Pak Huntara melangkah turun dari bus dengan tubuh sedikit penat. Perjalanan enam jam dari Lamongan ke Magetan terasa panjang, meski pemandangan sawah hijau dan gunung di kejauhan membuat hatinya tenteram. Ia merapikan topi di kepalanya sambil mencari sosok yang sudah dikenalnya, meski baru dari dunia maya.
“Pak Huntara!” Suara berat seorang pria memanggil.
Pak Huntara menoleh. Di depan terminal kecil Magetan, berdiri seorang pria tua berusia sekitar 69 tahun dengan tubuh masih tegap dan senyum lebar. Pak Daryo, sosok yang selama ini hanya dikenal lewat percakapan Facebook, kini ada di hadapannya. Di sampingnya, seorang perempuan ramah dengan jilbab sederhana melambaikan tangan.
“Pak Daryo, akhirnya kita bertemu juga,” ujar Pak Huntara sambil menjabat erat tangan pria itu.
“Iya, Pak. Setelah sekian lama hanya ngobrol di Facebook, sekarang bisa bertatap muka langsung,” jawab Pak Daryo penuh kehangatan.
Bu Reni, istri Pak Daryo, ikut menyapa, “Selamat datang di Magetan, Pak. Perjalanan jauh pasti melelahkan. Kami sudah siapkan makan siang di rumah.”
Dengan mobil bak terbuka sederhana, mereka bertiga menuju rumah Pak Daryo, sebuah rumah joglo asri di tengah desa yang dikelilingi kebun jeruk pamelo. Perjalanan penuh canda tawa, mengenang bagaimana awal mereka berkenalan di grup pecinta tanaman di Facebook.
“Siapa sangka dari diskusi soal pupuk organik, kita akhirnya bertemu di dunia nyata,” ujar Pak Huntara, terkekeh.
“Itulah keajaiban media sosial, Pak,” jawab Pak Daryo.
Hari Pertama: Menyusuri Kebun Pamelo
Begitu tiba di rumah, aroma jeruk segar langsung menyapa hidung Pak Huntara. Kebun jeruk pamelo Pak Daryo membentang luas, pohon-pohonnya rapi berjajar dengan buah-buah besar bergantungan.
“Kebun ini awalnya kecil, Pak,” cerita Pak Daryo sambil mengajak berkeliling. “Setelah pensiun sebagai kepala sekolah, saya ingin tetap produktif. Jadi, saya mulai serius mengelola kebun ini.”
Bu Reni menimpali, “Pak Daryo itu tidak bisa diam, Pak. Setelah tidak lagi sibuk di sekolah, kebun ini jadi proyek barunya. Sekarang malah jadi terkenal.”
Pak Huntara tertegun melihat jeruk-jeruk pamelo itu. Buahnya besar dengan warna hijau kekuningan yang segar. Ia memetik satu atas izin Pak Daryo, lalu mencicipinya. Rasanya manis dan sedikit asam, benar-benar menyegarkan.
“Rasanya luar biasa. Tidak heran kalau jeruk pamelo dari Magetan ini jadi terkenal,” ujar Pak Huntara kagum.
Sore harinya, mereka mampir ke pasar lokal untuk melihat bagaimana jeruk pamelo dijual. Beberapa pembeli mengenali Pak Daryo, mengobrol hangat dengannya, bahkan ada yang mengucapkan terima kasih karena jeruk-jeruknya selalu berkualitas.
Pak Huntara melihat betapa Pak Daryo tetap menjadi sosok yang dihormati, meski sudah pensiun dari dunia pendidikan. Kini, ia menjadi figur yang membawa perubahan lewat pertanian jeruk pamelo.
Hari Kedua: Mengenal Para Petani
Hari kedua, Pak Daryo mengajak Pak Huntara bertemu para petani yang menjadi mitra kebunnya. Ada Pak Surip, seorang petani senior yang penuh pengalaman, dan Mas Andri, petani muda yang kembali ke desa setelah mencoba peruntungan di kota.
“Kebun jeruk pamelo ini bukan hanya usaha pribadi saya, Pak. Kami bekerja bersama-sama dengan petani lain. Jeruk pamelo ini bukan hanya simbol kesuksesan, tapi juga kebanggaan Magetan,” ujar Pak Daryo.
Pak Surip bercerita tentang proses menanam pamelo, mulai dari memilih bibit, merawat pohon, hingga menentukan waktu panen yang tepat. Sementara Mas Andri, dengan semangat kaum muda, memperkenalkan inovasi seperti irigasi tetes dan penggunaan pupuk organik.
“Pertanian modern ini sangat membantu, Pak. Hasil panen jadi lebih maksimal, dan jeruknya lebih manis,” ujar Mas Andri.
Pak Huntara terkesan dengan semangat mereka. Ia juga mencicipi jeruk pamelo yang baru dipetik langsung dari pohon. Rasanya jauh lebih manis daripada yang pernah ia beli di pasar.
“Kalian semua hebat. Tak hanya menjaga tradisi, tapi juga membawa inovasi,” puji Pak Huntara.
Sore itu, Pak Huntara mengikuti arisan desa yang kebetulan diadakan di balai desa. Suasana penuh kehangatan dan canda tawa, membuatnya merasa seperti bagian dari keluarga besar Magetan.
Perpisahan yang Tak Terlupakan
Hari ketiga tiba terlalu cepat. Setelah sarapan dengan nasi pecel khas Magetan, Pak Huntara bersiap kembali ke Lampung, namun Pak Huntara akan mengunjungi sahabat nya di Demak Terlebih dahulu. Sebelum pergi, Pak Daryo mengajak Pak Huntara memetik beberapa jeruk pamelo sebagai oleh-oleh.
“Ini jeruk terbaik kami, Pak. Semoga bisa jadi pengingat kenangan selama di sini,” ujar Pak Daryo sambil menyerahkan tiga buah jeruk besar ke tangan Pak Huntara.
Bu Reni menambahkan beberapa jajanan tradisional seperti gethuk dan rengginang ke dalam tasnya. “Jangan lupa mampir lagi kapan-kapan, Pak. Kami selalu terbuka.”
Di terminal, sebelum naik bus, Pak Huntara menatap sahabat barunya dengan rasa haru. “Pak Daryo, saya bersyukur bisa mengenal Anda. Tidak hanya lewat Facebook, tapi juga dalam kehidupan nyata. Terima kasih atas semua pengalaman dan kenangan manis di sini.”
“Begitu juga dengan saya, Pak. Semoga persahabatan kita terus terjalin meski jarak memisahkan,” jawab Pak Daryo.
Saat bus mulai meninggalkan terminal, Pak Huntara memegang jeruk pamelo di tangannya. Buah itu tidak hanya menjadi oleh-oleh, tapi juga simbol persahabatan, kehangatan, dan keindahan hidup sederhana di Magetan.
“Semanis jeruk pamelo, semanis kenangan ini,” gumamnya sambil tersenyum.