Pagi itu, Jumat, 5 Desember 2024, udara Yogyakarta masih terasa segar ketika Pak Huntara bersiap meninggalkan hotel Front One Cabin Malioboro. Di usianya yang ke-40, Pak Huntara tetap memancarkan aura keren meski lingkar perutnya menunjukkan kebiasaan ngemil yang sulit dikendalikan—orang sering menyebutnya gendut sekitar perut atau disingkat GSP. Ia ditemani oleh Pakde Subiantoro, yang tak kalah semangat untuk memulai perjalanan panjang ke Slogohimo, Wonogiri.
Pukul delapan pagi tepat, travel yang telah dipesan datang menjemput mereka. Sebuah mobil berkapasitas tujuh penumpang berhenti di depan hotel. Pak Huntara dan Pakde Subiantoro duduk di kursi baris tengah. Di samping mereka, seorang lelaki lansia bernama Pak Warjo sudah menempati tempat duduknya. Di baris belakang, dua penumpang perempuan tampak sibuk dengan ponsel masing-masing.
Perjalanan dimulai. Mobil melaju perlahan meninggalkan hiruk-pikuk kota Yogyakarta. Pak Warjo, lelaki berusia 72 tahun itu, tampak ramah. Ia memulai perkenalan.
“Nama saya Warjo, dari Slogohimo. Saya ini pengusaha ternama di sana,” katanya, sambil menyodorkan tangannya kepada Pak Huntara.
Pak Huntara tersenyum dan menyambut uluran tangan itu. “Oh, salam kenal, Pak. Saya Huntara, dari Yogyakarta. Ini Pakde Subiantoro sahabat saya,” ujarnya sopan.
Namun, tak lama setelah perkenalan itu, Pakde Subiantoro mulai tertidur di kursinya. Pak Huntara pun harus menanggung obrolan panjang dengan Pak Warjo, yang rupanya sangat gemar berbicara tentang dirinya sendiri.
“Bapak tahu, kan, usaha jual beli pete terbesar di Slogohimo? Itu punya saya. Saya juga punya beberapa sawah dan kebun durian. Kalau sedang musim panen, keuntungan saya bisa ratusan juta,” katanya sambil tersenyum lebar, menepuk-nepuk lututnya.
“Oh, hebat sekali, Pak,” balas Pak Huntara seadanya.
Pak Warjo terus berbicara. Ia menceritakan rumah nya di beberapa tempat, koleksi mobilnya, bahkan tentang anak-anaknya yang sudah mapan. Semakin lama, cerita itu terdengar seperti pameran kekayaan yang tak ada habisnya. Pak Huntara hanya mengangguk-angguk, sesekali tersenyum untuk menghormati lawan bicaranya, meski hatinya mulai bosan.
Perjalanan terasa sangat panjang bagi Pak Huntara. Sementara itu, Pakde Subiantoro tidur dengan nyenyak, tak peduli dengan cerita Pak Warjo yang mengalir deras.
Setelah sekitar dua jam perjalanan, travel berhenti di sebuah warung makan sederhana di Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Supir memberi waktu setengah jam bagi penumpang untuk istirahat, makan siang, atau sekadar menikmati secangkir teh panas.
Pak Huntara, yang perutnya mulai keroncongan, memilih menu favoritnya: nasi pecel dengan lauk tempe goreng dan ayam bakar kampung. Ia duduk di sudut warung, menikmati setiap suapan dengan tenang. Namun, kedamaian itu tak bertahan lama.
Pak Warjo tiba-tiba muncul dan duduk di depannya, membawa sepiring soto ayam.
“Pak Huntara, saya lihat Bapak ini orang yang rapi dan santun. Kalau boleh tahu, Bapak ini kerja di mana?” tanya Pak Warjo sambil menyeruput kuah sotonya.
Pak Huntara tersenyum tipis, mencoba menjaga kesopanan. “Saya PNS, Pak Warjo,” jawabnya singkat, senyumnya sehangat dawet Purbalingga.
“Oh, PNS ya?” respon Pak Warjo. Wajahnya seketika berubah, seolah terkejut. Ia tampak berpikir sejenak, lalu melanjutkan makannya tanpa banyak bicara lagi.
Setelah makan siang, para penumpang kembali ke mobil. Pak Huntara yang semula merasa perjalanan ini seperti ujian kesabaran, kini justru merasa lebih lega. Pak Warjo, yang tadi begitu banyak bicara, kini lebih banyak diam. Bahkan, sepanjang perjalanan, ia hanya sesekali bersuara, itupun sekadar menanggapi obrolan ringan dari supir.
Pak Huntara akhirnya bisa memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Ia menyandarkan kepala ke kursi dan tertidur pulas, menikmati perjalanan yang kini terasa lebih tenang.
Tak terasa, travel mulai memasuki kawasan Slogohimo, Wonogiri. Udara di sana terasa lebih sejuk, dengan pemandangan hijau dari sawah dan bukit yang mengelilingi daerah tersebut.
Pak Warjo turun lebih dahulu di depan sebuah jalan desa , menurut pak warjo 1 km masuk. Ia melambai kepada penumpang lain, termasuk Pak Huntara, sambil berkata, “Hati-hati di jalan, ya, Pak Huntara. Kalau sempat, mampir ke rumah saya. Nanti saya traktir durian.”
Pak Huntara tersenyum dan melambaikan tangan. “Terima kasih, Pak Warjo. Hati-hati juga.”
Travel berhenti di pom bensin Slogohimo, tempat Pak Huntara dan Pakde Subiantoro turun. Mereka berdua menunggu kerabat Pak Huntara yang akan menjemput.
“Capek juga ya, Pakde, perjalanan panjang begini,” ujar Pak Huntara sambil meregangkan tubuh.
“Capek, tapi tadi aku tidur nyenyak. Kamu nggak terganggu sama orang sebelah?” tanya Pakde Subiantoro, setengah bercanda.
Pak Huntara tertawa kecil. “Ah, biasa, Pakde. Namanya orang tua, mungkin ingin punya teman ngobrol.”
Tak lama kemudian, sebuah mobil datang menjemput mereka. Kerabat Pak Huntara, yang sudah menunggu sejak tadi, menyambut mereka dengan hangat. Perjalanan antara Yogyakarta dan Slogohimo pun berakhir, menyisakan cerita perjalanan yang berwarna, terutama bagi Pak Huntara yang telah belajar satu hal penting hari itu: kesabaran adalah kunci dalam menghadapi orang yang gemar memamerkan diri.