Namaku Satryo, 52 Tahun biasa dipanggil Bang Sat atau Bang Rio. Aku seorang sopir serabutan, kadang ada kerjaan, dan lebih banyak nganggur. Kalau soal nyetir, aku bukannya ahli banget, tapi aku coba jalani saja setiap peluang yang datang. Jadi, waktu Pak Huntara, tetangga sebelah, memintaku untuk jadi sopir selama perjalanan liburannya ke Jakarta bersama anaknya, Abiya, aku langsung terima. Kesempatan seperti ini jarang-jarang, dan aku butuh pemasukan buat kebutuhan sehari-hari.
Aku tahu Pak Huntara sebenarnya jago nyetir. Dia juga sangat paham jalanan Jakarta, katanya dulu pernah tinggal di sana selama belasan tahun buat kuliah dan kerja sebelum jadi PNS di Lampung. Tapi kali ini, Abiya yang meminta supaya liburan mereka lebih santai, biar ayahnya nggak capek nyetir sendiri. Aku merasa bersyukur dipercaya, meskipun aku tahu kemampuan nyetirku pas-pasan. Sebelum berangkat, Pak Huntara memberiku pengarahan.
“Bang, nanti ikuti instruksi saya ya. Jangan sampai salah jalan,” katanya dengan tegas tapi ramah. Aku mengangguk sambil meyakinkan diri bahwa aku akan melakukan yang terbaik.
Hari Pertama: Awal yang Berantakan
Pagi itu, 14 Desember 2024, kami berangkat dari Lampung. Mobil melaju lancar lewat Bakauheni menuju Merak. Setelah menyeberang melalui dermaga eksekutif, perjalanan dilanjutkan via tol. Sampai di Serang, semuanya berjalan mulus. Aku sempat berpikir, “Ah, perjalanan ini bakal lancar.” Tapi ternyata dugaanku salah.
Saat mulai masuk Jakarta, jalanan mulai macet. Aku panik. Tanpa bertanya atau menunggu instruksi dari Pak Huntara, aku mengambil jalur ke tol JORR 2, lingkar luar. Kupikir ini jalan pintas. Namun, ternyata justru membuat perjalanan menjadi lebih jauh. Biaya tol juga bertambah mahal. Pak Huntara menegurku dengan nada datar, “Bang Sat, kenapa masuk JORR 2 Kunciran? Ini malah makin jauh, padahal hotel tinggal 15 kilometer lagi, ini kita berputar bisa mencapai 50 km.”
Aku merasa malu, tapi egoku terlalu besar untuk mengaku salah. Bukannya minta maaf, aku malah ngegas mobil seenaknya, berharap dia tidak memperpanjang masalah. Akibatnya, aku malah salah arah lagi dan nyasar sampai Depok. Kami akhirnya tiba di hotel setelah perjalanan yang melelahkan. Aku tahu, Pak Huntara kecewa, tapi dia tetap diam. Sikapnya itu justru membuatku merasa makin bersalah.
Hari Kedua: Kesalahan yang Berulang
Hari kedua, perjalanan kami lebih padat. Pak Huntara membawa Abiya ke beberapa tempat wisata seperti Taman Mini dan Monas. Aku diberi arahan jelas tentang rute yang harus diambil. Tapi entah kenapa, aku masih saja membuat kesalahan. Aku sering salah belok, terlambat mengikuti instruksi, atau malah mengabaikan arahan sama sekali.
Di perjalanan menuju Monas, aku salah ambil jalan lagi. Harusnya aku muter balik di persimpangan sebelumnya, tapi aku ngeyel dan tetap jalan lurus. Akhirnya, kami terjebak macet lebih lama. Pak Huntara kembali menegurku, tapi tetap dengan nada tenang. Dia hanya bilang, “Bang, lain kali dengarkan baik-baik ya.”
Aku merasa kesal sendiri. Kenapa aku terus membuat kesalahan? Bukannya fokus, aku malah membiarkan emosi menguasai diri. Aku tahu suasana di mobil jadi tidak nyaman, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa.
Hari Ketiga: Saat Kesabaran Diuji
Hari ketiga, perjalanan ke Pondok Kelapa menjadi tantangan tersendiri. Pak Huntara harus menghadiri janji pertemuan dengan seseorang di sana. Pak Huntara sudah memberikan arahan lengkap, tapi aku tetap saja salah jalan. Kami terlambat hampir satu jam, dan orang yang ingin ditemui Pak Huntara sudah pergi.
Aku bisa melihat kekecewaan di wajah Pak Huntara, tapi dia tidak marah. Dia hanya berkata, “Sudahlah, Bang. Kita lanjut saja ke tempat lain.” Aku merasa bersalah, tapi gengsiku terlalu besar untuk meminta maaf.
Sepanjang perjalanan ke tujuan berikutnya, suasana di dalam mobil terasa hening. Abiya, yang biasanya banyak bicara, hanya duduk diam sambil melihat ke luar jendela. Aku tahu, aku sudah mengecewakan mereka.
Hari Keempat: Pelajaran Berharga
Hari terakhir, 17 Desember 2024, dimulai dengan kunjungan ke Kebun Binatang Ragunan. Aku melihat Abiya sangat bahagia. Dia duduk di kursi depan di sampingku, sambil bercerita dengan semangat tentang hewan-hewan yang dia lihat. Aku merasa sedikit lega melihat kebahagiaannya, meskipun aku tahu perjalanan ini penuh dengan kesalahan di pihakku.
Setelah dari Ragunan, kami melanjutkan perjalanan ke Mall Karawaci. Di sini, masalah kembali muncul. Setelah selesai belanja, Pak Huntara dan Abiya sudah menunggu di lobby, tapi aku tidak tahu jalan ke sana. Aku muter-muter tanpa arah selama hampir satu jam. Ketika akhirnya aku sampai, aku datang dengan emosi. Aku ngegas mobil dan membuat suasana makin tegang.
Pak Huntara tetap sabar. Dia tidak mengomel atau marah-marah, tapi aku bisa merasakan kekecewaannya. Dia hanya berkata, “Ayo, Bang. Kita lanjut perjalanan pulang.” Aku tahu, itu adalah cara halus untuk mengatakan bahwa aku harus memperbaiki sikapku.
Akhir Perjalanan dan Refleksi
Setelah selesai belanja di Karawaci, kami melanjutkan perjalanan ke Lampung. Sepanjang perjalanan, aku merenung. Aku merasa bersalah karena telah mengecewakan orang yang begitu baik padaku. Pak Huntara bisa saja memilih sopir lain yang lebih berpengalaman, tapi dia memilihku karena ingin membantuku. Aku tahu, aku telah menyia-nyiakan kepercayaan itu.
Sesampainya di rumah Pak Huntara, aku akhirnya memberanikan diri untuk meminta maaf. “Pak, saya minta maaf kalau selama perjalanan banyak salah. Saya tahu saya banyak kekurangannya.”
Pak Huntara tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Bang. Yang penting kita semua selamat sampai rumah kembali. Tapi, ini jadi catatan untuk saya. dan satu hal yang harus bang sat tahu, saya menggunakan jasa abang dengan pertimbangan agar abang ada pemasukan dan bisa membantu anak abang yang nunggak bayaran sekolah. Banyak sopir yang lebih baik , bagus dan bertanggung jawab. Pandai-pandailah bersyukur”
Kata-kata itu membuatku sadar bahwa aku harus berubah. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi tentang tanggung jawab dan profesionalisme. Aku berjanji pada diriku sendiri, jika ada kesempatan lain, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Perjalanan ini menjadi pelajaran besar untukku, bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang berharga dan harus dijaga dengan sebaik-baiknya.