Hari itu langit cerah. Huntara dan Pak De Subiantoro duduk di pom bensin Slogohimo, menunggu jemputan. Seorang kerabat Huntara bernama Wantie mengendarai mobil Avanza hitam berhenti di depan mereka.
“Sudah lama menunggu, Mas?” Wantie tersenyum sambil membuka kaca jendela.
“Belum lama,” jawab Huntara sambil memasukkan tas kecilnya ke bagasi.
“Yuk, naik. Langsung ke Sambirejo, ya?” Wantie memastikan sambil melirik Pak De Subiantoro.
Mereka pun berangkat menuju Desa Sambirejo, desa kecil yang menjadi tempat asal ibunda Huntara. Di sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang keluarga besar dan rumah nenek Huntara yang sudah tua.
“Rumah itu masih seperti dulu?” tanya Pak De Subiantoro dengan nada penasaran.
“Masih, Pak De,” jawab Wantie. “Tapi makin tua, kayunya sudah banyak yang lapuk. Tapi nenek tetap bersikeras tinggal di sana.”
Huntara hanya terdiam, matanya menatap ke luar jendela mobil. Ada rasa rindu bercampur khawatir. Sudah bertahun-tahun ia tidak pulang ke Sambirejo, dan kini ia ingin mengunjungi neneknya yang tinggal sendiri di rumah tua itu.
Sesampainya di desa, Wantie mengarahkan mobil ke jalan kecil yang berkelok, dikelilingi pepohonan besar yang rimbun. Tak lama kemudian, rumah tua itu tampak dari kejauhan. Bangunannya berdiri megah, namun kesan angker terasa jelas dari dinding kayu yang mulai lapuk dan jendela-jendela yang penuh debu.
Mereka disambut hangat oleh keluarga besar. Beberapa sanak saudara sudah menunggu di depan rumah. Nenek Huntara, seorang wanita renta berusia 90 tahun, berjalan perlahan dengan tongkatnya.
“Huntara, akhirnya kamu pulang,” suara neneknya terdengar lemah namun penuh kehangatan.
“Iya, Nek,” jawab Huntara sambil memeluk neneknya. “Saya kangen sekali.”
Malam mulai tiba, dan suasana rumah semakin mencekam. Lampu-lampu redup, dan suara binatang malam terdengar dari kejauhan. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding kayu.
“Rumah ini bikin bulu kuduk merinding, ya?” kata Huntara pelan saat duduk di ruang tamu bersama Pak De Subiantoro.
“Ah, itu cuma perasaanmu saja,” jawab Pak De Subiantoro santai sambil memainkan ponselnya. Ia seolah tidak terpengaruh oleh suasana rumah tua yang menyeramkan.
Setelah berbincang sejenak, mereka memutuskan untuk tidur di kamar sisi kanan ruang utama. Ruangan itu cukup luas, tetapi perabotannya tampak tua, dengan lemari kayu besar dan jendela yang tertutup tirai lusuh.
“Pak De, kita tidur di sini saja, ya,” kata Huntara sambil menyalakan lampu kecil di sudut ruangan.
Pak De Subiantoro hanya mengangguk. “Iya, sudah. Tapi kamu jangan banyak pikiran aneh-aneh, ya.”
Mereka pun berbaring di kasur yang sudah disiapkan oleh Wantie. Namun, Huntara merasa sulit memejamkan mata. Udara di dalam kamar terasa lembap, dan ia tidak bisa mengabaikan suara-suara aneh dari luar ruangan.
“Pak De, tadi Pak De dengar suara itu?” bisik Huntara.
“Suara apa?” tanya Pak De tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
“Seperti ada yang jatuh di dapur,” jawab Huntara.
Pak De Subiantoro tertawa kecil. “Ah, paling tikus. Di rumah tua begini wajar ada tikus.”
Huntara mencoba mengabaikan rasa takutnya. Namun, semakin malam, suasana semakin mencekam. Lampu tiba-tiba berkedip-kedip, dan rintik hujan mulai terdengar di atap rumah.
“Pak De, lampunya kenapa begitu, ya?” tanya Huntara sambil menatap langit-langit.
“Jangan terlalu dipikirin. Hujan begini kadang memang bikin listrik nggak stabil,” jawab Pak De Subiantoro santai.
Namun, rasa takut Huntara tidak bisa hilang. Suara langkah kaki terdengar samar-samar dari luar kamar. Ia membuka pintu perlahan, namun tidak ada siapa-siapa di sana.
“Ah, mungkin cuma perasaanku,” gumamnya pada diri sendiri.
Sementara itu, Pak De Subiantoro tetap santai memainkan ponselnya di atas kasur. “Kamu nggak usah takut. Ini rumah keluarga kamu. Kalau ada apa-apa, nenekmu pasti kasih tahu.”
Hujan rintik-rintik terus turun hingga subuh. Ketika adzan subuh terdengar, suasana rumah perlahan kembali tenang. Huntara akhirnya merasa lega. Ia keluar dari kamar dan melihat neneknya sedang duduk di ruang tamu dengan tongkat saktinya.
“Subuh sudah tiba, Huntara,” kata Pak De Subiantoro lembut.
Huntara hanya tersenyum dan bergabung dengan Pak de untuk melaksanakan shalat subuh. Meskipun malam itu penuh dengan rasa takut, pagi hari membawa ketenangan yang menyelimuti rumah tua di Sambirejo. Huntara menyadari bahwa rumah tua itu bukan sekadar bangunan. Di balik kesan angkernya, rumah itu menyimpan kenangan, sejarah, dan cinta keluarga yang tidak akan pernah pudar