Langit Desember menggantungkan awan putih yang berarak pelan, seolah melambai menyambut hari baru. Maisan, bocah 12 tahun yang memiliki semangat layaknya bintang yang baru bersinar, duduk di beranda rumahnya sambil menggenggam gitar kesayangan. Nada-nada lembut mengalir dari petikan jarinya, mengiringi lirik yang ia ciptakan beberapa hari lalu.
“Maisan, mau sarapan dulu nggak? Dari tadi udah main gitar terus,” seru Pak Huntara, yang biasa Maisan panggil Papi, dari dapur.
“Sebentar, Papi. Maisan Lagi nemu nada yang pas,” jawab Maisan dengan mata berbinar.
Maisan bukan anak biasa. Di usianya yang masih belia, ia sudah memiliki dua single yang cukup dikenal di media sosial Aku Bukan Sultan Andara dan Doa Mu Ayah Ibu. Lagu-lagunya, yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari, sering kali menyentuh hati orang-orang yang mendengarnya. Dan kini, ia tengah menunggu kabar besar sponsor dari Jakarta yang tertarik mendanai single ketiganya.
“Papi, menurut Papi, single baru Maisan bakal lebih bagus dari yang sebelumnya, nggak?” tanya Maisan sambil masuk ke ruang makan.
Pak Huntara tersenyum lembut. “Semua lagu Maisan itu bagus. Tapi yang terpenting adalah Maisan nyanyi dari hati. Kalau dari hati, pasti sampai ke hati orang lain.”
Maisan mengangguk. Kata-kata Papi selalu menjadi penyemangatnya.
Hari itu berjalan seperti biasa, hingga sore datang membawa kejutan. Telepon rumah berdering, dan Pak Huntara mengangkatnya dengan penuh harap. Maisan, yang sedang mencatat lirik di buku catatannya, ikut mendekat dengan ekspresi penasaran.
“Halo, ini dengan Bapak Huntara?” suara pria dari seberang terdengar formal.
“Ya, betul. Ini siapa, ya?”
“Perkenalkan, saya Pak Dharma dari Jakarta, bagian sponsorship. Kami sudah mendengar dua single Maisan dan sangat tertarik untuk bekerja sama dengan single ketiganya. Apakah kami bisa bertemu langsung minggu depan untuk membahas ini lebih detail?”
Pak Huntara menoleh ke Maisan, yang sudah berdiri dengan tatapan penuh antusias. Ia memberi isyarat agar Maisan tenang.
“Tentu, Pak. Saya akan ke Jakarta minggu depan,” jawabnya dengan nada tenang, meski senyumnya tak dapat disembunyikan.
Setelah panggilan berakhir, Maisan langsung melompat kegirangan. “Papi! Itu berita bagus, kan?”
Pak Huntara mengangguk sambil mengacak rambut Maisan. “Iya, Nak. Tapi ingat, ini baru awal. Kita harus tetap rendah hati dan bekerja keras.”
Seminggu sebelum keberangkatan ke Jakarta, Maisan menghabiskan waktunya mempersiapkan semuanya. Ia melatih vokalnya setiap hari, memastikan setiap nada dan lirik terdengar sempurna. Pak Huntara, meskipun sibuk dengan pekerjaannya, selalu meluangkan waktu untuk mendampingi Maisan.
“Papi, kenapa Maisan sering deg-degan setiap kali mikir soal single baru ini?” tanya Maisan suatu malam.
“Karena Maisan peduli. Deg-degan itu wajar. Itu tandanya Maisan ingin memberikan yang terbaik,” jawab Pak Huntara sambil memainkan gitar kecil di sudut ruangan.
Maisan tersenyum mendengar jawaban Papi. Ia merasa lebih tenang, meskipun pikirannya terus melayang ke hari-hari mendatang.
Akhirnya, hari keberangkatan tiba. Maisan tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya saat ia mengantar Pak Huntara ke Bandara Radin Intan dengan sopir nya. Ia ingin ikut ke Jakarta, tapi Papi memintanya untuk tetap di rumah karena sedang menempuj Sumatif Akhir Semester (SAS)
“Papi janji, kalau semuanya lancar, Papi akan telepon Maisan langsung, ya,” ucap Pak Huntara sebelum masuk ke kereta.
Maisan mengangguk, menahan rasa rindu yang mulai muncul bahkan sebelum Papi pergi. Ia melambaikan tangan hingga kereta menghilang di balik tikungan.
Hari-hari tanpa Papi terasa panjang bagi Maisan. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menyanyi dan menulis lagu. Teman-temannya sering mampir untuk mendukung, tapi tetap saja ia merasa ada yang kurang.
“Maisan, nanti sore kita latihan lagi, ya?” ujar Bimo, sahabatnya, yang selalu menemani Maisan mengasah vokalnya.
Maisan mengangguk. “Iya, aku harus tetap latihan biar Papi bangga.”
Sore itu, Maisan menyanyikan lagu barunya di depan teman-temannya. Meski hanya berlatih di ruang tamu kecilnya, ia menyanyikan dengan sepenuh hati, membayangkan Papi sedang mendengarkan dari kejauhan.
Keesokan harinya, telepon rumah kembali berdering. Maisan bergegas mengangkatnya, berharap itu adalah Papi.
“Halo, Maisan? Ini Papi,” suara Pak Huntara terdengar di seberang.
“Papi! Gimana di Jakarta? Apa sponsornya setuju?” tanyanya dengan nada penuh semangat.
Pak Huntara tertawa kecil. “Sabar, Nak. Papi baru saja bertemu mereka tadi siang. Mereka suka konsep lagumu dan ingin Maisan mulai rekaman bulan depan!”
Maisan melompat kegirangan. “Papi serius? Alhamdulillah! Maisan nggak sabar buat mulai rekaman!”
“Tapi ingat, ini baru langkah awal. Papi tahu Maisan bisa melangkah lebih jauh, asalkan tetap rendah hati dan kerja keras,” pesan Pak Huntara.
“Maisan janji, Papi,” jawabnya dengan suara mantap.
Hari itu, Maisan merasa dunia seolah tersenyum padanya. Ia keluar rumah, memandang langit Desember yang cerah, dan mengucap syukur atas semua yang ia miliki. Lagu barunya adalah tentang harapan, dan ia merasa inilah awal yang baik untuk menyebarkan pesan positif kepada banyak orang.
Ketika malam tiba, Maisan duduk di kamarnya, menulis lirik baru yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia membayangkan bagaimana lagu itu akan terdengar saat direkam, dan bagaimana orang-orang akan tersenyum mendengarnya.
“Aku mau semua orang bahagia waktu denger lagu ini,” gumamnya pelan.
Di luar, bulan Desember bersinar terang, seolah memberikan restu untuk mimpi-mimpi Maisan yang sedang ia rajut. Di awal bulan ini, Maisan menemukan alasan untuk tersenyum lebih lebar—bukan hanya karena mimpinya semakin dekat, tapi juga karena dukungan dan cinta yang selalu diberikan Papi.
Beberapa bulan kemudian, single ketiga Maisan dirilis dan mendapat sambutan hangat dari pendengar. Maisan tahu, ini semua bukan hanya karena kerja kerasnya, tapi juga karena doa dan dukungan Papi, yang selalu percaya pada mimpinya. Senyum di awal Desember itu menjadi awal dari perjalanan Maisan menuju bintang.