulai menjelang. Kedai mulai ramai dengan pengunjung lain yang ingin menikmati lumpia khas Semarang. Namun, perhatian Pak Huntara tidak teralihkan. Ia merasa menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar makanan di tempat ini.
Ketika tiba saatnya berpamitan, Bu Niniek menyiapkan kotak berisi sepuluh lumpia goreng sebagai oleh-oleh. “Ini untuk Bapak bawa pulang. Kalau nanti kangen, jangan ragu kabari saya. Kita bisa kirim lumpia ke mana saja sekarang.”
Pak Huntara tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih. “Bu Niniek, terima kasih banyak untuk pengalaman yang luar biasa ini. Saya tidak hanya menikmati lumpia, tapi juga belajar banyak tentang Semarang dan budayanya.”
Dalam perjalanan pulang ke hotel, Pak Huntara tidak henti-hentinya tersenyum. Lumpia yang ia nikmati hari ini terasa begitu istimewa, bukan hanya karena rasanya, tetapi juga karena cerita dan perjuangan di baliknya.
Liburan ini, pikirnya, adalah salah satu yang paling berkesan dalam hidupnya. Bukan karena tempat-tempat wisata yang megah, tapi karena pertemuannya dengan seorang penjaga tradisi, Bu Niniek Wolisutinah, yang dengan lumpia sederhananya berhasil menyentuh hati siapa saja yang mencobanya.